Tujuh Belas

977 274 13
                                    

"Kamu ini gimana? Saya sudah bilang supaya kamu ngomong ke Giri kalau saya ada di VIP room!"

Nindi hampir saja melakukan kesalahan fatal. Memutar bola mata di hadapan nenek lampir bernama Rasmi ini. Kalau mengingat kuku-kuku jari perempuan itu yang panjang, runcing dan dicat merah, Nindi merasa ngeri. Takut kalau-kalau kuku-kuku itu menancap di kulitnya yang halus dan mulus seperti kulit Amanda Rawless.

Memang salahnya karena sudah iseng mengerjai Rasmi , dengan membiarkan perempuan itu  menganggur seorang diri selama satu jam,  di VIP room Kembang Lawang. Menunggu-nunggu sosok idamannya datang, tanpa tahu kejelasannya.

Huh, tunggu aja sampai kiamat, Darling!

Orang sudah menikah pakai acara dikejar-kejar segala! Macam di dunia ini kekurangan lelaki saja. Yah, meski konon katanya jumlah perempuan jauh lebih banyak dari jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki, paling tidak jangan mengganggu punya orang lah. Kalau tidak kebagian , kencan saja sama robot. Atau sama Dugong, kek. Asal jangan sama suami orang.

"Heh!" perempuan itu kembali menyentak lamunan Nindi yang sudah merajalela ke berbagai tempat. "Saya ngajak kamu ngomong! Malah bengong."

Nindi berjengit. Aduh. Kok ini perempuan jadi sangar begini, ya? Dulu dia kalem. Lemah lembut. Apa dia cuma begitu di hadapan Bos doang ya?

"Mbak Rasmi, saya kan sudah bilang. Pak Giri itu lagi pergi ke luar." Rasanya, Nindi seperti sedang menjelaskan sesuatu pada balita tiga tahun. Muter-muter terus. Macam odong-odong.

"Keluar? Mana bisa? Saya sudah nungguin satu jam di sini. Gimana bisa dia sampai ke luar?!"

Nindi tergoda untuk memutar bola matanya. Atau mengangkat bahu acuh tak acuh sambil berkata, "eh, dia nggak suka elo kali. Makanya dia menghindar,"

Tapi lagi-lagi dia memikirkan kuku-kuku bercat merah yang runcing itu. Kalau satu saja menancap di pipi Nindi, bisa-bisa dia bakalan terkena mental breakdown.

Mulus begini saja Dion cuek. Apalagi kalau ada baret dikit. Cowok itu kan sukanya sama yang mulus-mulus. Macam monitor komputer, CPU, keyboard, mouse, you name it. Buktinya setiap hari yang dielus-elus cuma benda-benda itu. Nindi bahkan jarang cuma sekedar dipegang tangannya.

Nasib jadi bucin ya begini.

"Ini semua kan gara-gara kamu yang nggak buru-buru ngomong ke Giri kalau ada saya di sini."

Dan kali ini Nindi benar-benar memutar bola matanya. "Buat apa dia mau nemuin Mbak. Kalau di rumahnya sudah ada yang nungguin!"

Ekspresi wajah Rasmi saat itu benar-benar tidak terlupakan. Ia menganga. Rahangnya seolah terkunci. Matanya melebar menampakkan ketidakpercayaan. Dan Nindi betul-betul menikmatinya. Dia bahkan tergoda buat mengabadikannya di ponsel, lalu di upload ke akun TikTok nya. Pasti bakalan viral.

Nindi jadi cekikikan sendiri.

Rasmi kemudian tersadar dari ketercengangannya. Matanya kemudian menyipit dan melemparkan tuduhan pada Nindi. " Saya tahu kamu cuma ngerjain saya. Giri tidak mungkin menikah. Kami sangat dekat sebelum ini. Dia tidak mungkin menikahi orang lain."

Aduh, malas banget ngomong sama orang halu begini. Mendingan dia cabut ke kantor pacarnya. Bawain makan siang. Dan mungkin minta dielus-elus sedikit. "Anu ... sorry nih, Mbak. Saya mau pergi. Disuruh Pak Bos. Kalau mau mengajukan protes, tungguin aja Pak Giri kembali ke sini. " Sampai kiamat kalau perlu, Nindi menambahkan dalam hati. Sebelum ngeloyor pergi.

***

"Enak ya yang sudah punya laki. Jadi lebih terurus. Jadi makin kinclong!" Yuni tersenyum ketika akhirnya Winda muncul di hadapannya. Mereka janjian bertemu di mal di kawasan Kemang.  Cukup dekat dengan Kembang Lawang. Karena tempat itu yang ada dalam pikiran Winda ketika sahabatnya itu mengajak ketemuan.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang