Part 7

48 27 25
                                        

Hai, kembali lagi dengan Anta dan Rora

Selamat membaca.

Jangan lupa follow dan add di perpustakaan kamu, ya ....

Untuk typo, bantu tandain, ya. Terima kasih.

----

Baru kemarin—baru saja kemarin aku merasa dekat dengan Aurora— tetapi hari dia malah membuat pemikiran berbeda tentang dirinya yang kemarin, kini kembali berulah dengan tingkah ajaibnya. Menyerangku dengan tugas-tugas gilanya. Konyolnya lagi, kini bukan Bubur Ayam di dekat Mall Kota, melainkan Martabak Bangka yang beberapa waktu lalu pernah aku bawakan sebagai pengganti bekal yang dia minta.

Bayangkan saja, di mana aku bisa menemukan Martabak Bangka? Ya, mungkin ada di wilayah Bandung Raya ini, tetapi untuk mencari lokasinya pasti akan memakan waktu, sedangkan Aurora menginginkan Martabak itu pagi ini juga.

Ingin rasanya aku teriak, memberi tahu pada seluruh manusia di bumi ini, terkhusus pada kaum perempuan agar tidak menjelma menjadi duplikat Aurora. Sungguh, jika itu terjadi, maka tidak hanya aku, laki-laki yang sengsara di dunia ini.

Aku menghela napas keras. Telepon yang semula terhubung dengannya, kini telah terputus. Menyisakan diriku yang dilanda kebingungan.

Aku beranjak dari dudukku di atas sofa, mengambil jaket hitam dari dalam lemari dan mengenakannya. Kemudian, menyambar kunci motorku yang berada di atas meja belajar, lalu melangkah malas menuju pintu kamar.

"Hari libur gini, masih aja ngerepotin," dumalku seraya mengunci pintu kamar, lalu bergegas menuruni tangga.

Di ruang tengah, ada Ayah dan Bunda tengah duduk secara berdampingan menonton acara televisi yang sedang menayangkan berita penculikan anak berusia 7 tahun di daerah Kalimantan Timur. Aku menggeleng tidak habis pikir, entah apa yang penculik inginkan pada anak kecil yang masih polos dan tidak mengerti apapun.

Dua langkah lagi aku akan berhasil meraih pintu utama, suara lembut milik Bunda menginterupsiku, membuat langkahku yang akan menjejak maju—keluar rumah—terpaksa berhenti.

Aku berbalik badan.

"Iya, Bunda?" tanyaku tersenyum manis.

"Mau ke mana? Kenapa nggak pamit lagi?" tanya Bunda marah.

Ah, iya, karena memikirkan di mana aku bisa menemukan Martabak Bangka pesanan Aurora, aku sampai lupa untuk berpamitan.

Aku menggaruk kepala bagian belakang menggunakan ujung kunci motor sambil menyengir kuda. "Maaf, Bunda ... lupa."

Ayah ikut menoleh.

"Sini, mendekat dulu!" pintahnya, membuatku mau tidak mau harus mendekat dan duduk di salah satu single sofa.

"Anak kamu ini pasti udah punya pacar, makanya keluar waktu libur sekolah begini." Bunda menudingku.

Tidak terima atas tuduhannya, aku langsung mengibaskan tangan ke depan. "Nggak, Yah, Anta nggak punya pacar. Boro-boro pacar, cewek yang deket aja nggak ada."

"Ah, yang bener, kamu?" Bunda menyipitkan mata. "Terus, kapan, dong, Anta bakal bawa kenalan ke sini?"

"Anta, mah, nanti-nanti aja, Bunda."

Kulihat Kak Gara menuruni tangga sambil merapikan bajunya. Aku menunjuknya dengan dagu, sehingga Ayah dan Bunda memutar kepala ke arah Kak Gara. "Dalam waktu dekat ini, Kak Gara yang bakal bawa gandengan."

Stuck in Own PlansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang