Part 16

35 16 3
                                        

Wellcome back, Readers!

Hayo semangat!

Jangan lupa follow. Kalo udah, ayo lanjut!

Selamat Membaca

Share cerita ini ke temen-temen kalian, yuk!

----

Hampir seminggu aku tidak kembali ke rumah Albara sehingga tidak terlalu tahu dengan kondisi di sana. Mbok Lita memberitahuku kabar bahwa keadaan di rumah agak kacau. Kak Gara sering pulang malam karena bertengkar dengan Ayah pasal diriku. Maka, hari ini aku memutuskan datang ditemani Andra.

Saat aku tiba di sana, Pak Andra langsung menyambutku. Dengan senang berkenalan dengan Andra yang satu nama dengannya. Lalu, Mbok Lita muncul dan menceritakan semuanya. Mengatakan bahwa perginya aku dari rumah karena Kak Gara, dan Ayah tahu soal itu.

Ya, aku memang pergi karena Kak Gara, tetapi pada akhirnya atas kemauanku sendiri. Aku tidak ingin Ayah dan Bunda menderita ketika Keluarga Ferando sadar bahwa aku masih bersama Albara. Cukup lama bercerita seakan melepas rindu di antara kami, suara mesin mobil milik Ayah pun terdengar masuk ke garasi.

Bunda langsung berlari saat melihat keberadaanku. Memelukku erat seolah tidak ingin melepaskan diriku.

"Kamu ke mana saja, Anta? Kamu marah dengan Bunda dan Ayah?" tanyanya tanpa bersedia melepaskan pelukannya terlebih dahulu.

Sama sekali tidak, tetapi kepergianku dari rumah ini bisa disebut sebagai balas budiku terhadap kalian. Dengan begitu, Ferando tidak punya alasan untuk menghancurkan semua yang telah kalian rintis selama ini.

Ayah duduk di sofa lalu disusul Bunda dan Aku di mana tanganku terus digenggam erat olehnya. Andra duduk diam di sofa yang berada di seberang meja di depanku. Dia hanya menatap kami dengan pandangan heran. Mungkin dia berpikir bahwa aku sangat malang karena harus pergi meninggalkan orang-orang sebaik mereka.

"Kamu salah pergi dari rumah tanpa izin, Anta!" Ayah berkata dengan suara berat dan penuh kewibawaan.

Aku tertunduk bersalah. "Jika ada masalah, ceritakan pada Ayah dan Bunda. Jangan malah mengambil keputusan sepihak cuma karena tekanan dari Gara!" lanjutnya, "Kakak kamu itu memang keras kepala. Selalu ingin menang sendiri. Lihatlah, setelah berhasil mengusirmu, dia tidak pernah pulang tepat waktu. Entah kekacauan apa yang sedang dia lakukan diluar sana."

Kepalaku terangkat menatapnya.

"Apa maksudnya bertingkah seperti anak kecil begitu? Usia sudah akan menginjak angka 19 tahun, tetapi kelakuan masih seperti anak 7 tahun." Ayah kembali berucap, mengeluarkan segala kekesalan yang pasti dia tahan beberapa hari belakangan ini.

"Anta pergi karena kemauan sendiri, Yah!" sahutku.

Kak Gara tidak sepenuhnya salah dalam hal ini, maka tidak seharusnya menanggung kesalahan Keluarga Ferando.

Bunda menangkup wajahku agar menghadapnya. "Kamu ingin pergi meninggalkan Bunda dan Ayah? Kamu tidak sayang pada kami lagi?"

Aku menggeleng.

Jelas aku sangat sayang mereka, tetapi takdir tidak memberiku jalan agar bisa bersama kalian setiap saat. Bayang-bayang Ferando akan melukai kalian tidak bisa membuat perasaanku tenang.

"Aku pergi bukan karena tidak menyayangi kalian, tetapi mengikhlaskan kalian adalah wujud rasa sayangku yang paling besar. Tidak ada rasa sayang yang lebih besar dari sebuah mengikhlaskan, Bunda."

Stuck in Own PlansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang