DUA PULUH SATU

9 0 0
                                    


Menemukan. Prosesnya barangkali butuh waktu lebih lama. Tak apa. Menemukan yang tepat selalu membuat yang panjang menjadi terasa berharga.

Impian.

Hidup tak selalu tentang menang dan kalah. Kaya dan miskin. Pahlawan dan penjahat. Hitam dan putih. Tak selalu tentang antonim atau opposite. Ada banyak hal yang membentuk hidup itu sendiri. Satu hal yang pasti, mengkompromikan semua hal yang terjadi dalam hidup adalah sebuah pilihan pasti. Kompromi untuk menerima, acuh atau menjauh.

Pun dengan Impian. Tak semua hidup seseorang adalah tentang Impian, pencapaian dalam genggaman, dan gemerlap hidup yang di raih. Beberapa orang memikirkan hidup sebagai bagaian dari perjalanan yang harus dilewati dengan khidmat dan rasa Syukur.

Bumi. Sosok yang menjadi kompromi, Impian sekaligus rasa syukur bagi Athisa. Kedatangan Bumi ke rumahnya tempo hari tak sedikitpun membuat Athisa curiga. Satu-satunya yang ada dipikiran Athisa adalah tujuan kedatangannya untuk menjenguk orang tuanya. Sama seperti client dan koleganya yang lain.

Kejutan. Bumi melamarnya hari itu. Meminta izin untuk bertemu orang tuanya untuk mengatakan niat serius untuk meminangnya dan memohon izin mempersilahkan kedua orang tua Bumi yang ternyata sedari tadi menunggu di mobil hitam yang terparkir. Sebuah permohonan izin sekaligus jawaban. Orang tua Bumi berkenan masuk rumahnya jika memang Athisa menerima lamaran anak sulungnya.

Perempuan berusia 30 tahun dengan segala pikiran logis. Begitulah Athisa. Hingga setiap Bumi confess menyatakan perasaan dan keseriusannya menjalin hubungan dengan Athisa, tak sekalipun Athisa menanggapi. Justru menganggap candaan dan angin lalu. Umurnya yang 30 tahun membuatnya berfikir, "mana ada laki-laki seperti Bumi yang benar-benar mau mencintainya dan membangun hubungan serius? Jika ada, maka itu hanya candaan. Lupakan saja." Ungkapnya dalam hati. Beberapa kali Athisa tersentuh hatinya karena kebaikan Bumi, berulangkali pula Dia berusaha menepis prasangka yang muncul. "Lupakan, atau kamu akan menderita karena harapan dan ekspektasi yang kamu buat sendiri.." lagi-lagi Athisa bersikeras menghapus intuisi dari dalam dirinya.

Hari itu Athisa cukup beruntung. Ada Laila yang bisa menjadi teman disaat Athisa bingung dengan perasaanya. Apakah Dia bisa menerima Bumi? Ataukah menolaknya? Seperti saat Dia menolak laki-laki yang datang silih berganti melamarnya?

Tetap saja, melihat Bumi yang ada diteras rumahnya, mempersilahkan Dia duduk, mendengarkan Dia menyampaikan tujuan kedatangan dan permintaan izin untuk meminangnya di saat yang bersamaan. Semua itu cukup membuat hati Athisa goyah. Ada getaran chemistry yang sulit diungkapkan. Rasanya seperti ada yang mau meledak dari dalam dirinya. Athisa berkaca-kaca ditengah kebingungan situasi yang serba tiba-tiba.

Entah keyakinan dari mana. Athisa begitu saja menerima pinangan Bumi. Dia mengiyakan lamaran itu. Orang tuanya dan orang tua Bumi bertemu. Jadilah hari ini. Pernikahan mereka. Satu hari hari setelah menerima pinangan Bumi, kini Athisa menyandang status istri seorang dokter psikiatri yang sebelumnya menjadi dokter yang membantunya berproses mengobati luka batin yang dimilikinya.

"it's real?" Athisa menyadari dengan kesadaran penuh. Ini nyata. Bahkan belum 24 jam Dia menerima pinangan Bumi. Tepatnya 21 jam lalu kesepakatan itu terjadi, sekarang tepat jam 1 siang, Athisa duduk disamping Bumi dalam rangka syukuran akad nikah mereka. "Hari esok siapa yang tahu?" Kalimat andalan yang membuatnya selalu merencanakan plan A-E dalam menjalani hidup, kini seperti pengingat untuk dirinya. Sebaik-baik pembuat rencana adalah Tuhan. Bahkan menikah di usia 30 tahun dengan proses yang seperti kilat. Seperti sekelebatan saja status dari lajang menjadi istri seseorang.

"Are U ok?" Penuh khawatir. Bumi bertanya pada Athisa yang duduk disampingnya diam saja sejak tadi. Athisa menyadari suaminya khawatir. Dia mengangguk dan tersenyum. "I'm ok." Bisiknya perlahan. Athisa tak mau kekhawatiran Bumi membuat sodara dan teman terdekatnya meledek iseng.

Ramai. Untuk sebuah acara yang diadakan mendadak. Athisa dan Bumi tak sempat memilah siapa saja yang akan diundang. Tak satupun kolega atau client yang diundang. Hanya saja, kedua orang tua mereka yang begitu gembira dengan pernikahan tersebut kompak mengundang keluarga besar. Itulah mengapa tamu yang dating begitu banyak. Memenuhi rumah sampai di teras dan halaman rumah Athisa.

Athisa yang menginginkan acara itu privat kini media pun akhirnya tahu. Wartawan berdatangan. Menambah keramaian halaman rumah Athisa. Tukang masak didatangkan. Dapur rumah Athisa sudah seperti hajatan besar. Keramaian itu membuat tetangga ikut berdatangan membawa beras untuk kondangan. Acara yang tadinya dibuat privat kini menjadi acara besar yang bukan hanya dihadiri keluarga kedua mempelai.

Laila ada diantara tamu undangan yang hadir. Tentu saja. Laila sahabat terbaik Athisa sekaligus mak comblang yang menjadi awal mula sampai pernikahan Athisa dan Bumi terjadi. Laila satu-satunya yang membuat Bumi bisa kontak langsung dengan Athisa. Bagaimana ceritanya?


***

Hi.. Besok last day update di wattpad

jangan lupa beli bukunya saat diterbitkan untuk baca kisah lengkapnya :)

Terimakasih terus mendukung dengan memberikan vote, komen, follow dan membeli versi buku ^^


Hello, 30!? (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang