DELAPAN BELAS

5 1 0
                                    


"Buku ini menceritakan pertemuan tak disengaja seorang Perempuan dengan Laki-laki. Nantinya mereka menjadi sepasang kekasih dengan beragam konflik. Ceritanya menarik." Tak diminta. Laki-laki itu menjelaskan. Duduknya tegak. Sesekali menatap Athisa. Tangannya menunjuk sampul buku.

Athisa mendengarkan sembari melihat sampul buku dan mengangguk-anggukan kepala. Tak menyadari lelaki yang duduk disebelahnya memiringkan kepala. Memperhatikan Athisa.

"Mungkin kisah itu bisa jadi milik kita?" Kalimat yang tiba-tiba. Lelaki disampingnya membuka masker dan kacamata hitam yang dikenakan sejak tadi.

"Loh, dokter..." Athisa tak benar-benar mendengar kalimat laki-laki itu sebelumnya.

"Yes, I'am..." Lelaki yang sejak tadi duduk disampingnya ternyata adalah dokter psikiater yang biasa ditemui Athisa. Dokter Bumi Jati. Juga laki-laki yang pernah menyapa Athisa di saung Imah Riung. Yang terakhir sepertinya Athisa tak ingat.

"Kok...." Athisa heran. Kebetulan sekali bisa duduk bersisian dengan dokter yang Dia kira sudah berangkat ke Lombok lebih dahulu. Juga. Kemungkinan yang sangat kecil untuk duduk berdampingan di pesawat jika bukan karena direncanakan atau karena takdir yang sudah menuliskannya.

"Sepertinya takdir memang berpihak pada kita, Athisa. Eh, bolehkan aku langsung memanggil nama? Toh usia kita tak terpaut jauh." Sumringah rautnya. Bahagia sekali mengalami kebetulan yang sangat disyukurinya. Nantinya hari itu akan menjadi momen anugerah Tuhan yang terbaik bagi hidupnya.

"Tentu saja boleh dok..." Tersenyum. Wajah Athisa memerah. Entah seperti ada aliran listrik yang yang membuat wajahnya memanas, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Panggil aku nama boleh lo.." Alisnya terangkat. Meminta Athisa untuk memanggilnya tanpa embel-embel gelar yang disandang. "Panggil saja Bumi atau Jati. Mana saja boleh.. whatever you want"

"Ok. Bumi?" Ragu-ragu Athisa menyebut nama tanpa gelar dokter. Dahinya mengernyit. Keduanya terkekeh.

"Its. Ok. Senyaman kamu aja.." Bumi menangkap keraguan di wajah Athisa. Memberi kebebasan Athisa memanggilnya dengan sebutan yang membuatnya nyaman.

Perbincangan pun berlanjut. Mereka berdua menikmati diskusi hangat. Dari topik sebutan nama panggilan, buku, berita, sampai pada kehidupan mereka secara personal. Pembicaraan yang mengalir bak air dari pegunungan menuju dataran rendah lalu bermuara di lautan. Obrolan mereka seperti mencari hilir untuk sampai pada muaranya. Keduanya menikmati dengan wajah sumringah.

Ladies and gentlemen, we will soon landing at Lombok International Airport.......

Announcement Pramugari membuat mereka saling bertatapan dan tersenyum. Waktunya Bersiap untuk landing.

"Jadi, Dok.. Eh Bumi.. saya akan mengikuti dokter selama di Lombok.." Kalimatnya seakan menggantung.

"Benar. Kita akan jadi teman perjalanan selama di Lombok. Seminggu disana akan menjadi pengalaman yang semoga bisa membantumu merilis trauma yang kamu miliki."

"Hopefiully Bumi.. Terimakasih sudah menawariku dan mengajakku."

"Tentu saja, sebagai dokter kepada pasien dan sekarang sebagati temanmu, aku ingin kamu lekas membaik. Lets go.." Bumi mengajak Athisa untuk segera turun dari pesawat. Hanya tersisa mereka berdua. Penumpang lain sudah turun lebih dahulu.

"Sebelum diusir pramugari... " Tergelak. Keduanya tertawa. Athisa Buru-buru menyusul Bumi yang sudah lebih dulu jalan di depannya. Keluar dari pesawat. Menuruni tangga.


***

Hi.. terus beri dukungan yaaa sampai kisah ini diterbitkan :)

Terimakasih ^^

Hello, 30!? (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang