Berhenti mencari-cari. Cobalah fokus pada sekitarmu. Rasakan keajaibannya.
Tampi Asih
"Maaa.....!" suara kecil menggemaskan memanggil-manggil.
"Iya nak... sebentar. Momi selesaikan panggang roti buat kamu"
Dua tahun menikah, Laila di karuniai dua anak kembar identik. Berjenis kelamin Perempuan. keduanya berwajah seperti Papa mereka. Sekarang anak kembar ini berusia 3 tahun. Usia yang cukup membuat Laila kewalahan dan memutuskan menjalani pekerjaan jarak jauh, remote worker di sebuah Perusahaan penerbitan. Laila bekerja sebagai penulis sekaligus editor. Nama penanya adalah Tampi Asih.
Tampi Asih, nama yang cukup populer dan dikenal banyak kalangan, terutama para pecinta literasi. Banyak orang yang ingin bertemu langsung dengan Laila sebagai Tampi Asih, namun Laila masih enggan. Dia cukup menikmati sebagai penulis misterius yang dikenal lewat karya-karyanya. Wajar jika Atisha pun tak tau bahwa Laila adalah Tampi Asih. Sampai Laila sendiri yang memberitahu.
Jika boleh jujur, Laila sebenarnya ingin tampil di publik tiap kali mendapatkan undangan untuk mengisi acara yang berkaitan dengan buku dan kepenulisan. Namun Laila cukup kewalahan dengan si kembar yang seakan meminta seluruh waktunya. Laila juga dihantui rasa bersalah apabila harus meninggalkan si kembar demi menghadiri undangan.
Laila ingin menjadi ibu yang sempurna untuk si kembar. Dia menunda kepentingan pribadi. Fokus pada dua gadis kecil darah dagingnya, sampai di usia anak-anak cukup mandiri. Hingga waktu itu tiba, Laila berkomitmen menikmati setiap detik tak jauh dari si kembar.
Memutuskan tanpa ART (asisten rumah tangga) dengan si kembar dan setumpuk pekerjaan sebagai penulis, membuat Laila mau tidak mau mengatur hidupnya sedemikian rupa. Setiap hari, Dia akan bangun jam 3pagi, ibadah kemudian memulai pekerjaan sebagai menulis. Adzan subuh berkumandang, tandanya sholat dan langsung membangunkan anak-anak. Rutinitas pagi pun di mulai. Memandikan anak-anak, menyiapkan bekal, mengantarkan ke daycare dekat rumah, kemudian Kembali menyelesaikan pekerjaan kembali di café dekat daycare.
Sore hari pulang ke rumah. Anak-anak selesai daycare jam 5 sore. Memandikan anak-anak, makan malam, ibadah, belajar kemudian menidurkan anak-anak di jam 8 malam. Setelah itu, waktunya beberes, merapikan rumah. Begitu seterusnya setiap hari. Bagaimana dengan suami Laila? Suaminya seorang arsitek yang weekday lebih banyak bekerja keluar kota bertemu client menyelesaikan project. Weekend adalah family time buat mereka. Setidaknya saat akhir pekan Laila bisa memilih menikmati waktu sendiri, anak-anak bersama suaminya. Atau pergi bersama keluarga kecilnya ke tempat perbelanjaan, rekreasi, berenang, atau sekedar menghabiskan waktu bersama di rumah.
Saat anak-anak baru lahir sampai berusia 1 tahun, Dia break dari pekerjaan. Laila memutuskan resign. Waktu satu tahun itu ia seakan kehilangan dirinya sendiri. Butuh teman tapi tak ingin ditemani. Perasaan yang sulit dijelaskan. Ingin menghubungi teman-teman lamanya, tetapi mereka sulit dihubungi. Maisng-masing sibuk. Saat itu umurnya 26 tahun. Umur yang tidak mudah.
Terkadang terbesit keinginan dalam hati, ingin membangun pertemanan baru dengan tetangganya. Namun waktu yang dimiliki terbatas. Sering tetangga mengajak makan bersama, berkegiatan, dan acara lain di perumahan. Namun karena jadwalnya yang padat, tak sekalipun Laila berhasil menghadiri satu pun undangan dari tetangganya. Sampai suatu kali omongan berkembang diantara para tetangganya. Bahwa Laila anti sosial. Enggan berteman dengan tetangganya. Di cap sebagai manusia anti sosial yang semaunya sendiri, tak mau bertegur sapa dan sombong.
Ucapan tetangganya sempat membuat Laila sedih. Dia pun mencoba mengikuti acara makan-makan. Sekali itu Dia hadir, saat itu juga Laila membuat janji dengan dirinya sendiri untuk tidak menghadiri acara apapun karena akan berdampak negative pada dirinya.
Tetangganya seperti ibu-ibu pada umumnya yang suka sekali membicarakan orang lain, bergosip, membanding-bandingkan, dan perilaku lain yang cukup membuat Laila tak nyaman duduk satu bangku dengan mereka.
Bukan Laila membenci tetangganya. Dia menyayangi tetangganya yang selalu tanggap, memiliki kepekaan dan inisiatif yang sangat bagus ketika ada tetangga lain yang butuh bantuan. Orang-orang inilah yang paling cepat mengulurkan tangan saat ada satu keluarga kesulitan di perumahan tersebut. Tidak cocok. Itu saja. Tak ada alasan lain bagi Laila.
Laila memutuskan menjauh, mencukupkan komunikasi dengan orang-orang yang tak sejalan dengannya. Jiwa raganya lelah. Peristiwa perjodohan yang dialaminya, kemudian memiliki anak kembar membuat mentalnya goyah. Dia menjadi sangat sensitif, mudah tersinggung, senang membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Laila saat itu benar-benar merasa dirinya brantakan. Perasaan rendah diri dan tak berharga.
Cukup lama perasaan itu pasang surut, sampai saat anak-anak sudah berumur 1 tahun, Dia memutuskan membawa anak-anak ke daycare, sebulan setelahnya Laila pun kembali bekerja. Dia mengira dengan bekerja perasaan itu akan hilang.
***
Hi.. Terimakasih sudah membaca sejauh ini :)
Jangan lupa beri dukungan dengan tinggalkan vote dan komentar..
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, 30!? (TERBIT)
General FictionJika ini bisa disebut sebagai perjalanan, maka hari-hari yang ku lalui adalah jalanan di sisi lautan. Riuh nan sunyi. Tiga puluh tahun. Angka yang tidak sedikit juga tidak terlalu banyak untuk memulai bahkan mengakhiri sebuah keputusan. Selamat memb...