Ketenangan memberi ruang untuk seseorang mendapatkan hasil terbaik. Tentu dengan perlahan. Cobalah, tak akan rugi.
Tiga Bulan Lalu.
"Tin... Tinnnn.........!!!"
Bising klakson kendaraan di sepanjang jalan. Perempuan dengan kacamata hitam mengendarai mobil di tengah semrawut lalu lintas. Perlahan mobil putih melaju diselingi helaan nafas. Sebuah teknik bersabar dalam situasi yang mudah memancing amarah. Benar-benar tak ada yang mau mengalah. Mobil dan motor saling mendahului. Masing-masing menganggap paling berhak melewati jalan terlebih dahulu. Seperti sebuah perlombaan. Semua buru-buru sampai di tempat tujuan dengan cepat. Ditambah jalan yang tadinya besar seakan menyempit.
Kanan kiri jalan besar itu para penjual dadakan sedang bersiap memamerkan jualannya. Pasar dadakan akhir pekan. Disanalah Athisa berada. Perempuan yang sebelumnya selalu marah-marah tiap kali melewati jalan ini. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Dia menahan emosinya. Setulus mungkin untuk bersabar.
"Mereka adalah pejuang ekonomi, yang melakukan segala upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya." Berkali-kali membisikan kalimat itu pada dirinya sendiri. Berhasil. Kalimat itu membuat Athisa berempati sekaligus menghela nafas tiap kali kendaraan lain dengan tanpa perhitungan menyerobot mendahului mobil putihnya.
Tak punya pilihan lain. Itu adalah jalan tercepat menuju rumah masa kecilnya. Bapak dan Ibu menelepon. Meminta untuk segera pulang. Pekerjaan Athisa sebenarnya memungkinkan untuk pulang kapanpun Dia mau. Namun ada hal lain yang membuatnya enggan melakukannya. Pertanyaan klasik. Ucapan orangtua, dan saudaranya membuat semakin malas pulang. Apalagi kalau bukan, "Kapan nikah". Pertanyaan yang seperti tombak pada hewan buruan. Menyakitkan untuk mendengarnya saja. Beberapa orang menganggap itu pertanyaan sepele, tapi lain hal bagi sebagian orang lain. Athisa termasuk didalamnya, golongan orang yang menganggap pertanyaan itu di tahap menyakitkan.
Perjalanan yang menghabiskan 6 jam lamanya tanpa istirahat melalui jalan bebas hambatan. Sebelum berangkat, Athisa mondar-mandir. Antara yakin akan ke kota masa kecilnya, atau mengurungkan niat, lalu menelepon Bapak Ibu. Berbohong. Ada jadwal bertemu client. Beralasan. Jurus jitu yang biasa digunakan ketika enggan memenuhi undangan. Namun itu tak pernah dilakukan Athisa. Seberapa menjengkelkan bertemu keluarga, Dia akan tetap memenuhi permintaan Bapak Ibu tiap kali meminta untuk segera pulang. Meskipun yang Dia dapatkan saat di kampung halaman beberapa tahun kebelakang selalu menambah goresan luka batin.
Jalan mulai lenggang. Pertanda hampir sampai di tujuan. Pengemudi perempuan dengan setelan pastel menghela nafas. Menghitung. Benar-benar akan melanjutkan atau balik arah. Kembali ke rumahnya sendiri. Sepersekian detik mobil berhenti di halaman luas dengan dua pohon mangga di sisi kanan dan kiri. Seorang anak remaja mengetuk jendela mobil. "Bulik... ayok cepetan. Udah ditunggu dari tadi." Mimik mulutnya seakan mengatakan itu.
Athisa mulai merasa janggal. Tak biasa. Kedatangannya ditunggu. Keluar mobil, remaja yang tak lain adalah keponakannya menggandeng tangan Athisa. Mengajak buru-buru masuk rumah. "Ayok bulik... udah ditungguin semua orang lo.." Athisa menghentikan langkah. "Ditunggu semua orang?" Batinnya berfirasat ada yang tak beres.
Memasuki rumah. Athisa semakin merasa aneh. Keluarga berkumpul. Tak hanya keluarga dekat. Keluarga dari kota berbeda bahkan yang berada di pulau sebrang pun hadir.
Athisa disambut Ibu. Membawanya masuk ke kamar masa kecilnya. Dahi Athisa berkerut. Matanya menatap Ibu. Bertanya-tanya.
"ini....." Belum sempat Athisa menyelesaikan kalimatnya, ibu memeluk Athisa. Semakin yakin sesuatu yang luar biasa akan terjadi.
"Nduk..." Panggilan untuk anak Perempuan dalam Bahasa Jawa. "Ini terakhir yang Bapak Ibu minta ke kamu sebagai orang tua. Di usiamu yang sekarang, Bapak Ibu memutuskan untuk menerima pinangan Andre untukmu. Kamu ingatkan, Andre teman SD mu nduk? Ternyata Dia selama ini menunggumu. Penghasilannya memang tak seberapa. Tapi Dia sudah berjanji pada Bapak Ibu akan menjadi suami yang baik untukmu." Ibu menjelaskan dengan hati-hati. Tangan anak tengahnya digenggam erat. Takut lari setelah mendengar kalimat yang diucapkan.
"Logis yuk logis.. kamu bisaa Athisa... solutif yukkk..." berkali-kali sugesti ke diri sendiri. Sembari tetap mendengarkan setiap kata yang diucapkan Ibu.
Sesak. Rasanya seperti menanggung beban 1 ton besi dikepala. Athisa mendapatkan jawaban atas keraguannya sejak mendapat telepon dari Bapak Ibu yang memintanya pulang. Mencoba tenang. Athisa menghabiskan segelas air mineral 600ml di meja samping Dia duduk. Seakan sudah dipersiapkan oleh Ibu untuk menenangkannya.
"Ibu, apa Andre ada di ruang tamu? Boleh Aku berbicara dengan Andre sebentar?" Suara Athisa sedikit bergetar. Mengatur beban emosi yang bisa meledak kapan saja.
"Nduk.." suaranya lirih. Ibu menangis. air mata tak terbendung. Seperti hujan deras di musim hujan. Tumpah begitu saja. Athisa mengalihkan pandangan. Tak tega melihat raut Perempuan yang melahirkannya.
"Bu.. hari ini akan jadi hari akad ku dengan Andre?" Menebak kalimat lanjutan yang akan diucapkan Ibu.
"Ngapurane nduk.." Ibu meminta maaf. "Ibu tolong sama kamu, ini permintaan terakhir Ibu Bapak sebagai orang tua".
Bregggg! Beban 1 ton besi meremukkan tubuhnya. Masih dengan sugesti untuk tetap bersikap logis. Athisa tak mau perasaan lebih dominan dalam kondisi yang memojokan. Tak menanggapi permintaan maaf ibu. Athisa kekeh untuk bertemu Andre saat itu juga.
"Berapa lama Nduk..?" Ibu ragu-ragu memastikan.
"Aku butuh waktu setidaknya 1 jam bu. Paling lama 1 jam" Athisa meyakinkan.
Tak lama mobil putih yang parkir di halaman rumah melesat. Keluar dari desa. Menuju jalan yang lebih besar. Berhenti di kafe pinggir jalan. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar. Wajahnya serius.
"Mau pesen apa?" Perempuan dengan setelan pastel bertanya.
"Mmm apa aja deh.. Ngikut" Masih dengan ekspresi tegang. Keduanya duduk di ujung ruangan. Sepi. Hanya ada mereka berdua. (9450)
***
Terimakasih sudah membaca sejauh ini :)
Terus ikuti kelanjutan kisahnya disini..
Beri dukungan dengan follow, vote dan komentar.. ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, 30!? (TERBIT)
General FictionJika ini bisa disebut sebagai perjalanan, maka hari-hari yang ku lalui adalah jalanan di sisi lautan. Riuh nan sunyi. Tiga puluh tahun. Angka yang tidak sedikit juga tidak terlalu banyak untuk memulai bahkan mengakhiri sebuah keputusan. Selamat memb...