Stigma

147 8 0
                                    

Joo-ha memandang mobil ayahnya yang sudah terparkir di garasi saat pulang dari sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Joo-ha memandang mobil ayahnya yang sudah terparkir di garasi saat pulang dari sekolah. Perasaan takut dan khawatir menyergapnya setiap kali melihat benda itu ada didepan rumah. Padahal, saat kecil, dia kan berjingkrak senang bahkan ketika baru saja terdengar suara mesinnya dari luar. Dia akan berlari ke depan rumah menunggu sang ayah keluar dan membawakan tas nya setiap kali pulang kerja.

Ayah akan menyambutnya dengan senang dan sesekali memberikannya hadiah maupun oleh oleh yang ia bawa.

Suasana itu sudah lama sekali hilang bahkan sebelum mereka pindah. Joo-ha selalu mengurung diri setiap kali ayah dirumah. Satu kali, dia merasa bersalah menghiraukan ayah sebegitunya. Namun, di waktu lain dia takut dan benci semenjak ayah memarahinya ketika jatuh saat pertandingan di waktu itu.

Ketika waktu bertambah, Joo-ha menemukan sisi buruk ayah yang tak pernah di munculkan dulu saat mereka bersama ibu kandung nya di Jepang. Ayah menjadi sosok yang ringan tangan.

Joo-ha sangat benci ketika melihat ayah memandang dan berlaku lembut dengan ibu tirinya, sementara menghiraukan dan bahkan membentak dirinya saat dia melakukan kesalahan kecil. Ayah berkata, wajahnya mengingatkan nya pada ibu -mantan istrinya- sehingga membuat nya muak dan ingin sekali memukul wajahnya.

Namun, ayah tak bisa bertindak lebih jauh karena menyadari bahwa dia satu satunya pewaris yang ayah punya. Meski sangat menyayangi ibu tiri, ayah masih tetap kukuh pada pendirian nya untuk mewarisi perusahaannya kepada anak yang memang sedarah dengannya.

Saat menikah dengan ayah, ibu tiri sudah memiliki satu anak laki laki seumurannya dari pernikahan sebelumnya. Kata mereka, anak laki laki itu sudah mampu hidup sendiri di kota yang berbeda meski belum tamat SMA. Ayah hanya akan mengirim nya uang setiap bulan untuk keperluannya.

Joo-ha tidak pernah memiliki kesempatan bertemu dengannya sekalipun. Ayah mengadakan resepsi diam diam dibelakangnya dulu, saat dia masih tinggal di Belanda. Selama hidup di sini, saudara tirinya itu pun tidak pernah pulang ke rumah yang ditempatinya.

Joo-ha tidak peduli, karena merasa itu  tidak penting. Dia juga tidak ingin mencari tahu seperti apa saudara tirinya.

Kalau kau pikir, ibu tirinya adalah sosok yang jahat seperti pada film, maka itu salah besar.

Meski tidak ingin mengakui, ibu tirinya merupakan sosok yang lembut dan sangat baik. Joo-ha seringkali menghiraukan dan mengabaikannya, ia hanya masih merasa tidak terima tentang apa yang telah terjadi. Ia belum bisa menerimanya sebagai pengganti ibu, jadi dia memilih diam daripada rasa bencinya semakin menjadi dan berakhir membentaknya.

Kalau kau berpikiran dia tidak pernah mencoba mendekati. Maka, jawabannya pernah. Dia mencoba untuk mendekatinya, hanya perasaan benci yang semakin membludak melihat sebegitu baiknya ibu tiri dalam berperilaku. Joo-ha berpikir bahwa karena kebaikannya lah ayah menjadi berpaling dari ibu.

Meski dia banyak mendiamkannya, ibu tetap berbuat baik kepadanya selayaknya ibu pada anak kandung nya. Dia menyiapakan sarapan hingga makan malam untuk nya, membuat camilan saat dia larut dalam belajar, membereskan kamarnya saat dia tidak sempat karena kesibukan. Dan tentu saja merawatnya dengan tulus saat dia sakit.

Semakin ibu tirinya perhatian, ia malah semakin benci melihatnya. Ia membenci kesempurnaan yang dipunyai ibu tirinya itu.

Apalagi ketika ayah lebih sering memarahinya karena suatu hal yang tidak sesuai kemauan ayah, dia akan diam dan berhenti seketika saat ibu memintanya.

Joo-ha benci saat ayahnya lebih mau mendengarkan ibu tirinya dibanding dengan dia sebagai anak kandungnya sendiri. Dia merasa sendiri di dunia ini. Tidak ada yang berdiri disisinya seperti saat bersama ibu dulu.

Makanya, sejak saat itu dia lebih menyukai ayahnya tidak berada dirumah. Dia sudah terbiasa dan merasa lebih tenang saat tidak ada siapapun di rumah.

Sialnya, ayah pulang bersamaan dengan pengambilan raport semester genapnya saat ini.

Joo-ha berhenti sebentar sebelum  tangan dinginnya mendorong gagang pintu stainless dengan sedikit gemetar. Derit suara pintu menggema sebentar sebelum terganti suara pukulan keras dan badannya yang menghantam lantai.

Tangannya memegang pipi kirinya yang terasa perih. Ia yakin, ini akan meninggalkan jejak merah yang sangat ketera. Kepalanya pusing dan nafasnya tercekat. Pandangannya buram, bahkan telinga nya tidak mendengarkan apapun selama beberapa detik.

Meski bukan pertama kali, rasanya tetap sangat menyakitkan. Hati dan raganya merasa sangat kesakitan.

"Kau memang tidak becus melakukan apapun bukan? Aku sudah memerintahkan mu untuk hanya fokus belajar, dan mempertahankan peringkatmu yang sepele itu. Tapi kau gagal!"

Air mata yang ditahannya untuk kesekian kali, tetap saja lolos begitu saja. Dada nya semakin terasa sesak dan susah bernafas.

"Apa kau melakukan balet lagi diluar sepengetahuan ku? "

Joo-ha menggeleng, tidak berusaha berdiri dari duduknya setelah terlempar. Tubuhnya terasa lemas dan tidak bisa bergerak.

"Kalau sampai aku mengetahui kau melakukan balet lagi atau melakukan hal bodoh yang lain, aku tidak akan memberi kesempatan kepadamu lagi"

"Kau tidak mempunyai teman bukan? "

Joo-ha menggeleng.

"Belajar lebih benar. Kalau sampai ujian akhir kau tidak bisa naik peringkat lagi, akan ku adukan kau kepada komite kekerasan sekolah atas apa yang telah kau lakukan dulu."

"Jangan membuat ku menyesal telah membela mu waktu dulu, kau akan masuk ke penjara remaja dan masa depan mu hancur. Kau bahkan akan ku hapus dari pewaris perusahaan "

Joo-ha terbelalak dan menggeleng lebih keras, mengatakan 'jangan' dengan sangat lirih tenggelam karena suara tangisnya.

"Jangan main main lagi kali ini. Jangan berbuat bodoh lagi yang dapat merugikan ku, apa kata investor lain kalau mengetahui anakku seorang kriminal dan bodoh seperti mu?"

"Pergi kekamar dan jangan kemana pun "

Suara derap langkah menjauh terdengar lewat telinganya. Joo-ha berusaha bangun meski pandangan nya masih kabur karena air mata.

Sebentar lagi. Dia harus bersabar lebih lama lagi. Saat waktunya tiba, dia bisa hidup sendiri dengan tentram.

Dimana mama? (Sebutan untuk ibu tirinya)

Pada akhirnya, seberapa besar pun dia membenci ibu tirinya, dia tetap membutuhkan kehangatan tangannya untuk menenangkan hati dan raganya yang semrawut itu.

Dan sebesar apapun usahanya, saat dia gagal, tetap tak terlihat dan seperti hilang begitu saja bukan?

Dan sebesar apapun usahanya, saat dia gagal, tetap tak terlihat dan seperti hilang begitu saja bukan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
OVER THE BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang