"Azella." Chandra tidak berhenti memanggil sang putri yang sama sekali belum keluar dari kamarnya.
"Azel gak makan sayang?" Suara lembutnya mengalun seraya mengetuk pelan pintu itu. "Azel harus makan, nanti sakit. Dan Papa gak mau Azel sakit."
Demi apapun rasanya sakit sekali, matanya sudah sembab karena menangis terlalu lama. Tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan putrinya didalam sana. Ingin sekali Chandra teriak, mengeluarkan semua yang dirasanya. Jika dirinya saja sudah seperti ini, bagaimana putrinya yang merasakannya.
"Azel kotor." Suara lirih itu bisa didengar oleh Chandra yang duduk bersandar dibalik pintu.
"Enggak, Azel gak kotor, sayang. Jangan ngomong gitu." Tangan Chandra mengelus pelan pintu itu, yakin bahwa putrinya pun sama dengan posisinya sekarang.
"Buka pintunya ya? Papa mau peluk Azel." Lirihnya masih dengan tangis yang tak kunjung berhenti.
Dapat dirinya dengar isak tangis dari dalam. "Azel gak boleh nangis, nangisnya dipelukan Papa aja, sayang."
"Azel gak pantes disini." Lirihan itu kembali Chandra dengar dari dalam.
"Siapa yang bilang seperti itu? Azel anak Papa, Azel berhak disini."
Hening beberapa saat, hanya isak tangis yang terdengar. "Azel tau? Dulu, Papa sangat menunggu kelahiran Azel. Papa selalu antusias dengan seluruh perkembangan Azel dikandungan Mama. Papa bahkan berani melawan Kakek untuk tetap mempertahankan Azel. Maaf walau akhirnya Azel tetap diambil dari Papa, maaf udah buat Azel merasakan ini semua. Ini semua salah Papa. Azel gak boleh nyalahin diri Azel sendiri." Lanjutnya. Isakannya tersahut dengan isakan dari dalam.
"Azel boleh pukul Papa, Azel boleh lakuin apapun sama Papa. Asal jangan kaya gini, sayang. Keluar ya? Papa mau peluk anak Papa." Lembutnya dengan tangan tidak berhenti mengelus pintu kamar putrinya, berharap putrinya segera membuka pintu dan membiarkan dirinya memeluk tubuh rapuh itu.
"Maaf udah buat Papa kecewa, maaf karena Azel gagal jaga kehormatan Azel." Tangis dari dalam kembali terdengar, semakin membuatnya ingin sekali memeluknya.
"Enggak, jangan minta maaf. Papa lebih kecewa sama diri Papa sendiri, nak. Papa bisa lakuin apapun buat Azel, Papa bisa kasih apapun buat Azel. Azel gak boleh kayak gini, hati Papa sakit, sayang."
"Maaf udah buat Azel denger suara tembakan tadi, Azel pasti takut ya? maaf sayang." Lanjutnya.
"Papa bisa ucapin ribuan kata maaf untuk Azel. Tapi Papa gak bisa kembalikan apapun yang udah hilang dari Azel. Maaf sayang, maaf." Chandra menunduk, tangisnya bersahutan dengan tangis putrinya.
Biarkan malam ini dirinya mengabdi untuk putrinya. Biarkan dirinya digandrungi rasa bersalah yang amat besar, biarkan ini menjadi kehancuran terbesarnya karena tidak bisa menjaga putrinya.
Biarkan malam ini Chandra menemani putrinya menangis walau dibatasi pintu.
☘☘☘
Keheningan melanda kamar Rana. Semua berkumpul dikamar Rana kecuali Azella tentunya.
Mereka hanya saling mengunci bibir tanpa sepatah kata pun yang keluar.
"Maaf udah bunuh Ayah kalian." Ujar Rana, tapi tidak ada raut penyesalan sedikitpun karena telah menembak Reno.
"Kita marah, tapi itu juga salah Ayah. Kita gak bisa bela Ayah." Jawab Elena
"Dia memang salah dan dia pantas mendapatkan itu. Jika bisa, seharusnya dia disiksa dulu sebelum ditembak, biar dia tahu rasa sakitnya."
Mereka merinding mendengar ucapan Rana. Lagak nya sudah seperti psychopath. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa Rana memang seseram itu jika marah.
"Kita minta maaf atas nama Ayah." Ucap Alana.
"Harusnya dia yang minta maaf." Rana yang duduk disofa kamarnya menatap mereka yang berdiri kecuali Rissa yang duduk disebelahnya.
"Kan Ayah udah Kak Rana tembak." Celetuk Kinan. Membuat mereka sontak menatapnya.
"Yaudah, bangunin lagi. Suruh minta maaf sama Azel." Rissa menggeplak tangan Kakaknya yang bicara ceplas ceplos.
"Apasih." Sewot Rana.
Rissa hanya menggeleng, tatapan nya beralih pada mereka yang menunduk. "Sini, duduk. Ngapain berdiri terus."
"Mau cosplay patung mereka."
"Kak Rana." Rana hanya memutar bola mata malas saat Rissa memperingatinya.
"Kak Rana marah?" Kinan bertanya.
"Marah sama Ayah kalian." Rana menjawab malas.
"Kita kembali kerumah kita yang dulu ya? Kita gak pantes disini." Dira berucap menunduk.
"Kalo itu bilang sama Azel, Azel yang nentuin." Sekali lagi Rissa menatap tajam Kakaknya yang agaknya masih marah sama situasi sekarang.
"Gak, kalian tetap disini. Lagian Azel juga gak bakal izinin kalian pergi." Tegas Rissa.
"Tapi-"
"Itu salah Ayah kalian, bukan kalian." Sela Rissa.
"Malah Kak Rissa berterima kasih sama kalian, makasih karena udah nemenin Azel selama ini, makasih udah selalu bela Azel walau ending nya gak baik, makasih ya." Lanjut Rissa
"Enggak, jangan terima kasih, kita yang terima kasih sama Kak Azel." Dira menggeleng, membantah ucapan terima kasih Rissa.
Rissa tersenyum. "Sini peluk dulu." Rissa merentangkan kedua tangan nya. Mereka yang tahu, langsung memeluk tubuh kakaknya itu.
"Jangan khawatir, kalian masih jadi bagian dari kita." Bisiknya lembut, membuat mereka tersenyum. Mengucap syukur dalam hati karena dipertemukan dengan mereka yang amat baik.
Rana melirik malas pada mereka yang berpelukan.
"Kak Rana gak mau ikutan?" Rissa bertanya.
Rana menggeleng, memilih keluar untuk menemui Ibunya yang tidak diketahui keberadaan nya. Tidak, Rana tidak marah dengan mereka, hanya masih kesal dengan keadaan.
Rissa kembali menatap mereka yang masih nyaman dengan pelukan nya. "Nanti kita sembuhin Kak Azel pelan-pelan ya." Lembutnya mengusap punggung siapapun yang bisa diraihnya.
Mereka mengangguk, berdoa dalam hati untuk hari yang lebih baik esoknya.
_______________________
Udah ah, Bye.
Saya mau menghilang lima tahun kemudian.
Jangan lupa vote n komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home [END]
FanfictionDunia tidak hanya selalu tentangnya. Ada kalanya bahagia, ada kalanya sedih. Seperti dirinya yang tidak mengharapkan apa-apa dari hidupnya, tetapi kebahagian datang mengubah seluruh pandangannya tentang hidup dan takdir. "Tidak ada kata yang lebih b...