Aryan Gibrano Davian

23 3 0
                                    

Davian berlarian dengan perasaan sudah tak tahu bagaimana. Dia hancur, hancur sekali mendapatkan sebuah kabar tak ingin dia dengar selama hidupnya. Puluhan tetesan air mata sudah meluncur sejak pertama kali dia mendapatkan kabar itu di sebuah telpon.

Davian melihat beberapa orang sudah ada di sana berikut seorang polisi dan para penyelidik. Jantung Davian berdetak kencang, berharap sebuah pikiran buruknya tidak akan benar-benar terjadi.

"Ayah–"

"Dimana ibuku?" Davian mengguncang tubuh Seno berharap mendapat jawaban. Seno masih tetap menutup mulut, dia melihat Arjuna terduduk dengan tatapan kosong nya mata sudah bengkak, di samping ada Delvin tak jauh menyedihkan kondisinya.

"Bang, Mama?" kali ini dia melontarkan pada Delvin, bukan menjawab Delvin malah beranjak pergi dari sana.

Harapan Davian hanya Arjuna. "Mama mana? Mama baik-baik aja kan. Jawab gua,"

Davian berteriak kencang kenapa semua orang memilih bungkam. Dia hanya ingin mengetahui bagaimana kondisi Mama, kenapa mereka tidak mau menjawab pertanyaan nya.

"Mama, sudah meninggal ..." ucap Arjuna pelan.

Davian menjatuhkan lutut pada lantai dingin rumah sakit. Menangis tersedu-sedu, Mama. Dia pergi meninggalkan Davian itu terasa tidak mungkin.

"Semua pasti hanya kebohongan. Kembalikan Mama, tolong bawa dia kembali kesini. Mama tidak mungkin pergi ...."

"Dek, Mama benar sudah pergi. Pergi meninggalkan kita, dia meninggal saat dalam perjalanan kesini. Maaf," Seno berdiri dengan tangkai kaki sudah lemas. Dia sungguh tidak sanggup sekedar berdiri saja, seluruh badan ini terasa seperti jelly tidak mampu menopang tubuh nya sendiri.

"Maaf, seharusnya Ayah larang Mama pergi. Kalau akhirnya dia malah pulang ke tempat lain," Seno menyesal telah mengiyakan permintaan sang istri untuk berlibur bersama teman-temannya di luar negri.

Jena beberapa hari lalu berbicara dengan nya di saat malam hari datang menyapa dengan cerahnya bulan. Dia bilang ingin pergi berlibur selama seminggu bersama teman-temannya, awalnya Seno tidak mengizinkan sebab ini di luar negri bukan hanya di luar kota yang bisa saja dia pergi menyusul. Tetapi Jena terus merayu dengan segala ucapan manis dia ucapkan, sampai hari Seno merasa tidak tega melihat tatapan memohon istrinya.

Bener sekali sudah lama Jena hanya berdiam diri dirumah, tidak pergi kemana pun. Pada akhirnya Seno mengizinkan dengan sangat berat hati.

Beberapa hari semua terlihat baik-baik saja tidak ada satu pun hal yang mampu membuat kekhawatiran Seno membuncah.

Sampai dimana sang istri bilang kalau akan pulang esok hari, disanalah mulai kekhawatiran Seno entah datang dari mana dia merasa tidak enak akan terjadi suatu hal besar nanti.

"Mas, aku akan pulang besok." Suara begitu mendayu dengan kelembutan mampu membuat Seno merasa rindu mendengar suara itu secara langsung. Sudah satu minggu istrinya pergi, selama itu pula dia harus menahan segala kerinduan dalam relung hati nya.

"Benarkah? Biar aku jemput kamu di bandara. Aku senang sekali kamu akan pulang," jawab Seno masih terus merhatikan setiap pahatan indah wajah Jena—Jena tersenyum kembali memperlihatkan lesung pipi yang begitu mempesona.

"Aku rindu padamu, Jena." ungkap Seno tidak malu lagi memang benar ucapan nya adalah kesungguhan betapa hati merindukan pujaan hatinya.

"Hahaha. Kamu ini seperti anak remaja baru kenal cinta saja, aku lebih merindukan mu, sayang."

"Nanti saat aku sampai rumah, kamu harus mengajak ku jalan-jalan bersama ketiga putraku. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan kalian,"

Perasaan Jena tentu sama dengan suaminya. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya, padahal baru seminggu pergi entah kenapa rasa rindunya sudah begitu besar.

Kedua insan yang sudah berumur itu menghabiskan waktu mereka dengan berbincang banyak hal. Biarkan mereka mengutarakan segala kerinduan untuk menguatkan cinta mereka satu sama lain.

°°°°

"Aku tidak menyangka, jalan-jalan yang kau maksud adalah ke pemakaman mu sendiri. Bukan hanya aku dan ketiga putra kita, tetapi di antarkan banyak sekali orang-orang yang ikut sedih atas kepergian mu ini." Seno mengelus nisan Jena dengan perasaan sakit yang sangat dalam.

"Belum sempat kita mengabulkan keinginan mu, kamu sudah pergi terlebih dahulu. Maafkan suamimu yang tidak mampu membahagiakan mu,"

Davian berlutut di depan makam Jena, mata nya sudah bengkak karena menangis semalaman. Saat tubuh sang ibu di bungkus oleh kain kafan juga Davian tidak sanggup sampai pingsan.

"Mama sudah berjanji untuk menemani aku sampai besar. Aku belum lulus sekolah, aku masih harus kuliah dan belum bisa bikin Mama bangga. Kenapa?" ucapan Davian tersendat dengan tangisan kecil dari mulutnya.

"Kenapa? Mama pergi tinggalin Davian. Disaat Davian sendiri masih sangat membutuhkan sosok Mama," sangat sulit Davian menerima kenyataan jika Mama sudah pergi jauh sampai tangan ini tidak bisa menggapai nya untuk membawa kembali.

Dengan kasar dia mengusap jejak air mata. "Maaf ya, aku masih belum bisa ikhlas kan kepergian Mama. Ini terlalu berat, Ma. Ini tidak mudah untuk aku terima," lirih Davian meremat dadanya sesak.

"Tidak apa, sayang. Pelan-pelan kita coba, anak ayah hebat sekali." Seno memeluk Davian dikala anak itu kembali menangis.

"Sekarang kita pulang. Kita urus tahlilan Mama ya," Davian mengangguk kecil menggenggam tangan sang ayah.

Lalu semua sudah pergi terkecuali Arjuna yang masih menetap di sana. Keadaan tidak jauh berbeda dengan Davian, mata bengkak, hidung memerah semuanya kacau.

"Maaf,"

"Semua sudah terlambat untuk menyesal. Arjuna, menerima kehadiran ibu sekarang. Tapi ibu sudah lebih dulu pergi sebelum aku bilang ini secara langsung."

Arjuna mengelus nisan itu dengan sendu. "Ibu harus bahagia, maaf kalau aku belum bisa banggakan ibu. Aku pamit," kembali kakinya melangkah pergi meninggalkan pemakaman yang sudah tidak ada siapapun di sana.

Kenangan bersama Jena akan slalu ada di hati mereka. Mungkin memang menyakitkan tapi mereka akan berusaha sebisa mungkin, untuk mengikhlaskan Jena kalau dia sudah selesai dengan urusan dunianya.

Semua akan tersimpan rapih dalam hati mereka masing-masing.

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy reading

TBC.

15-08-2024

Shaka And Wish Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang