•Part 18 : KKN

538 80 1
                                    

Happy reading
Jangan lupa vote sebelum baca

*

*

*

Malam yang sangat tak tenang bagi keempat papa muda. Tangisan anak-anak mengisi rumah, setelah mereka memberi tahu tentang kegiatan KKN yang akan dijalankan dua hari lagi.

"Olololo, sayangnya Papi. Cup cup udah nangisnya, Dek," ucap Gilang sambil mengayunkan tubuh Lio pelan.

Lio terus menangis sambil mencengkeram erat kaos papinya. Sesekali ia akan mengusapkan ingusnya pada kaos berwarna hijau itu. Tangisannya juga sangat keras, membuat Gilang beberapa kali memejamkan mata. Ia bahkan dengan sengaja membawa sang anak ke ruang musik yang kedap suara, agar tangisan Lio tak terdengar sampai tetangga.

"Tuh liat, Dek. Wih, bulannya besar, lho, sayang. Ayo liat bulannya itu, Dek." Gilang mencoba membujuk Lio dengan menunjukkan pemandangan langit malam dari jendela.

Lio mengintip sebentar, kemudian menangis kembali sambil terus meracau, tak ingin papinya pergi. Gilang menghela nafas lelah. Dengan mencoba menyabarkan diri, ia kembali menenangkan Lio.

Berbeda dengan keadaan Lingga di kamarnya. Pemuda itu berusaha mendekati Nio yang mengamuk di atas tempat tidur. Berkali-kali Lingga berusaha menghindari lemparan barang yang sang anak arahkan padanya.

"Dek, dengerin Baba dulu, oke---EITS! Jangan tab-nya Baba, Dek. Turunin sayang, jangan dilempar, please." Lingga membulatkan mata melihat Nio hampir melempar tab kesayangannya.

Bukannya menuruti babanya, Nio malah tetap membanting benda itu di kasur. Kakinya menendang-nendang kasur dengan wajah mendongak dan tangisan yang tak kunjung berhenti. Lingga mengusak rambutnya kasar.

"Ternyata Nio sama Candra sama aja kalo tantrum," gumam Lingga. Ia tersentak saat sebuah boneka menghantam wajahnya.

"Astaghfirullah, sabar, Ling. Anak sendiri," gumam Lingga sambil mengusap dadanya.

Lingga berusaha mendekat kembali. Mengambil kesempatan saat sang anak sibuk menangis, Lingga langsung menerjang dan memeluk tubuh Nio. Si kecil tentu memberontak, bahkan mendaratkan beberapa cakaran di wajah sang baba.

Beralih pada suasana di kamar Anang. Pemuda itu tengah mencoba membujuk sang anak yang mendiamkannya. Gindra tidur berbaring membelakangi sang ayah dengan tubuh yang tertutupi selimut. Gundukan selimut itu naik turun seiring isakan yang dikeluarkan si kecil.

"Abang, jangan gitu, Nak. Nanti sesek, lho. Keluar, yuk, sayang," bujuk Anang sambil berusaha menyingkap selimut yang menutupi Gindra.

Gindra menggoyangkan tubuhnya kemudian semakin meringsut menjauhi sang ayah. Tangisannya kembali terdengar, membuat Anang semakin khawatir akan pernafasan Gindra.

Merasa tak punya pilihan lain, Anang langsung menerjang sang anak. Ia memeluk tubuh Gindra erat sambil berusaha melepaskan selimut yang membungkus tubuh kecil itu. Gindra tentu saja memberontak, namun tenaganya kalah besar dibanding sang ayah. Terlebih pernafasannya yang mulai memberat, membuat gerakan Gindra semakin melambat.

"Sayang, jangan gini. Kasihan dada kamu. Yuk, Ayah obatin, Nak," bujuk Anang dengan air mata yang mulai menggenang.

Gindra mengangguk pelan. Ia menurunkan selimut dan membiarkan sang ayah menangani penyakitnya. Dengan isakan yang masih terdengar, Gindra menatap wajah Anang.

Become A Papa||00LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang