Dua Puluh Satu

1.3K 254 27
                                    

Pukul sembilan, Winda sudah tiba di rumah Pamulang. 

Dalam balutan kemeja warna putih dan rok warna terakota, penampilannya membuat sang kakak ipar terkagum- kagum. "Kamu cantik banget, Win. Nggak salah Mbak pilih kamu buat Giri. Dia nggak bikin macam-macam sama kamu, kan?" tanya Kemala penuh selidik.

"Mbak apaan sih? Mas Giri baik kok. Aku betah tinggal di apartmen dia."

Kemala mencebik. Perempuan itu sendiri tampak sangat rapi dalam balutan blus warna turkois dan celana pantalon hitam. Winda mulai menata rambut sang kakak ipar agar terlihat lebih rapi. "Tadi aku bawain Mbak Mala nastar."

"Wah itu favoritku!" seru Kemala, yang dilanjut dengan kekehan. "Sekarang ini aku nggak bisa ngemil sembarangan. Harus bikinan sendiri yang tanpa pengawet gitu. "

"Tapi Mbak Mala kelihatan udah seger banget kok."

"Masa sih? Kamu bukan cuma mau nyenengin aku kan?"

"Nggaklah. " Winda memandang ke kaca rias di hadapan mereka. Di mana bayangan wajahnya yang putih dan wajah Kemala yang segar terpantul. "Tuh, lihat." Gumam Winda lagi. Kali ini perempuan itu menundukkan tubuh. Kepalanya berada di atas bahu kakak iparnya.

Mala mencoba untuk memelototkan matanya supaya kelihatan galak. Alih-alih takut, Winda malah terkekeh geli.

"Kamu pasti ngerjain aku kan?" Kemala pura-pura ngambek. "Tini terus- terusan kasih aku makan. Jadinya aku udah nggak seksi lagi..." Wajah Kemala murung, sementara tangannya mencubit perut. "Aku juga maunya hidup lama, Win. Seenggaknya sampai aku bisa lihat keponakanku lahir."

Di sini, Winda membeku. Tapi tidak mungkin baginya untuk menyanggah kata- kata Kemala. Winda tidak ingin membuat kakak iparnya itu syok.

Minggu ini, Winda sempat mendengar berita tidak enak. Asisten Kemala mengundurkan diri, setelah meminjam sejumlah uang yang terbilang banyak. Hal itu sempat membuat kondisi wanita itu drop. Winda baru mengetahuinya ketika ia mengirim donat ke Pamulang tempo hari. Tini yang membocorkan. Lengkap dengan ekspresi takut dan meminta Winda supaya tidak melaporkan kehadiran tersebut pada Giri.

Sebenarnya Winda tidak keberatan kalau harus mengurus kakak iparnya lagi seperti yang dilakukannya sebelum menikah dengan Giri. Hanya saja Kemala yang malah tidak setuju.

"Kalau kamu masih ngurusin aku, yang ada malah makin lama aku dapat ponakannya. Kamu harusnya paham. Aku udah kepingin banget punya keponakan. Karena aku nggak mungkin punya anak sendiri." Begitu yang pernah disampaikan Kemala beberapa waktu lalu.

***

Hari-hari yang dilalui Giri semakin lama, semakin terasa membosankan. Antara apartemen, pekerjaan, dan nongkrong bareng teman-temannya mulai terasa begitu menjemukan. Sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Baik Kembang Lawang, food truck, hingga pabrik makanan beku yang dimilikinya. Tidak ada kendala berarti. Segalanya berjalan sesuai dengan planning yang ia dan timnya buat.

Meski begitu, rasa hampa itu tidak mau beranjak. Malah semakin lama rasanya semakin memuakkan.

Apa yang tidak dia punya sekarang ini? Hampir semua kerja kerasnya menghasilkan. Di usia pertengahan tiga puluh ini, bisa dibilang dia sudah aman secara finansial.

Telepon di sudut meja berdering nyaring. Giri hanya meliriknya dengan cuek. Paling- paling Nindi. Sebab yang biasanya menelepon ke nomor telepon kantor hanyalah sekretarisnya itu. Kecuali ada orang iseng.

Benda itu akhirnya berhenti berdering. Mata Giri melirik ke arah jam meja berbentuk London Eye yang termangu di dekat pesawat teleponnya yang kini mulai ribut lagi. Pukul setengah dua belas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang