21. A Warm Day

1.4K 84 14
                                    

Hana (POV)

Sitka.

Kota ini benar-benar nyaman. Bukan pemukiman yang besar dan padat seperti New York City ataupun Manhattan. Bahkan disini bisa dibilang sepi (menurutku). Tapi yang paling utama adalah kondisi alamnya yang membuatku tenang meski cukup dingin.

Pagi ini aku terbangun dalam pelukan yang membuatku tersenyum melihat siapa yang memelukku dengan begitu hangat dan menenangkan.

Kai, dia yang memelukku dan membuatku betah berlama-lama dipeluk seperti ini. Kupikir hanya Nikky yang bisa memelukku dengan bagitu nyaman tenyata Kai bisa membuatku merasakan hal yang sama seperti pelukan Nikky.

Kurasa semalaman Kai memelukku. Ini terjadi bukan tanpa alasan.

Begini ceritanya, jadi sore kemarin Kai mengajakku berkeliling dan ia bilang ingin menunjukanku dimana bekas rumah orang tua kami dulu. Aku sempat terkejut melihat bekas rumah kami sudah menjadi sebuah toko perkakas. Kai bilang rumah kami dulu adalah rumah sewaan yang artinya orang tua kami bukanlah pasangan yang berada. Sekarang aku bisa mengerti mengapa ibu kami memilih meninggalkan aku dan Kai di panti asuhan sebelum ia membunuh dirinya sendiri. Mungkin ia merasa ia tak akan sanggup membesarkan dua anak yang masih sangat kecil sendirian apalagi ia benar-benar hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tak pernah bekerja.

"Aku tak akan menyalahkan ibu," ucapku setelah menyesap kopi yang kupesan. Kami sekarang duduk bersantai disebuah kedai kopi langganan Kai.

Kai menyandar di kursinya dan menunjukan senyum padaku, "Aku tau kau bukan orang yang pendendam," ucapnya membuatku tersedak dan tertawa geli. Kai mengerutkan keningnya tampak heran, "Aku terkejut kau mengatakan hal baik seperti itu, kupikir yang kau dapat selama ini adalah kesan buruk dariku," kataku.

Kai mengendikan bahunya, "Beruntunglah kau punya adik yang hanya menilai hal positif dari sekian kelakuan minusmu," katanya membuatku langsung memutar bola mataku jengah, Kai tertawa.

Kai melipat tangannya diatas meja dan memandangku, "Jadi... kau benar-benar sudah percaya kalau kita adik kakak?" tanyanya.

Kuikuti posisi duduknya dan memandang ia lalu tersenyum, "40% ya, sisanya kita buktikan di New York," jawabku. Kai mengerutkan keningnya, "Kupikir sikap ramahmu ini menunjukan 80% kau sudah percaya padaku," ucapnya.

Aku tertawa lalu menghempaskan punggungku di sandaran kursi, "Kau tau aku bukan orang yang mudah percaya begitu saja. Jauh-jauh kesini untuk mendapatkan 40% itu karena aku menghargai keberanianmu untuk berterus terang meski aku belum percaya apakah kau benar jujur atau tidak," ujarku.

"Well, aku paham memang itulah dirimu," katanya dan aku mengangguk.

"So, kemana kita selanjutnya?" tanyaku.

"Aku mau mengajakmu jalan-jalan dengan water taxi"

"Seriously?"

"Ya. Why?"

"Tidak ada. Okey, ayo"

Kami masing-masing menghabiskan kopi kami dan bersama-sama melangkah keluar. Kai membawaku ke dermaga dan sepanjang jalan masih menjelaskan tiap-tiap toko yang kami lewati. Hebatnya, siapapun yang berpapasan dengan kami akan menyapa Kai dengan ramah lalu dengan ramah pula Kai memperkenalkan aku. Yang lebih hebatnya lagi, mereka tau namaku, "Hana Kim! Akhirnya kau pulang, nak!" kira-kira seperti itulah yang mereka katakan.

Aku sih senang-senang saja dan Kai makin sumringah wajahnya tampak begitu bangga punya kakak. Aku sih paham kalau dia bangga punya kakak secantik diriku.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu?" Kai menyenggol lenganku. Aku hanya mengendikan bahuku sebagai jawaban dan Kai tampaknya tak ingin bertanya lebih lanjut.

Expectation of Fate (YAOI) - slow updateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang