•Part 25: Drama Senin pagi dan bento cake

476 78 5
                                    

Happy reading

*
*
*
*
*

Anang menggeliat dalam tidurnya. Posisi yang semula terlentang ia alihkan menjadi miring ke kanan, menghadap posisi sang anak berada. Tangannya bergerak hendak memeluk tubuh kecil Gindra. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan. Seketika itu juga, Anang membulatkan mata. Ia menggosok matanya beberapa kali untuk memastikan kebenaran penglihatannya.

"Abang? Ih, kok nggak keliatan?" gumam Anang sambil meraba tempat Gindra, masih belum sadar kalau anaknya memang tak ada.

Yakin bahwa sang anak memang tidak ada, Anang pun bergegas turun dari ranjang. Ia berjongkok, memeriksa kolong tempat tidur. Tak mendapat hasil, Anang pun mulai mengelilingi kamarnya. Mulai dari kamar mandi, walk in closed semuanya ia periksa, tetapi wujud sang anak masih saja belum nampak.

Tanpa mempedulikan jam yang baru menunjukkan pukul setengah lima, Anang menggedor pintu kamar Bintang dengan brutal.

"Bin, tolongin. Anak gue ilang!" serunya sambil terus memukul daun pintu.

Tak lama, Bintang membuka pintu dengan tergesa. Keadaan pemuda itu tak kalah berantakannya dengan Anang. Wajahnya menyiratkan sebuah ketegangan yang nyata.

"Sama. Anak gue juga ilang," ucap Bintang dengan serius.

"ADEKKK!" Teriakan terdengar dari arah kamar Gilang dan Lingga secara bersamaan. Tak berapa lama, keduanya keluar dengan penuh kekhawatiran.

"Anak gue ilang!" seru keduanya kompak.

Sekarang, di lorong kamar mereka, para papa muda tengah saling pandang dengan ketegangan dan kegelisahan yang mendominasi.

"Tenang, kita nggak boleh mikir gegabah. Kita coba positif thinking, siapa tau anak-anak lagi tahajud di mushola." Anang menarik napas panjang, mencoba meredam kegelisahannya.

"Keknya nggak mungkin, sih. Apa mereka di dapur?" tanya Bintang.

"Mau ngapain mereka di dapur? Lagian kalo laper biasanya mereka bangunin kita 'kan?" Lingga menggulung sarungnya kemudian ia sampirkan di pundak.

Gilang terdiam lalu menatap ketiga sahabatnya satu persatu dengan serius. "Guys, gimana kalo ternyata selama ini kita mimpi?"

Anang, Bintang, dan Lingga kompak menatap Gilang bingung. "Maksud lo?"

"Ya, gue tadi malem baca, nih. Ada novel yang nyeritain tentang ayah sama anaknya. Ternyata selama ini, si ayah ini cuma mimpi punya anak. Aslinya dia masih lajang, padahal di mimpinya jadi duda," jawab Gilang dengan ekspresi yang semakin serius.

Lingga menggeram kesal lalu tanpa ampun menjitak kepala Gilang. "Jangan ngadi-ngadi!"

"Ya ... siapa tau gitu. Ternyata selama ini kita cuma mimpi punya anak," gumam Gilang sambil mengusap kepalanya.

"Kalo emang kita mimpi, tuh yang lo pegang empeng siapa, hah?" tanya Bintang dengan ekspresi malas.

Gilang mengerjap lalu menoleh pada tangan kirinya yang memegang sebuah empeng. Ia tersenyum kikuk, saat menyadari bahwa benda di tangannya itu adalah hadiah darinya untuk Lio semalam.

Pada akhirnya, keempat papa muda itu melakukan pencarian anak-anak mereka. Mereka mengelilingi setiap ruangan yang ada, bahkan tak segan mengecek space kecil sekali pun. Suara adzan subuh yang mulai terdengar, mengiringi proses pencarian anak-anak.

"Nggak ada juga di sini," gumam Gilang sambil menutup pintu kitchen set yang baru dibukanya. Ia menegakkan tubuh sambil berkacak pinggang, menyisir setiap sudut ruangan dapur. Matanya memincing saat melihat pintu yang membatasi dapur dan teras belakang sedikit terbuka.

Become A Papa||00LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang