••
"Mmhh——" Radinka melenguh tertahan saat Barra menghisap bibirnya dengan begitu kuat.
Kepalanya mendongak saat Barra beralih menghisapi dan menjilati lehernya.
"Kenapa berhenti?" Protes Radinka saat Barra menghentikan kegiatannya. Pria berwajah manhwa yang tengah duduk dipaha Barra itu hendak mencium Barra kembali.
"Hentikan, kau bisa merasakan kalau penisku tidak menegang sama sekali." Tahan Barra membuat Radinka mendengus kesal.
Radinka pun menggesekan pantatnya yang tepat berada diatas penis Barra yang berukuran besar walaupun masih layu.
"Sial, kau benar. Apa penampilanku kurang menarik?" Ujar Radinka setelah pantatnya tidak merasakan sesuatu yang keras dibawah sana.
"Bukan seperti itu, penampilanmu luar biasa menggairahkan Radin... Jika aku bisa, aku pasti akan menggunakanmu sebagai jalangku. Tapi penisku tidak bisa terangsang lagi dengan tubuhmu." Jawab Barra, tangannya mengelus dada bidang Radinka yang terbalut turtleneck ketat dengan seduktif.
"Enghhh~ Apa alasannya em? Padahal analku sudah berkedut gatal ingin disumpal penis besarmu Barr." Barra terkekeh samar, satu-satunya ketua mafia yang perannya menjadi submissive cuman Radinka.
Dan Radinka begitu pintar dalam memberikan kenikmatan pada partner seksnya.
"Entahlah, tapi sekarang. Satu-satunya pemuda yang membuatku bergairah hanya Dylan—maidku dimansion. Sialan, sebenarnya apa yang terjadi padaku."
Radinka segera turun dari pangkuan Barra, ia beralih duduk disamping Barra. Mengambil batang nikotin miliknya lalu membakar ujungnya.
"Kau mencintai maid itu, mungkin?" Ucap Radinka sembari menghisap rokoknya.
Barra tertawa pelan, "Tidak mungkin. Selama aku hidup—aku tidak akan pernah mencintai seseorang."
"Itu pikiran dan keinginanmu Barr. Tapi bagaimana dengan hatimu?" Ucap Radinka sambil mengelus penis Barra yang masih terbalut celana formal.
Barra terdiam untuk beberapa saat atas perkataan Radinka.
"Bagaimana cara aku mengetahui kalau aku mencintainya?"
Radinka tersenyum miring. "Itu tugasmu untuk mencaritahu."
Pria binal itu pun mengecup bibir Barra sekilas, "Aku pergi sekarang. Analku sudah sangat gatal minta dipuaskan."
"Siapa yang akan kau ajak bercinta sekarang hm?"
"Bawahanku. Kau tahu aku merekrut anggotaku dari ukuran penis mereka—aku pergi sekarang. Sampai jumpa lagi." Radinka segera bangkit lalu segera pergi dari perusahaan Barra.
Setelah kepergian Radinka, Barra menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Mendongak menatap langit-langit perusahaannya sembari memikirkan perkataan Radinka barusan.
"Aku tidak mungkin mencintai Dylan." Barra terkekeh samar.
••
Disebuah ruangan yang didominasi dengan warna putih. Seorang pemuda tengah ditenangkan dari tangisannya.
"Hiks—kakak.. Aku ingin kak Dylan!" Ia mencoba memberontak dari cekalan dua orang pria berbadan besar itu.
"Sstt.. Abyan. Tenang oke? Aku tidak akan menyakitimu." Ujar salah satu pria berwajah tampan mencoba menenangkan Abyan.
"S—siapa kau? Hiks.. apa kau mengenal Kak Dylan?" Beo Abyan membuat pria itu terkekeh.
"Emm, sangat mengenalnya. Kau tidak mengingatku? Ahh—sedih sekali karena dilupakan oleh calon adik ipar sendiri." Canda pria tersebut membuat Abyan memasang wajah kebingungan.
"Apa kau kekasih kakakku? Tapi aku—" Mata Abyan membulat sempurna saat pria itu tersenyum dihadapannya. Abyan kenal, ia sangat mengenalnya.
Pria tampan yang mencintai kakaknya semasa sekolah.
"Kak Bastian?!! Kau benar kak Bastian kan!???" Pekik Abyan, merasa begitu senang saat melihat wajah Bastian yang sempat ia lupakan selama bertahun-tahun.
Bastian meminta dua bawahannya untuk melepaskan tangan Abyan.
Berjalan mendekat hingga kini mereka saling berhadapan, ia mengusak surai Abyan dengan gemas, "Pintar sekali. Bagaimana keadaanmu hm? Maaf kakak terlambat menemui kalian."
"Kak——hiks... Aku benar-benar merindukanmu." Abyan memeluk Bastian dengan begitu erat dan Bastian pun membalas pelukan Abyan.
"Luar biasa kau bisa bertahan sampai detik ini dengan apa yang kau alami. Mulai sekarang, kakak yang akan menjaga Abyan dan kak Dylan."
Abyan melepaskan pelukannya, mendongak untuk menatap wajah Bastian. "Kak Dylan... Paman menjual kak Dylan hiks.. tolong cari dan selamatkan kakakku." Pinta Abyan dengan air mata yang mengalir deras dipipinya.
"Tentu, kau tenang saja eum? Sekarang kita harus fokus pada kesembuhan mentalmu terlebih dahulu oke? Setelah kau sembuh kita cari Dylan sama-sama, setuju?"
Abyan mengangguk semangat, ia juga merasa lelah dengan keadaannya sekarang. Mental Abyan terganggu semenjak kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan—dan semua orang kecuali Dylan menyalahkan Abyan atas kematian kedua orangtuanya.
Mengatakan kalau dirinya anak pembawa sial.
••
Hal yang tidak seharusnya Dylan lakukan saat ini adalah... Menemui Arvin dibelakang mansion.
"Desahanmu semalam benar-benar melukai harga diriku. Tuan Barra seharusnya bercinta denganku bukan denganmu sialan!" Sentak Arvin.
Semalam, Arvin yang hendak menyusul lalu menggoda Barra karena lubangnya sudah berkedut hebat malah dikejutkan dengan desahan Dylan yang begitu keras seolah keenakan. Arvin tentu marah, seharusnya semalam ia yang bercinta dengan Barra.
Tapi, tuannya itu meninggalkannya dan memilih bercinta dengan Dylan.
Mendengar perkataan Arvin, pipi Dylan memerah bak kepiting rebus saat mengingat percintaan hebat semalam yang mampu membuat Dylan serasa tidak waras.
"Tuan Barra yang mendatangiku. Kenapa kau tidak protes pada tuan Barra saja?" Ujar Dylan membuat Arvin menatapnya tidak percaya.
"Woah, aku tidak menyangka kau bisa mengatakan hal itu padaku." Arvin mendekati Dylan, lalu melayangkan tamparannya dengan telak.
Plak!
"Kau harus ingat posisimu brengsek. Jalang rendahan sepertimu tidak pantas berada disisi tuan Barra. Aku yakin cepat atau lambat tuan Barra akan membuangmu."
"Aku sangat menantikannya. Menantikan saat-saat tuan Barra bosan dengan tubuhku." Jawab Dylan sambil tersenyum tipis membuat Arvin tertawa keras.
"Apa kau pikir setelah tuan membuangmu kau mendapatkan kebebasan? Kau salah besar, setelah tuan bosan denganmu——tubuhmu akan diberikan pada semua bawahan tuan Barra. Dalam artian, mereka bisa menyetubuhimu tanpa ada larangan dari tuan."
Nafas Dylan tercekat, tubuhnya menegang menatap Arvin dengan pandangan tidak percaya. "I—itu tidak mungkin. Hanya iblis yang mampu melakukan hal itu! Aku yakin tuan Barra tidak akan sekejam itu."
Arvin melipat kedua tangannya didada. "Ahahaha~ kau tidak tahu siapa tuan Barra? Tuan bahkan bisa lebih kejam dari pada hal itu, sudah banyak pelacur yang tuan Barra buang. Salah satunya Nadindra—dia mati karena merasa depresi."
Menghentikan ucapannya sebentar, Arvin menaruh jari telunjuk dibibirnya seolah sedang berpikir. "Emm, aku bahkan masih mengingat teriakan kesakitan Nadindra saat semua bawahan tuan Barra menyetubuhinya secara bergantian dimansion sayap kanan."
Tubuh Dylan merosot, tidak kuat menahan beban tubuhnya sendiri setelah mendengar apa yang diucapkan Arvin. Benarkah tuannya bisa sekejam itu? Siapa tuan Barra sebenarnya? Kenapa dia bisa melakukan hal kejam seperti itu?
Arvin mendekati Dylan, berjongkok lalu berbisik tepat ditelinga Dylan. "Sebentar lagi giliranmu... Aku tidak sabar menantikan hal itu~"
••
TBC
Ceritanya berganti judul ya, jadi Cinta Seorang Mafia. Kalau isinya masih sama aja kok.
Vomentnya❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Mafia✓
Romance(END) ⚠️[BL] [M-preg] [BxB] [21+] [Gay] [Lokal] [Mature Content]⚠️ Sesaat setelah sebuah kandang besi berbentuk kotak itu dikeluarkan. Barra Bamantara terpaku dengan keindahan seorang pemuda yang memakai baju pelayan di kandang besi tersebut. Barra...