Selamat membaca
----
Aku mengangkat tubuh dari bangku ketika satu persatu teman-teman berhamburan keluar menuju tempat favorit mereka. Pelan tapi pasti, aku melangkahkan kaki menelusuri lorong di antara meja-meja hingga berdiri tepat samping meja milik Aurora.
Setelah mempertimpangkan keputusanku matang-matang selama jam pelajaran berlangsung. Alhasil, aku memilih menelan ego dan segala perselisihan yang terjadi di antara kami.
Aurora masih sibuk membereskan alat tulisnya. Tanpa menghentikan gerak tangannya, dia mendongak dan kilatan mata tajamnya membuatku bergetar.
"Keknya, gue duluan, deh, Ra!" celetuk Cika berlalu meninggalkan kami.
Aurora menatapku, menunggu.
Aku menelan ludah kasar, sebagai upaya membasahi tenggorakanku yang tiba-tiba menjadi serak. Kemudian, menyampaikan semua yang ingin aku katakan. Mengenai Kak Gara, mantan Ketua OSIS yang berharap bisa lebih dekat dengannya. Namun, setelah panjang kali lebar ucapanku, reaksi paling gilanya membuatku tidak mampu berkata-kata.
Sungguh, aku ingin berteriak dan mengumpat sepuasnya.
Bukannya terkesima atau semacamnya. Reaksi Aurora benar-benar jauh dari ekspetasiku. Harapan setelah mengatakan semua keunggulan yang dimiliki Kak Gara, Aurora akan tersipu atau apalah. Nyatanya, perempuan itu malah pingsan mengenaskan dengan siku tangan kanannya menghantam sudut meja.
Teman sekelas yang menyaksikan semua kejadian tadi, seketika menyalahkanku. Dibuat bingung dengan desakan dan tuduhan mereka sehingga dengan perasaan kesal, aku terpaksa menggendong Aurora menuju UKS dan menciptakan suasana dramatis dengan dibumbui jeritan histeris para siswi yang menyaksikan adegan paling konyol itu.
Aku menghela napas lega usai Bu Nindi memeriksa keadaan Aurora, dan beliau mengatakan bahwa perempuan setengah barbar itu hanya kelelahan serta dipicu aksi mogok makan sejak kemarin. Mak, sebelum memutuskan pergi, Bu Nindi menitipkan Aurora padaku.
Aku duduk pada kursi di sisi ranjangnya.
"Gila. Udah bosen idup lo, Ra?!"
Aku baru saja akan beranjak ingin meninggalkannya, jika pergerakkan Aurora menghentikanku. Perlahan matanya mulai terbuka, lalu satu tangannya terangkap memijat pelipis. Dia menoleh kepadaku sekilas. Mengangkat tubuhnya hingga terduduk.
Tidak membiarkannya tenang, aku langsung menyerangnya dengan rentetan pertanyaan. "Kenapa juga lo nggak makan dari kemarin, sih? Kenapa nggak besok aja? Udah bosen hidup? Gara-gara lo, gue kayak kriminal di mata temen-temen."
"Kamu memang seorang kriminal, Anta!" sambarnya cepat, "sudah tahu aku sedang sakit, tapi kamu malah bertanya sebanyak itu."
Aku menyengir kuda. "Sorry!"
Seumur-umur, aku belum pernah meminta maaf seperti ini.
Aurora mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada dinding, sehingga membuatnya menghadapku.
"Antariksa!" panggilnya.
Aku terkesiap.
"Katakan padaku! Mimpi apa kamu semalam sehingga tiba-tiba datang menemuiku dan mengatakan hal yang sama sekali tidak penting itu?"
Mulutku menganga. Mataku membulat tak percaya. Aku yakin sekali jika raut konyol yang kutunjukkan kini pasti menggoda perempuan itu untuk tertawa selebar mungkin. Sayangnya, perempuan kaku tanpa ekspresi—kecuali marah-marah—ini tidak mungkin melakukan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck in Own Plans
Novela JuvenilCerita masih lengkap . Follow dulu sebelum baca (Jangan plagiat, sayang) Jangan lupa vote dan komen di setiap bab, ya. Selamat membaca. . . Pertama kalinya Antariksa bertemu cewek paling ajaib seperti Aurora. Tak jarang Aurora membuatnya...
