Hai! Masih suka, kan?
Tungguin, ya, dan jangan bosen. Hehehe.
Bantu share ke temen-temennya ya, biar banyak yang tau dan siapa sangka mereka suka.
Selamat Membaca
----
Dua minggu harus mendekam di ruangan serba putih dengan aroma obat yang menyeruak di mana-mana, membuatku mulai merasakan bosan dan ingin keluar. Setidaknya untuk bisa menghirup udara segar. Namun, aku sadar jika aku hanya bisa keluar ketika ada orang di sekitarku karena kakiku masih sakit dan tak bisa digunakan untuk bergerak. Masih untung aku tidak dinyatakan lumpuh, tetapi jika aku hanya berdiam diri di kasur, lama-lama aku bisa lumpuh betulan.
Tidak lama kemudian Aurora datang di waktu yang tepat. Perempuan itu setiap hari rutin mengunjungiku setelah pulang sekolah, membawakanku apapun yang dia anggap bisa kumakan dalam kondisi sekarang. Senyuman yang selalu dia tunjukkan saat wajahnya kutatap ketika dia berada di ambang pintu menjadi ekspresi kesukaanku akhir-akhir ini.
Dia duduk pada kursi di samping ranjangku. "Kenapa?"
Dahiku mengernyit. "Kenapa apanya?"
Aurora memutar matanya malas. "Udah, jujur aja, kamu mau keluar, kan?"
Aku meringis. Bagaimana dia bisa tahu?
Ah, aku lupa jika beberapa kalian perempuan ini memang bisa menebak isi pikiranku saat diriku sibuk menjadi pesuruhnya.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Ingin mengaku, tetapi cukup canggung jika harus meminta bantuannya untuk mengangkatku dari ranjang agar duduk di kursi roda, lalu dia juga harus mendorongku mencari keluar. Dia pasti akan merasa sangat direpotkan.
"Aku juga bosen, sih, lihat kamu sebentar lagi bisa menyatu dengan dinding serba putih di sini," katanya, "kita keluar aja, yuk? Lihat aktivitas diluar, biar kamu nggak lupa kalo masih banyak hal yang menunggu untuk kamu lakukan."
Tanpa menunggu persetujuanku, dia beranjak dari duduk menuju kursi roda yang terpatri di dekat lemari di samping pintu. Lalu, tanpa diminta pula, dia langsung menyibak selimut rumah sakit yang menutupi sebagian tubuhku, memperlihatkan kaki kananku yang harus di gif karena mengalami patah tulang.
Dia mengusap kakiku.
"Cepet sembuh, ya!" katanya, lalu menarikku untuk turun dan duduk di kursi roda.
Dia mendorong pelan kursi rodaku, pelan tapi pasti, akhirnya aku melihat aktivitas sibuk seisi Rumah Sakit. Saat Aurora menutup pintu, para Perawat dan Dokter melintasiku sambil mendorong bangker di mana di atasnya terbaring seorang pria dengan dada dipenuhi kabel, lalu keluarga pasien itu melangkah pelan mengikuti sambil terisak. Sekilas aku merasa yakin jika saat pertama kali aku dan Ayah di bawah ke rumah sakit, Bunda juga seperti itu.
Karena aku bergeming, aku tidak sadar bahwa Aurora sudah kembali mendorong pelan kursi rodaku jika perempuan itu tidak bertanya, "Kamu maunya ke mana? Taman depan atau taman belakang? Atau mau duduk di deket meja administrasi aja, biar bisa lihat kesibukkan orang-orang?"
"Lo pikir, liatin orang sakit termasuk tontonan?" sinisku.
Aurora tertawa kecil. "Bercanda kali!"
"Gue nggak pernah suka gaya candaan kayak begitu!"
"Hm!" gumamnya, "ternyata masih Anta yang lama. Aku pikir Anta yang asli udah bertransmigrasi ke tubuh orang lain, makanya Anta yang kemarin-kemarin lebih banyak diem daripada bawelnya."
Aku berdecak, "Gue mana pernah bawel?"
Aurora mendengus.
"Kamu aja yang nggak sadar!" cibirnya.
Aku memilih tak menyahut, karena perempuan di belakangku ini selalu punya jawaban pada setiap ucapanku. Dia selalu punya cara untuk membuatku terdiam dan harus setuju dengan perkataannya.
Ternyata benar kata Aurora, bahwa banyak orang yang melakukan sesuatu dan banyak hal yang belum aku lakukan selama di rumah sakit ini, yaitu berbaur dengan pasien lain. Ketika tiba di taman depan yang menjadi pilihan Aurora, tempat ini begitu ramai dengan manusia berseragam serba biru sepertiku, sedang mengisi waktu. Sibuk bercengkrama sesama pasien atau bahkan bermain dengan anak-anak kecil.
Aurora duduk di bangku taman setelah memastikan kursi rodaku terkunci. Kuperhatikan wajahnya secara seksama. Lagi dan lagi, aku merasakan hal yang membuat jantungku berdetak tak karuan. Jika sang maestro cinta yang merasakan hal ini, maka dia akan menduga bahwa dirinya sedang jatuh cinta pada perempuan ini.
Sejujurnya, aku masih penasaran, di mana letak alasan para siswa Garuda bisa menyukai Aurora sampai sebegitunya? Ambil saja contohnya, Kak Gara. Laki-laki yang nyari diduga tidak akan pernah jatuh cinta di masa SMA, malah menjatuhkan sukanya pada Primadona Garuda. Semenarik itukah Aurora sehingga dia bahkan bisa memikat laki-laki seperti Kak Gara?
"Udah puas liatin akunya?" celetuk Aurora membuatku tergugup.
Kubuang wajah ke sembarang arah, menghindar dari tatapannya yang terlihat begitu menikmati ekspresiku yang menahan malu. Aku yakin sekali, dia pasti melihat wajahku yang bersemu.
Sialan!
"Kalo udah suka," ucapnya, "buruan ngaku, ya!" imbuhnya.
Aku memejamkan mata kuat-kuat. Apa yang bisa kutanyakan padanya agar segera terbebas dari keadaan canggung ini?
"Tapi, jika kamu masih mengedepankan Gara di atas segalanya. Maka ... mungkinkah aku harus segera menyerah, Anta?"
Karena Aurora menyebut Kak Gara, aku menjadi teringat bahwa sudah seminggu lebih laki-laki itu tidak terlihat keberadaannya. Pasalnya, setelah dia diusir Bunda dari kamar rawatku, dia masih beberapa kali datang dan menjagaku saat Bunda ataupun Andra sedang tidak ada, padahal waktu itu dia sedang sibuk mengikuti Ujian Nasional.
Ya, dari segala sikapnya selama ini, memang sulit dipercaya jika dia bersedia menjagaku. Namun, aku tahu Kak Gara, seperti yang sudah pernah aku katakan, dia sesungguhnya sangat peduli dengan orang di sekitarnya, meski terkadang dia menunjukan kepedulian itu dengan cara yang salah.
"Kelas 12 udah selesai ujian, kan, Ra?" tanyaku sampai lupa untuk menanggapi pernyataannya barusan. "Tapi, kenapa dia nggak kelihatan akhir-akhir ini?" tambahku.
Perempuan yang mulanya menunduk menatap kakinya yang memainkan rumput, kini mengangkat kepala mendongak padaku. Dia tersenyum sebelum menjawabku.
"Setelah Ujian Nasional berakhir, Om Bara kritis!"
Jantungku berdetak cepat. "Ayah kritis? Kenapa nggak ada yang kasih tahu gue? Elo selalu dateng nemuin gue, tapi kenapa lo nggak bilang ke gue, Ra?"
"Aku udah janji sama Tante Diana supaya nggak bikin kamu drop setelah tahu kabar itu, tapi sekarang aku rasa kamu udah mendingan. Makanyam aku baru berani bilang," jelasnya.
Aku menatap jauh ke depan, tepat pada pohon berukuran sedang yang berdiri seorang diri. Tanpa manusia yang ini berteduh di bawahnya karena memang daunnya tidak lebat seperti pohon yang sedang menaungi kami. Pohon itu jika dideskripsikan, hampir mirip denganku, seorang diri. Kesepian meski disekitarku begitu ramai.
"Malam itu, di depan ruang operasi, semuanya panik dengan keadaan membingungkan."
Aurora mulai bercerita tentang yang dia tahu.
***
Seharusnya bab ini lebih panjang, tetapi aku bagi dua. Jadi, langsung baca bab berikutnya, ya.
Stay Tune! Jangan pergi sebelum beres ....
Stuck in Own Plans sudah bisa dipesan di shopee melalui link tertera di bio Instagram akun @niarvaza
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck in Own Plans
Teen FictionCerita masih lengkap . Follow dulu sebelum baca (Jangan plagiat, sayang) Jangan lupa vote dan komen di setiap bab, ya. Selamat membaca. . . Pertama kalinya Antariksa bertemu cewek paling ajaib seperti Aurora. Tak jarang Aurora membuatnya...
