Hai🙌🏻
Jangan lupa vote dan komen untuk menghargai karya ini, ya...🤍
jika kalian ingin berinteraksi lebih dekat dengan aku ataupun ingin mengetahui lebih dalam tentang para tokoh di sini, kalian bisa kunjungi/follow instagram @wprahzannn
Selamat membaca🤍
•••••••
Sesekali, kamu memang perlu mengajak perasaanmu jalan beriringan dengan logika agar kamu bisa lebih mengerti beberapa perasaan manusia.
-Sudut Luka Atharrazka-
••••
Melihat nisan basah disertai hawa dingin, tidak sama sekali mengalihkan tatapan mata laki-laki yang kini terduduk di samping gundukan tanah.
Hujan deras sudah digantikan oleh rintikan gerimis, angin masih setia berbisik halus, dan awan gelap perlahan memudar menyambut corak putih untuk menghiasi langit sebelum matahari diperintahkan tenggelam menjemput malam.
"Ibu..."
Abian tak peduli dengan dinginnya cuaca. Abian tak peduli dengan pakaiannya yang sudah basah. Abian juga tak peduli seberapa banyak rintikan air yang menghalangi pandangannya.
Netra Abian hanya terpaku pada satu hal. Netra Abian hanya terpaku pada benda di depannya.
Netra Abian, hanya terpaku pada nisan milik Ariesta, ibu kandungnya.
Diusaplah nisan basah tersebut dengan tangan basahnya. Didaratkan ciuman hangat untuk wanita yang sudah berjuang keras melahirkannya.
Elang berbohong. Ini bukan neraka. Ini adalah tempat yang Abian nantikan sejak lama.
Ini, adalah tempat yang membuat Abian sedih dan bahagia dalam seketika.
Ini, adalah tempat peristirahatan terakhir Ariesta.
Ini, adalah tempat pulang ibunya.
"Ibu, maaf..." Suara Abian melirih.
Ada banyak arti dari kata maaf yang keluar dari mulutnya. Abian tak bisa mengucapkannya, namun percayalah, Abian sungguh dihinggapi banyak rasa bersalah.
Maaf, sudah hadir dan merepotkan di dalam rahim.
Maaf, sudah menyusahkan selama sembilan bulan.
Maaf, sudah terlahir.
Maaf, sudah menjadi anak haram.
Maaf...
Air mata berlomba jatuh dari kedua pelupuk matanya. Tersaingi dengan rintikan air langit. Tuhan memang Maha Baik, ia menutupi bukti tangis Abian dengan setitik demi setitik air suci yang terkadang dieluhkan para manusia bumi.
Tiba-tiba, telinganya menangkap suara langkah kaki yang melangkah pelan mendekatinya. Abian menengok ke arah suara. Matanya yang merah tak berhenti menatap manik hitam setajam elang milik lelaki tersebut.
Elang Sekala Gutama, membawa sekeranjang kecil bunga tabur beserta air mawar di tangan kananya. Pakaiannya yang dikenakannya juga sudah basah, tak beda jauh dengan Abian.
"Kasih ini. Buat ibu lo." Elang memberikannya pada Abian yang sangat diterima baik dengan anak itu.
Abian memerhatikan keranjang berisi bunga tabur di tangannya, lalu menatap Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Luka Atharrazka
Teen FictionAbian Atharrazka. Anak yang dipaksa menerima karma dari perbuatan dosa ibu kandungnya. Kekerasan, caci maki, serta banyak hal keji selalu mengelilingi langkah hidupnya. Dia, seolah terlahir hanya untuk menerima rasa sakit. Kakinya sudah tertatih le...