Chapter 13

266 36 1
                                    

Tidak ada yang tahu bahwa Azella merupakan korban pelecehan dari Ayahnya sendiri, termasuk Adik-adiknya sendiri yang bahkan tidak tahu menahu tentang hal ini.

Sejak hari dimana kehormatannya direnggut paksa oleh seseorang yang dirinya sebut sebagai Ayah. Hidupnya sudah tak lagi berharga. Untuk apa dirinya hidup jika bukan karena Adik-adiknya. Karena itu pula dirinya hanya memikirkan tentang kerja, kerja dan kerja, tidak ada yang lain.

Tidak pernah sedikit pun terbesit dalam pikirannya tentang keluarga kandungnya yang akan menjemputnya. Sedari dulu, dirinya berpikir jika ia dilahirkan hanya sebagai alat mainan Ayahnya, pengganti peran sebagai tulang punggung setelah sang Ibu tiada.

Orang lain tidak tahu tentang kehidupannya yang lebih menderita dari yang mereka lihat. Mereka hanya pandai mencibir seseorang yang pangkatnya lebih rendah dari mereka.

Karena jika ada dari satu orang pun yang tahu tentang dirinya yang tak lagi bersih, mereka pasti tidak akan menerima dirinya dengan sukarela kecuali dilandasi rasa kasihan, dan dirinya tidak suka dikasihani.

Selain itu, Azella pun memikirkan bagaimana cara memberi tahu sang Ayah tentang Reno yang kemungkinan besar kabur dari penjara. Dirinya tidak sebodoh itu untuk menuruti Reno lagi. Ia tahu, kini dirinya memiliki Chandra dan segala kekuasaannya. Tapi ia juga takut, takut jika Reno bertindak lebih jauh dengan mengambil Adik-adiknya atau bahkan mebocorkan semua tentang kondisi dirinya.

Itu pula yang menjadi ke khawatiran terbesarnya. Bagaimana jika keluarga kandungnya tahu tentang kondisinya? Apakah mereka akan membuangnya lagi? Atau mereka akan mengembalikannya pada sang Ayah yang sudah menghancurkan masa remajanya?

Pemikiran itu kembali menghantui dirinya malam ini. Matanya masih terbuka lebar, pikirannya penuh dengan sesuatu yang belum tentu terjadi. Ingin sekali membagi pikirannya dengan siapapun yang rela mendengarkan kisah-kisah hidupnya.

Dirinya kembali menangis. Ia Membenci dirinya sendiri yang mudah menangis, dan membenci tubuhnya yang sudah tak lagi suci.

Semuanya terasa menyesakkan untuknya.

Menghela nafas panjang dan beranjak dari kasur, berjalan kekamar mandi untuk membasuh wajahnya agar lebih segar sekaligus menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang hinggap dikepalanya.

Memilih keluar kamar untuk sekedar minum saat matanya tidak menemukan air dinakasnya.

Rumah sudah benar-benar sunyi, karena seluruh penghuni rumah sudah tidur mengingat kini jam menunjukan pukul dini hari.

Setelah sampai pada dapur, dirinya menuangkan segelas air. Terkejut dan hampir menjatuhkan gelas miliknya saat namanya sayup-sayup dipanggil.

Menoleh dan mendapati Chandra ditengah temaramnya lampu. "Papa," gumamnya.

Chandra mendekat dan berhenti tepat didepan putrinya. "Ngapain, nak?" Chandra bertanya dengan tangannya yang menyurai pelan surai putrinya yang terasa lepek. "Azel keringetan?" Herannya.

Azella tampak gugup, matanya mengedar pada apapun asal bukan mata sang Ayah. Memutar otak mencari jawaban apapun yang bisa dia berikan pada Ayahnya. "Emm—oh, tadi Azel lupa rendahin suhu kamar, makanya Azel kepanasan. Ini juga karena panas jadi haus dan dikamar gak ada air." Jelasnya dengan senyum canggung yang bisa ditangkap jelas oleh mata Chandra.

"Azel kenapa?" Bertanya adalah sesuatu yang benar menurutnya. Ia tidak ingin putrinya menyembunyikan apapun darinya.

Senyum canggung Azella berubah menjadi senyum tulusnya yang diperuntukan untuk sang Ayah yang amat peka. "Azel gak apa-apa."

Azella tetaplah Azella yang tidak mudah untuk membagi pikirannya. Gadis itu sudah terbiasa memendam. Lagipula, Azella juga terlalu takut, takut akan segala yang dirinya miliki sekarang. Dirinya tidak ingin kebahagiaan ini hilang, dirinya ingin merasakannya lebih lama.

Tatapan Chandra tak beralih sedikitpun dari netra bening yang terlihat bersinar malam ini. "Beneran?" Chandra bertanya ragu, tidak percaya dengan kata 'tidak apa-apa' yang dilontarkan putrinya.

Azella mengangguk yakin. "Ayah sendiri ngapain?"

"Ayah juga mau minum." Tersenyum membalas senyum putrinya, tangannya mengelus pelan pucuk kepala itu. "Azel mau tidur sama Papa gak?"

Azella tertawa kecil. "Boleh?" Sedikit memiringkan kepalanya menjawab tanya sang Ayah.

Tawa dari suara rendah Chandra memecah sunyi di kegelapan malam ini. Seraya mengangguk, dirinya sedikit memiringkan kepalanya, mengikuti putrinya. "Kan Papa yang nawarin."

Mereka tertawa bersama, sebelum isyarat dari Chandra dengan telunjuk dibibirnya, menghentikan tawa keduanya. "Azel duluan ya kekamar, nanti Papa nyusul. Mau minum dulu."

Azella mengangguk dan segera pergi menuju kamarnya seraya membawa gelas miliknya.

Chandra yang melihat putrinya sudah menghilang dibalik tangga seketika melunturkan senyum yang sedari tadi terpatri diwajahnya. Tangannya merogoh saku miliknya, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang, tidak peduli dengan pukul berapa pun sekarang dirinya hanya membutuhkan informasi sesegera mungkin.

Pada dering keempat, terdengar suara serak dari seberang telfon.

"Kenapa nelfon jam segini sih Bos, saya ka—"

"Cari informasi tentang apa saja yang Azella lakukan dan bertemu siapa saja dia hari ini. Saya tunggu sampe besok, jam 7 laporan harus sudah ada dimeja saya." Tegas Chandra pada seberang telfon.

"Hah—"

Chandra mematikan sepihak panggilan telfon. Tidak peduli dengan umpatan apa saja yang akan dilontarkan Bimo diseberang sana.

Dirinya tahu Azella sedang tidak dalam kondisi baik, dirinya tahu pikiran Azella penuh tapi dia tidak ingin membaginya dengan siapapun. Dirinya merasa gagal karena putrinya tidak ingin berbagi pikiran dengannya. Hingga terpaksa dirinya harus mencari info melalui Bimo.

Tidak jadi dengan urusan minumnya, dirinya segera menaiki tangga menuju kamar Azella.

Tanpa mengetuk ia langsung masuk kedalam kamar dengan wangi Vanilla yang menenangkan jiwa dan pikirannya yang kalut tentang putrinya.

Menemukan Azella yang sudah nyaman dibalik selimutnya. Dirinya mengambil remot AC, menyesuaikan suhunya untuk membuat putrinya lebih nyaman.

"Papa, sini."

Chandra bergerak menuju Azella, berbaring disebelah putrinya itu. Tangannya sengaja ia jadikan bantalan sang putri, tangan satunya ia gunakan untuk memeluk tubuh Azella.

Hening menyapu mereka yang sama-sama nyaman dalam posisinya. Hingga hembusan nafas teratur milik putrinya tertengar dalam rungu Chandra.

"Kalo ada sesuatu yang mengganggu pikiran Azel, Azel harus cerita sama Papa, biar Papa merasa lebih berguna. Sekarang Azel udah punya Papa, maka Azel harus bagi semua masalah Azel sama Papa, jangan disimpen sendiri sayang, itu hanya membuat Azel sesak nantinya." Bisiknya lembut ditelinga putrinya.

"Mimpi indah, sayangku."





















Home [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang