Part 18

34 17 14
                                        

Hai, Readers terkasih, tersayang, tercintanya aku.

Btw, ada yang mau jadi saingannya Rora nggak, sih, di sini? Coba komen!

Okey, jangan lupa follow, vote, komen, and share cerita ini ke banyak temen kalian supaya bisa saling curhat mengenai nasib Anta, sih.

Selamat Membaca

----

"Kamu tidak bisa seperti itu pada orang tuamu sendiri, Anta!" Maira membuka suaranya seolah paling bijaksana.

Aku menatapnya nyalang. "Gue pikir lo ngerti dengan perasaan gue karena elo orang yang pertama kali tahu rasa sakitnya gue setelah dibuang oleh ibu kandung gue sendiri. Sayangnya, kenapa lo malah berpihak ke mereka tanpa memikirkan apa gue bisa melupakan rasa sakit yang mereka beri, Ra?"

Maira terdiam, tak memberikan pembelaan apapun terhadap perkataanku.

"Mana anak perempuan yang katanya akan memukul mereka habis-habisan karena tega buang gue waktu itu, Maira?" pekikku, "gue selalu berharap bisa ketemu lo lagi, mencari dukungan yang selalu gue tunggu-tunggu, tapi nyatanya lo malah begini. Lo bawa mereka di hadapan gue dan minta gue lupain semuanya dengan mudah?"

Aku menggeleng kuat. "Nggak. Lo bukan anak perempuan itu! Gue tahu lo bohong."

Maira melangkah cepat mendekat padaku. "Aku anak kecil itu, Anta! kamu harus percaya itu."

"Gue cuma percaya, kalo dia nggak mungkin akan bersikap kayak lo sekarang meski lo bilang semua orang bisa berubah seiring waktu." Aku menepis tangannya dari pergelangan tanganku. "Dia udah janji akan selalu dukung gue, dan dia juga tahu kalo gue nggak akan pernah kembali ke Keluarga Ferando."

"Kamu tidak bisa seperti itu, Anta!" sentak Maira tiba-tiba marah. "Setelah aku berani menampakan diri di hadapan kamu, tapi seperti ini reaksi yang kamu berikan? Di sini, aku yang tidak bisa kamu percaya atau memang kamu yang tidak pernah ingin bertemu denganku lagi?"

Aku mendongak menatapnya.

"Dia memang anak perempuan itu, Anta!" sambar Mama membelanya.

"Tau apa kalian?" tanyaku menatapnya tajam, "saya curiga jika dia adalah orang yang sengaja kalian suruh mengaku-ngaku hanya demi bisa membawa saya kembali."

"Kamu memang seharusnya kembali, Anta!" seru Papa, "karena sampai mati pun kamu adalah bagian dari Ferando. Seluruh darah di dalam tubuhmu mengalir darah Keluarga Ferando."

"Maka saya lebih baik mati daripada harus menerima fakta bahwa saya adalah keluarga kalian yang terbuang!"

Akibat ucapanku yang tidak bisa dia terima, Papa langsung memberikan tamparan pada wajahku. Namun, aku tidak peduli, terserah dia ingin memukulku karena hingga mati pun aku tidak akan sudi kembali.

Sebuah tamparan melayang telak di wajah Papa. Entah sejak kapan dia tiba sehingga tahu bahwa Papa telah menamparku.

"Anda tidak berhak memukul Anta karena yang bersalah adalah kalian sendiri!" ucapnya tegas, "apa kalian tidak malu, menginginkan dia kembali dengan sikap kalian yang masih saja temperamen seperti dulu?"

"Kamu tidak tahu apapun tentang keluarga saya!" balas Papa.

"Saya memang tidak tahu tentang keluarga kalian, karena saya cuma tahu tentang Anta. Dan orang yang berani menyakitinya, maka harus berhadapan dengan saya." Aurora menjawab lantang. Tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya.

Maira menarik Aurora hingga menghadapnya. "Om Rando dan Tante Fera adalah orang tua Anta. Jadi, tidak ada yang salah jika mereka ingin anaknya kembali."

"Lo ngaku kalo lo adalah dia yang Anta maksud, tapi, kenapa gue rasa lo lebih akrab sama mereka yang jahat ke Anta daripada ke Anta sendiri?" Aurora menyilangkan tangannya di dada. "Gue mungkin jahat bagi Anta, tapi gue nggak pernah berbohong begitu fatal seperti yang lo lakuin."

Maira terdiam seolah apa yang Aurora katakan adalah kebenaran.

Perempuan dengan pita pink di rambutnya itu kembali menghadap Papa dan Mama.

"Kondisi anak kalian sedang tidak baik, tetapi kalian malah memanfaatkan keadaannya yang tidak berdaya ini demi mewujudkan keinginan kalian? Di mana letak hati nurani kalian sebagai orang tua?"

Lagi-lagi Aurora berhasil membungkam mereka. Perempuan yang sempat kuanggap dan memang kuharapkan sebagai anak perempuan yang kutemui dulu, ternyata benar-benar mewujudkan apa yang pernah anak perempuan itu janjikan. Membelaku dan mendukungku.

"Maka, sebelum saya kehabisan kesabaran ... lebih baik kalian pergi dari sini atau saya perlu menyeret kalian keluar dengan bantuan Security?" Aurora mengancam, tetapi sepertinya ancaman itu tidak berarti. Keduanya masih belum bergeming.

Pintu kamarku kembali terbuka. Sosok Bunda muncul dengan langkah tergesah-gesah menghampiriku. Dia langsung membawaku ke dalam pelukannya.

"Bunda ...," lirihku membalas pelukannya.

"Antariksa tidak akan pernah saya biarkan kembali pada orang tua tidak bertanggung jawab seperti kalian!" tegasnya.

"Jika anda bersikeras, maka jangan salahkan saya jika kalian harus hidup sengsara karena telah mengambil milik Keluarga Ferando!" ancam Papa.

"Saya tidak akan bisa mengambil Anta jika kalian tidak memberi saya kesempatan!" sahut Bunda, "istri anda sendiri yang membuangnya pada malam hujan deras itu hingga mungkin sampai detik ini dia tidak tahu jika Anta selalu kehilangan keceriaannya setiap kali terjadi hujan malam hari."

"Sebuah trauma besar sedang dialami oleh anakku ini karena kalian!" sambungnya menekan kata 'anakku'.

"Tapi sekarang saya sudah menyesal," ujar Mama, "maka tolong, kembalikan Anta kepadaku."

"Penyesalan selalu diakhir dan penyesalan tidak selalu akan membuat yang kita sakiti menerima apalagi bersedia kembali!" kata Bunda, "maka, akan lebih baik jika kalian segera pergi dari sini!"

"Saya tidak akan pergi sebelum Anta bersedia kembali!" putus Papa kekeuh dengan tujuannya. Maka, di waktu yang tepat, entah sejak kapan Andra kembali, laki-laki itu sudah datang dengan membawa dua orang security rumah sakit. Meminta kedua pria berbadan kekar itu untuk membawa pergi Papa dan Mama dari kamar rawatku.

Maira masih berdiri di tempatnya sehingga Aurora segera menghadap padanya. "Lo mau pergi sendiri atau butuh diseret juga?"

Maira menatap Aurora tidak senang.

"Awas ya, lo!" tunjuknya pada Aurora sebelum memutuskan pergi.

Kini aku bisa bernapas lebih tenang. Aku semakin mengeratkan pelukan pada Bunda, seolah tidak ingin kehilangan. Aku takut jika tiba-tiba kedua orang itu kembali datang dan saat itu juga aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti permintaan mereka.

Kembali pada Ferando.

"Semua akan baik-baik saja dan kamu akan tetap menjadi bagian dari Albara. Bahkan jika kakakmu masih tidak senang, Bunda dan Ayah akan selalu berada di pihak kamu, Anta!" tutur Bunda sambil memberikan usapan-usapan lembut di punggungku.

"Lo nggak perlu merasa sendiri, kali, Ta!" kata Andra, "masih ada gue kalo Gara nggak mau menganggap lo sebagai adik, karena gue bisa jadi Kakak yang baik buat lo," sambungnya penuh percaya diri.

Aku sedikit terhibur karena ucapannya. Ya, memang sebenarnya Andra lebih tua dua tujuh bulan dariku. Wajar jika dia menyebut diri sebagai Kakak.

***

Stay Tune, Guys!

Jangan lupa follow akun medsos aku, ya. Cek di bio.

Stuck in Own Plans sudah bisa dipesan di shopee melalui link tertera di bio Instagram akun @niarvaza

Stuck in Own PlansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang