Chapter 8

393 55 3
                                    

Didalam ruang kerjanya, Chandra kembali berkutat dengan laptop nya. Mencari informasi yang bisa dia dapat tentang seluruh kehidupan Reno Atmaja dan semua orang yang terlibat didalamnya.

Tok tok tok

"Masuk."

Bimo- asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Chandra. Bimo terlihat masuk kedalam ruangan setelah mendapat izin masuk.

Menyerahkan berkas yang dibawanya, membuat Chandra segera menyambar berkas itu. Menyandar pada sandaran kursi kebesarannya dan membacanya.

"Narkoba."

"Iya, Reno terlibat narkoba sejak 8 tahun lalu, sudah pernah ditangkap 2 tahun lalu tapi dia berhasil melarikan diri dari sel. Hingga statusnya adalah buronan." Bimo terlihat menjelaskan yang langsung membuat Chandra menghentikan aktivitas membacanya.

Melempar berkas itu kasar pada meja. "Buronan," lirih Chandra menatap lurus pada jendela yang menampilkan udara taman belakang. "Buronan itu berani bermain main dengan saya, menyakiti darah daging Abraham adalah kesalahan terbesarnya." Tekannya, bibirnya bergemelatuk tangannya mengepal kencang.

Bimo menatap Chandra yang terlihat menerawang. "Lagian kenapa gak langsung dihabisi aja, biasanya siapa pun yang bermasalah sama Bos langsung dihabisi. Apalagi ini menyangkut Azella, anak yang sudah kita cari selama 18 tahun, dan dia kembali pada kalian dengan kondisi yang tidak baik. Harusnya Bos bisa nyuruh kita habisi dia, bahkan kalo bisa Bos sendiri yang turun tangan untuk balas dendam tentang seluruh rasa sakit yang diterima Azella. Kenapa sekarang gak?"

Bimo heran akan pemikiran bos nya itu. Biasanya Bos nya akan terlihat agresif saat ada orang yang mengusiknya walau hanya secuil. Tapi kenapa sekarang ia mendapati balas dendam yang berbeda dari Bosnya, ia pikir jika itu menyangkut Azella, putri yang sangat dinantikan kepulangannya akan lebih membuat Bos nya agresif, tetapi ternyata tidak.

"Sekarang kondisinya berbeda, Bimo. Selama Azella hidup, dia hanya mengenal Reno sebagai Ayahnya, tidak mungkin saya langsung menghabisi Reno, yang ada Azella akan memandang saya berbeda, memandang saya sebagai pembunuh. Lagipula, sekarang ada empat anak yang juga tidak bersalah, mereka sudah menjadi bagian dari Abraham." Matanya beralih pada satu kertas yang menampilkan foto Reno, mengambilnya, memerasnya dan melemparnya pada jendela yang terbuka, membuat foto itu terjun bebas dari lantai 2.

"Yang ingin saya lakukan sekarang adalah memasukan Reno kedalam penjara, menghukumnya seumur hidup dalam penjara, walau itu tidak akan sebanding dengan penderitaaan putri ku selama ini. Maka dari itu aku akan sedikit melakukan sesuatu." Seringai kecil tercetak diwajahnya.

☘☘☘

Malam sudah tiba, Kini Azella hanya berdiam diri di taman belakang, menatap bintang yang bersinar cerah dengan senyumnya.

Makan malam sudah dilaksanakan, setelah makan malam, adik-adik nya mengikuti Rana dan Rissa untuk melihat rekomendasi sekolah baru yang akan mereka tempati.

Dirinya sudah lebih baik sekarang, infus sudah terlepas dari tangan nya sejak makan siang tadi.

Tersentak saat merasakan selimut membungkus tubuhnya, menoleh dan mendapati sang Ayah yang tersenyum lembut padanya.

"Boleh ikut duduk?" Azella mengangguk, mempersilahkan sang Ayah untuk duduk disebelahnya.

"Kenapa diluar? Dingin loh, emang udah sembuh?" Chandra bertanya, menyilangkan tangan didepan dan ikut menatap bintang-bintang.

"Enggak dingin kok."

Hening menyelimuti mereka yang masih menatap langit malam.

"Maaf, Azella."

"Kenapa Papa minta maaf?"

"Maaf karena membiarkan Azel hidup seperti ini, maaf tidak mengajari Azel belajar sepeda, maaf tidak mengantar saat Azel pertama masuk sekolah, maaf karena Papa gak ada saat Azel sakit, maaf membuat Azel harus banyak belajar tentang kehidupan, maaf membuat Azel harus dewasa sebelum waktunya. Harusnya dari dulu Azel bergantung sama Papa bukan malah berdiri diatas kaki Azel sendiri, harusnya Papa bisa jadi superhero nya Azel, harusnya papa yang ngajarin Azel bicara, harusnya Papa yang gendong Azel, harusnya Papa bisa lebih mertahanin Azel, harusnya Papa bisa melawan ego Kakek." Chandra menatap dalam mata sang Putri yang juga menatapnya.

"Papa," Suaranya bagai lantunan musik sedih bagi Chandra yang berusaha mati matian menahan agar air matanya tidak jatuh.

"Gak ada yang perlu disesali, semua udah terjadi, yang lalu biar aja berlalu. Yang terpenting sekarang Azel ada disini, sama kalian. Azel gak pernah menyesalkan apapun, Azel gak pernah menyesal jadi anak Ibu Laras dan Ayah Reno, Azel gak pernah menyesal jadi bagian dari adik-adik Azel. Karena Azel pernah bahagia sama mereka, karena dari mereka juga Azel belajar banyak hal, belajar tentang kerasnya hidup, tentang pengorbanan, tentang kasih sayang yang tidak bisa dibeli dengan uang. Jadi, Papa gak perlu menyesalkan apapun karena Azel sendiri pun gak pernah menyesali apapun."

Senyum putrinya tak ayal membuatnya kembali merasakan penyesalan. Dia melewatkan banyak hal tentang pertumbuhan putrinya hingga jadi sekuat sekarang.

Tangan Azella terangkat, mengusap pipi Chandra saat satu air mata berhasil lolos dari pelupuknya. Membuat Chandra memejamkan matanya saat merasakan usapan tangan kecil yang sedikit kasar itu.

"Boleh Papa minta peluk?" Tanpa menjawab, Azella lebih dulu memeluk tubuh sang Ayah yang langsung menangis dibahu kecilnya.

Tangan Chandra terangkat, memeluk penuh tubuh kecil putrinya yang tenggelam dalam tubuh tingginya. Mengecup berkali kali rambut putrinya, mengusap dengan sayang surai putrinya.

"Terimakasih sudah bertahan dan memilih pulang, sayang."
















______________________

I'm introvert:(

Boleh minta vote dan komen:)

Gak enak sih nyuruh-nyuruh orang buat vote dan komen, itulah gak enaknya jadi introvert weh, lebih tepatnya orang gak enakan sih.

Terserah kalian deh

Home [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang