Duapuluhsatu🍁

6.7K 310 2
                                    

••

Dylan yang tengah menyiapkan makanan harus dikejutkan dengan sebuah tangan yang melingkari perutnya.

"Sedang apa hm?" Tanya Barra sembari mengecupi tengkuk Dylan lalu menyandarkan dagunya dibahu sang kekasih, melihat kegiatan apa yang tengah Dylan lakukan sekarang.

"Memasak kari ayam, bukankah tuan—"

Cup

Ucapan Dylan terhenti saat Barra dengan tiba-tiba mengecup bibirnya. "Sudah aku katakan, panggil namaku atau mas. Mengerti?"

Dylan mengangguk lucu membuat Barra tersenyum gemas, membalikan tubuh Dylan hingga kini mereka saling berhadapan.

Barra mendekatkan wajahnya, mengecup bibir ranum Dylan penuh kegemasan. "Calon istriku." Mengecup pipi Dylan bergantian.

Pipi Dylan total merah merona atas apa yang Barra ucapkan. "Jangan menggangu, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu emm?"

"Baiklah, kau lanjutkan saja. Aku tidak akan mengganggu." Ujar Barra, kembali membalikan tubuh Dylan.

Dylan memutar bola matanya malas, bagaimana ia akan fokus jika Barra kini tengah mengerayami tubuhnya dibelakang sana? Dari mengecupi kening dan punggungnya, memasukan tangannya ke dalam baju miliknya dan mengelus-elus perut Dylan. Pantatnya pun tidak lepas dari remasan pria itu.

"Mas~ hentikan." Rengek Dylan saat Barra memainkan penis mungilnya didalam celana.

Barra terkekeh, "Baiklah, aku berhenti. Aku mandi dulu—" Barra memiringkan wajah Dylan dan wajahnya, lalu melumat bibir Dylan dengan begitu lembut.

"Kau milikku, Dylan Bamantara. Dan itu mutlak." Ucap Barra tepat dihadapan wajah Dylan setelah menggigit bibir si cantik.

Dylan mengangguk malu, Barra bahkan mengganti marganya dengan marga pria itu saat menyebut namanya.

••

Seminggu sudah berlalu semenjak kematian Abila dan selama itu pula Barra tidak pernah berhenti untuk mencari siapa pelakunya. Keadaan Nathan pun tidak baik-baik saja, perkiraan Bagas salah— virus yang ada dikepala Nathan bukan hanya disuntikan namun ditanamkan membuat Bagas kesusahan dalam menyembuhkannya.

"Aku akui dia benar-benar pintar. Tapi dia melupakan sesuatu, aku tahu siapa pencipta virus ini. Biar aku tanya siapa pembelinya pada dia, dengan begitu kita akan tahu siapa pelakunya." Jelas Bagas sembari melihat di mikroskop sample darah Nathan yang ia ambil dari kepala pria itu.

"Kau tahu siapa penciptanya?" Tanya Barra.

"Hmm, dia sahabatku dulu. Lihat, virus ini benar-benar begitu agresif dia bahkan bisa melenyapkan bakteri baikku dengan mudah, dan yang bisa menciptakan virus gila ini hanya sahabatku." Bagas meringis saat melihat bagaimana virus itu menghabisi bakteri baiknya di sampel darah Nathan.

Barra memijat pangkal hidungnya frustasi, "Jadi Nathan tidak akan pernah bangun lagi?"

Bagas mengangguk ragu setelah melepaskan kacamatanya. "Virusnya terlalu kuat dan sudah menyebar diseluruh tubuh Nathan, semua sarafnya sudah rusak dan menyebabkan kecacatan permanen. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu kematian Nathan."

Barra terduduk lemas, ia mengusak surainya karena merasa frustasi. Barra merasa sangat tidak berguna, ia ketua mafia yang sama sekali tidak bisa diandalkan oleh anggota-anggotanya. Ia sudah kehilangan Abila dan sekarang orang yang paling Barra percaya tengah diambang kematiannya.

"Kau benar-benar tidak bisa menyembuhkannya?" Lirih Barra menatap Bagas dengan putus asa.

"Maaf Barr, aku tidak bisa."

Cinta Seorang Mafia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang