DUA PULUH

5 0 0
                                    

Melepaskan kadang menjadi momen yang menyesakkan. Disisi lain, itu satu-satunya jalan untuk meringankan beban yang selama ini bergayut membebani diri.

Penerimaan.

Here I'm..

Rumah masa kecil. Dua bulan setelah gagal mengikuti acara di Gili, Lombok. Belum sempat Athisa menaiki perahu menuju Gili, telepon dari nomor tak dikenal mengusiknya. Berkali-kali tak dijawab karena Athisa memiliki kebiasaan tak mau menjawab telepon dari nomor tak dikenal. Malas. Kalau-kalau itu adalah pinjol, tawaran kredit, asuransi, hingga spam. Kesekian kalinya berdering, Bumi memintanya mengangkat telepon itu. "Thisa, gih diangkat dulu deh. Kali penting kan. Kalau tak penting, kamu bisa langsung matikan dan blokir nomor itu."

Firasat Bumi benar. Telepon itu dari kampung halamannya. Memberi kabar Ibu Bapak koma di rumah sakit. Shocked dengan kabar itu, Athisa langsung buru-buru pamit. Meminta maaf tak bisa ikut acara karena harus langsung buru-buru kembali ke Jakarta. Mendengar penuturan Athisa, Bumi langsung meminta Arjuna dan Suma membawa Athisa Kembali ke bandara. Bumi juga meminta maaf tak bisa mengantar Athisa karena Dia menjadi salah satu pembicara dalam rangkaian acara komunitas yang sedang berlangsung itu.

Mobil hitam yang dikendarai Arjuna melesat. Meninggalkan Pelabuhan. Kembali ke bandara. Kali ini Athisa tak tidur di mobil. Rautnya penuh khawatir. Meski berusaha terlihat biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Diam mereka bertiga menuju bandara. Suma dan Arjuna masih kikuk untuk memulai obrolan, sedang Athisa cukup panik dengan kabar dari kampung. Dia tak terpikir untuk berbasa-basi dengan dua orang yang pernah membuat hidupnya kacau di masa lalu.

1 bulan Ibu koma, sedang Bapak koma sedikit lebih lama. Sebulan lebih. 2 minggu setelah sadar di perbolehkan pulang. Athisa mau tak mau menemani Ibu Bapak. Merawat keduanya. Meski ada perawat yang dibayar Athisa untuk itu, tetap saja Dia tak sampai hati menginggalkan kedua orangtuanya yang sakit. Seminggu sekali harus kontrol ke dokter. Athisa menjadi anak siaga yang siap sedia kapanpun Ibu Bapak membutuhkan bantuan.

Satu hal yang Athisa ketahui setelah berbincang dengan Ibu yang mulai pulih dan bisa diajak bicara. Bukan pernikahan yang Ibu Bapak inginkan darinya. Tapi kebahagiaan satu-satunya anak yang karirnya paling melesat. Juga satu-satunya yang belum menikah. Dalam pikiran Ibu Bapak, pernikahan adalah jalan membuat seseorang mendapatkan kebahagiaan yang utuh. Karir cemerlang hanya akan membuat seseorang menjadi kesepian jika tanpa pasangan hidup. Begitulah yang disampaikan Ibu saat berbincang dengan Athisa. Baik Bapak Ibu maupun Athisa saling meminta maaf. Tak bisa memenuhi harapan satu sama lain. Bapak Ibu yang menginginkan anaknya menikah, namun Athisa tak bisa lekas memenuhi. Hingga kini usianya genap 30 tahun pun. Belum ada calon pasangan yang bisa membuatnya mantap untuk melangsungkan janji sehidup semati dalam sebuah prosesi akad nikah.

Athisa maklum dengan cara berfikir kedua orangtuanya. Dia meyakini, mindset terbentuk dari lingkungan Dimana seseorang tumbuh. Lingkungan Dimana Ibu Bapaknya tumbuh adalah tempat Dimana semua orang menikah diusia dua puluhan awal. Tak ada yang sampai berumur dua puluh akhir. Apalagi rumor di kampung yang entah siapa yang menyebarkan.

Rumor bahwa Athisa tidak akan menikah sampai kapanpun karena Perempuan yang karirnya melejit tak akan berfikir untuk punya pasangan. Yang menyebalkan dari rumor itu adalah sedikit kebenaran darinya. ada benarnya Athisa pernah terfikir untuk menjadi single toh Dia merasa hidupnya sudah cukup. Namun buru-buru ditepis pikiran itu dari kepalanya. Tak sampai satu menit pikiran itu terlintas, langsung dibuangnya jauh-jauh. Tak sekalipun Athisa menginginkan hidup tanpa partner hidup. Nantinya Dia ingin memiliki itu. Entah kapan. Saat Tuhan memberinya kesempatan. Semoga.

"Bulik.. Ada tamu. Katanya dari Jakarta." Ponakannya memanggil. Athisa sedang dikamar. Memeriksa persediaan obat Ibu Bapak.

"Tante Thisa....!" Suara anak kecil kompak terdengar meneriakkan namanya. Athisa tersenyum. Mengenali suara itu. Si Kembar sepaket dengan Laila dan suaminya datang berkunjung untuk kali kedua.

"Ssssttt...! Pelan-pelan sayang.." Laila sibuk menenangkan Si Kembar. Memberi tahu untuk tidak berteriak.

"Hi..." Si Kembar langsung memeluk Athisa. Seperti memeluk teman bermain yang lama tak bertemu. Rumah Athisa mendadak ramai.

"Sorry.." Laila berkali mengatakan maaf dengan gesture yang menampakkan betapa Dia merasa tidak enak hati membuat rumahnya berisik karena kedatangannya.

Laila adalah orang pertama yang menjenguk Ibu Bapaknya pasca kecelakaan tunggal. Laila yang selalu meminta maaf di telepon karena tak bisa menemani Athisa merawat Ibu Bapaknya. Alasanya, Si Kembar tak mungkin ditinggalkan. Athisa sangat memaklumi. Kehadiran Laila yang tak disangka saat menjenguknya di rumah sakit sudah membuatnya sangat bersyukur. Rasanya seperti baterai yang kehabisan daya kemudian di charge dayanya dengan menumpahkan segala keluh kesahnya pada Laila. Si Kembar yang saat itu ikut seakan memaklumi, memberi ruang pada Athisa untuk bersama Mami-nya sebentar, dan keluar bermain bersama Papanya ke playground terdekat.

Tamu yang mengunjungi rumah masa kecil Athisa berdatangan silih berganti. Athisa tak mengabari siapapun kecuali Laila dan manager – nya. Berita orang tuanya yang sakit tersampaikan ke client dan koleganya. Entah dari mana mereka mengetahui kabar itu.

Sebuah mobil hitam terparkir di halaman rumah. Seorang laki-laki dengan berapakan tegap dan badan setinggi 180cm keluar dari mobil. Menunduk-nunduk memasuki teras rumah karena rendahnya bangunan rumah sekaligus tinggi laki-laki ini tak seperti umumnya tinggi pemuda di kampung Athisa.

"Mam.." Suami Laila menyenggol. Laila yang duduk disampingnya sembari mendengarkan cerita Athisa tentang kondisi orangtuanya menengok ke arah pintu. Arah yang ditunjuk suaminya melalui gesture mata yang melirik. Athisa yang melihat adegan kode-kodean dari suami-istri yang duduk bersisian pun ikut melihat ke arah pintu. Menyadari ada yang datang. Dia berjalan menuju pintu.

Kaget dengan kedatangan Bumi. Laki-laki yang menunggu di teras sembari menundukan kepala karena tingginya yang menyentuh genteng.

"Oh.. Hei Dok Bumi.. Masuk.." Mempersilahkan. Athisa melihat Bumi yang salah tingkah. Malu-malu saat diajaknya masuk. Mengikuti Athisa yang sudah lebih dulu memasuki rumah.

***

Hi.. hi..

Kali ini kembali ke mode pagi :D

bisa juga update di pagi hari ditengah keriwehan..

Terimakasih sudah terus membaca..

Terus beri dukungan dengan vote, komentar dan follow :)

Jangan lupa beli bukunya saat diterbitkan ya...


Hello, 30!? (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang