Tujuhbelas🍁

7.1K 324 1
                                    

••

Dimansion keluarga Bamantara, Abila dan Nathan sangat dikejutkan ketika mereka memasuki mansion dengan apa yang mereka lihat. Mereka baru saja pulang dari makan malam dan pemandangan pertama yang mereka lihat saat ini mampu menghantam hati mereka tanpa sisa.

"A-ayah.. ibu... Tidak.. tidak! Ini tidak mungkin!" Tubuh Abila merosot sambil menutup mulutnya, menatap tidak percaya pada tubuh kedua orangtuanya yang menggantung diruang utama dengan kepala yang terpisah.

"Sayang, tetap disisiku." Nathan menarik Abila, sedangkan ia menatap sekeliling dengan waspada.

"Hiks.. Nath... Ayah dan ibu. Hiks..." Abila menangis dengan begitu keras dipelukan suaminya. Tidak kuasa melihat tubuh kedua orangtuanya yang mengenaskan dan sudah tidak bernyawa.

Siapa yang dengan berani menyerang mansion keluarga Bamantara hingga membunuh kedua orangtua Abila?

Pantas saja, digerbang utama tidak ada satupun yang berjaga. Mereka pikir kalau para bawahannya sedang beristirahat sejenak mengingat ini sudah larut malam.

Karena setelah menemui Dylan, Abila langsung pergi berkencan dengan Nathan sampai malam tanpa tahu hal ini akan terjadi.

"A—aku akan mengabari kak Barra." Tangan Abila bergetar memegang ponselnya sendiri, terlalu syok dengan apa yang ia lihat saat ini.

Namun, sebelum sempat menekan tombol panggilan, tubuh Nathan dan Abila ambruk ke lantai setelah sebuah senapan bius mengenai leher mereka.

"Bawa mereka sekarang. Dan bakar semua sudut mansion ini."

••

Dugh dugh dugh

"Tuan Barra!! Tuan bangunlah! Hiks.. tuan Barra!"

Barra menggeram saat Arvin mengetuk pintu kamarnya sambil berteriak. "Akan aku lubangi kepala dia." Geram Barra karena mengganggu waktu berduanya dengan Dylan.

"Tuan, sepertinya terjadi sesuatu. Sebaiknya anda cepat temui Arvin sebentar—perasaan saya juga tidak enak." Cicit Dylan, ia juga tidak terlalu nyaman karena Barra terus memeluknya walaupun mereka sudah terbangun sedari tadi.

Apalagi perasaan yang datang dihati Dylan kali ini benar-benar membuatnya merasa cemas. Ini bukan perasaan mengenai Barra, tapi perasaan khawatir tentang satu hal yang Dylan sendiri tidak tahu apa itu.

Barra mendengus, ia segera memakai celana dalamnya lalu berjalan ke arah pintu kamar.

Ceklek

"Tuan Barra! Hiks... Nona Abila.. hiks." Barra dibuat bingung saat melihat Arvin yang menangis dengan hebat.

"Ada apa? Kenapa dengan adikku?"

"T-Turunlah tuan.. aku tidak sanggup untuk mengatakannya—" Setelah berkata seperti itu, tubuh Arvin ambruk ke lantai, pria tampan itu pingsan.

"Sial, apa yang sebenarnya terjadi." Barra segera berjalan ke arah lift untuk turun ke lantai bawah.

"Barr... istriku. Hiks tolong selamatkan istriku!"

Barra terpaku saat melihat keadaan Nathan yang bersimbah darah, tubuhnya terduduk dengan sosok Abila yang ada dipangkuannya.

Mata Barra memanas, jantungnya berdebar dengan cepat saat melihat lubang di kening sang adik.

"Ini hanya main-main kan? Katakan padaku kalau kalian hanya bermain-main!" Teriak Barra, matanya menyorot pada tubuh Abila yang sudah sangat pucat.

Tangisan Nathan, para maid dan bawahan yang ada diruang utama semakin keras.

Cinta Seorang Mafia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang