Kita nikah saja!

6.2K 29 21
                                    

Adara meminta Edo untuk memperbaiki hubungan Edo dengan ibu pria itu.

***

Pengendalian diri di luar kuasanya. Semakin lama Edo bersama Adara semakin tidak bisa lepaslah dia dari perempuan itu. Apalagi, tanpa dikatakan Edo agar tidak menyinggung perasaan Adara, dada Adara yang semakin padat membuatnya kesulitan untuk menahan napsunya.

Edo terjaga lebih dulu. Disadarinya semalaman Adara ada di dalam pelukannya. Tubuhnya menempel pada tubuh Edo.

Sesaat Edo memandang Adara yang masih tidur. Dahinya mengerut. Dalam hati bertanya-tanya. Apa Adara masih kepikiran dengan ucapan ibu Edo sampai tidurnya pun tidak nyenyak? Hati Edo sakit membayangkan betapa terlukanya Adara karena omongan ibu Edo yang nyelekit.

Edo ingin menghibur Adara. Dia tahu apa yang Adara sukai. Yang paling bisa membuat Adara lupa dengan sakit hatinya.

"Honey," bisik Edo lembut.

Perlahan Adara membuka matanya. "Kamu duluan saja mandinya," gumam Adara, menguap. "Aku masih mau tidur."

"Aku punya ide yang lebih baik daripada tidur."

"Nggak mungkin. Tidur adalah hal yang paling menyenangkan. Selain KPOP-an tentunya."

"Oh gitu. Berarti ngese*s sama aku tidak menyenangkan ya?"

"Menyenangkan, kalau malam. Pagi-pagi begini sih enaknya bobo."

"Ya sudah kamu bobo saja."

"Oke deh."

Adara memejamkan matanya lagi. Edo menjauhkan dirinya dari wanita itu. Adara pikir Edo sudah meninggalkannya.

Celana Adara diturunkan. Lidah pria itu masuk ke dalam dirinya. Dengan matanya yang masih tertutup, Adara mengulas senyum.

Dia menikmati permainan kekasihnya di bawah sana. Edo menj!latinya dengan lembut, membuat Adara kesal, menantikan Edo untuk lebih garang di bawah sana.

Tubuh Adara menggeliat. Erangannya terdengar. "Honey...."

Lidah Edo meliuk-liuk. Adara semakin gemas. Dia mendorong maju pinggulnya.

Tangan Adara terulur ke dadanya sendiri. Dibukanya kancing bajunya satu per satu. Satu tangannya menangkup dadanya. Meremas-remasnya.

Edo mulai sengit. Kini bukan lidahnya yang beraksi. Mulutnya menghisap Adara kuat-kuat.

Sampailah Adara ke titik itu. Titik di mana dia berteriak puas. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Seketika wajah ibu Edo yang sinis padanya terpampang di benaknya. Menyadarkan Adara bahwa yang mereka lakukan...

"Ini salah," gumam Adara, membuka kedua matanya. Dia menegakkan tubuhnya. Matanya yang bersorot nanar memandang Edo. "Jangan. Jangan lakukan ini lagi."

"Honey, what's wrong?" sahut Edo bingung. Dia duduk di sebelah Adara. "Kalau ini soal mamaku, tak usah kamu pusingkan kata-katanya! Sekarang kita lanjut..." Edo mengulurkan tangan untuk merangkul Adara tapi perempuan itu menolak. "Honey."

"No! Kalau kita terus melakukan ini, akan semakin tidak mungkin mama kamu kasih persetujuan ke kita."

"Adara, selama kita tinggal di tempat yang sama, mamaku tidak akan mengubah pandangannya terhadap kamu."

"Ya kalau gitu... kamu jangan tinggal di sini lagi! Setidaknya... sampai kamu restui kita!"

"Saya tidak bisa lakukan itu."

"Tapi kita tidak bisa juga melakukan ini. Tinggal bareng tanpa ikatan. Mau sampai kapan begini, Hun?"

"Gampang. Kita nikah saja!"

Adara menepuk lengan Edo keras. "Bagaimana kita bisa menikah jika tidak disetujui mama kamu?"

"Adara."

"Apa?"

"Apa pendapat mama saya sepenting itu? Kita bisa nikah tanpa melibatkan orangtua saya kok!"

"Kamu tidak bisa begitu, Hun. Apa yang kita lakukan bisa balik ke kita! Memangnya kamu mau, kalau kita punya anak dan ketika anak itu nikah, kita tidak diundang?"

Edo menjawab lugas, "Tidak. Itu tidak akan terjadi! Kamu tahu kenapa? Karena kalau saya punya anak, saya akan hargai pilihan apapun yang anak saya ambil! Termasuk jodohnya."

"Kamu ngomong gitu karena kita berdua belum jadi orangtua. Lagipula..." Adara menggigit bibirnya. "Aku tidak mau menikah dengan pria yang membangkang orangtuanya. Kalau kamu saja bisa menyakiti hati orangtua kamu, kamu tidak akan masalah menyakitiku juga!"

"Adara!" cetus Edo marah. "Justru saya membangkangi orangtua saya demi kamu! Ya mana mungkinlah saya menyakiti kamu!"

"Pokoknya kamu harus berdamai dulu dengan mama kamu!"

"Kenapa hubungan saya dengan orangtua saya menjadi hal yang penting buat kamu?" sahut Edo penasaran.

"Bukan cuma kamu yang punya masalah keluarga. Aku juga punya alasan kenapa penting bagiku keharmonisan hubungan anak dan orangtua."

"Ya kenapa? Jelaskan dong!"

Adara menatap pria itu lekat-lekat. "Akan aku jelaskan kalau kamu janji, kamu mau perbaiki hubungan kamu dan mama kamu."

"Kamu nih!" Edo menghela napas jengkel. "Baiklah! Saya akan berusaha kontak mama saya lagi. Tapi ingat. Jangan sedih kalau saya jadi jarang pulang ke sini. Karena untuk buat mama saya luluh, ya mau tidak mau saya harus pulang ke rumah keluarga saya!"

"Oke." Adara mengecup pipi Edo. Senyumnya muncul di wajahnya. "Ini kan sementara, Hun. Kalau sudah dapat restu, terus kita nikah, kita bisa bareng tanpa waktu yang membatasi!"

Tetap saja Edo kesal. Dia bisa kok bersama Adara sepuasnya tanpa memikirkan ibunya. Tapi kalau Adara sudah minta, Edo mana bisa mengelak!

Your Wish, Honey | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang