Honey, don't go

365 43 20
                                    

Edo bertanya apakah dia ayah dari anak yang dikandung Adara

**

Bagian dari dirinya mengeras. Dia menoleh ke samping. Tidak ada Adara yang duduk di sampingnya seperti biasa.

Mau tak mau Edo meredam hasratnya yang menggebu-gebu. Dicobanya untuk mengalihkan pikirannya. Pada saat yang sama ponselnya berbunyi.

Dia mengklik tombol di layar mobilnya. Suara Alena menyapanya terdengar.

"Pagi, Edo. Lagi di jalan ya?"

"Iya nih. Ada apa?"

"Nanti siang aku ke kantor ya? Aku lagi masak nih sekarang. Pengen saja kamu cobain makanan buatan aku."

"Oh....."

"Kenapa?"

"Tidak, tidak," sahut Edo cepat. "Maksud saya, tidak usah repot-repot. Kalau kamu mau makan bareng, nggak harus kamu masakin saya dan bawa makanannya ke kantor. Bisa kok kita makan di restoran."

"Sama sekali tidak repot, kok. Ya sudah ketemu nanti siang, ya."

"Eh?" Tut... tut... tut....

Edo cuma bisa berharap. Bahwa Adara tak akan melihat Alena yang menemui Edo.

Perempuan itu tidak ada di ruang kerjanya ketika Edo ke sana. Edo bertanya pada Putri.

Putri dan dua anak buahnya tampak bingung sesaat. Bukankah Edo seharusnya lebih tahu soal keberadaan Adara? Bos mereka kan pacarnya Adara?

Edo membuyarkan lamunan mereka. "Hey! Saya tanya lho! Kok tidak ada yang jawab sih?" tegurnya kesal.

"Tadi bilangnya mau ke kamar mandi sih, Pak," sahut Mbak Putri.

"Oh, bilang dong!"

Edo menaruh tas kerjanya di ruangannya, lalu dia ke WC. Menunggui Adara di sana.

Ketika pintu dibuka, muncullah Adara. Mukanya masam. Sorotan matanya juga menunjukkan kelelahan.

"Hey! Kamu kenapa?" tanya Edo khawatir. "Oh ini nih. Kamu bangunnya kepagian. Makanya! Jangan ganjen-ganjen ketemu teman kamu itu! Sakit kan jadinya!"

"Minggir." Adara mencoba untuk mendorong pria itu ke samping, tapi dia lemas duluan. Pandangannya kabur.

"Adara, kamu sakit ya?"

"Ya menurut kamu saja," kata Adara masih bisa menunjukkan kesinisan.

"Ya sudah izin saja hari ini."

"Nanggung. HR belum datang."

"Tinggal bilang ke Putri."

"Aku sekalian mau ngomongin resign."

"Eh? Kenapa kamu mau resign?"

Adara mendengus. Untuk apa Edo nanya. Pria itu seharusnya sudah tahu: Adara tidak mau lagi dekat-dekat sama dia!

Sayangnya ketika Edo mau bicara lebih lanjut, sekretarisnya menghampirinya, mengingatkannya tentang meeting-nya dengan klien.

Edo dan Adara baru bertemu lagi saat jam makan siang. Tidak sengaja. Adara yang baru keluar dari ruangan bagian akunting, memandang Edo yang tengah menyambut kedatangan Alena.

Rekan-rekan kerja Adara melirik Adara. Terang mereka tahu Alena bukan karyawan di sana. Sikapnya pada Edo yang manis menunjukkan keakraban layaknya seorang kekasih.

"Ini aku bawain makan untuk kamu. Dimasak sendiri sama aku. Yuk kita makan bareng yuk. Edo? Kenapa?" Alena menoleh pada arah mata Edo menatap.

Adara membalikkan tubuh. Menjauh dari Edo dan Alena.

Alena mengenali Adara. Dia menarik napas panjang. "Masih suka ya kamu sama dia?"

Ingat tender. Ingat proyek. Edo langsung menjawab, "Oh, nggak, nggak! Ayo ke ruangan saya. Kita makan bareng."

Selama dia bersama Alena di ruang kerjanya, benaknya tak jauh-jauh dari Adara. Dia tahu Adara pasti semakin yakin untuk berhenti kerja di perusahaan Edo.

Sore itu Edo dapat telepon dari HR. Manajer HR yang dulu merekrut Adara memberi laporan pada Edo, bahwa barusan Adara ke ruang HR, konsultasi terkait pengunduran dirinya.

"Lalu?" respons Edo.

"Ya kamu jelaskan bahwa di sini memang tidak ada penalty, tapi untuk resign Mbak Adara tetap harus ajukan one month notice."

"Oh.. oke, oke. Terima kasih ya."

Edo ke ruangan bagian akunting. Dia berdiri di pintu. "Adara, ayo ke ruangan saya." Pria itu membalikkan tubuhnya. Jalan duluan ke ruang kerjanya.

"Adara, semangat ya!" kata Mila.

"Iya, jangan patah hati! Lagian pasti banyak yang lebih baik daripada Pak Bos!" Ello ikut menimpali.

Mbak Putri memberi tatapan yang menguatkan. Adara menghela napas panjang.

Dia masuk ke ruang kerja Edo. Pria itu langsung menegurnya untuk segera menutup pintu.

Adara menurut. Setelah itu dia berdiri di depan meja Pak Edo.

"Jadi kamu mau resign?" tanya Edo. Rahangnya mengeras. Terang dia tidak senang dengan niat Adara untuk meninggalkannya.

Adara mengangguk. "Iya, Pak."

"Kenapa, Adara?"

"Alasan saya di sini karena saya mau dekat sama Bapak. Sekarang saya sudah tidak mau lagi dekat dengan Pak Edo."

"Adara, saya kan sudah bilang...."

"Saya hamil," potong Adara. "Saya belum periksa ke dokter, namun semua alat tes kehamilan menunjukkan dua garis."

"Kamu...." Edo terbelalak.

"Saya... saya tidak minta kamu untuk ada dekat saya. Untuk bertanggung jawab terhadap anak yang akan saya lahirkan. Saya.. saya tidak mau apa-apa lagi dari kamu!"

"Adara, mana bisa begitu?" Edo berdiri. Menghampiri Adara. "Saya tidak mungkin jauh dari kamu di saat kamu mengandung... Ini anak saya kan, Adara?"

Adara melotot. Dia tidak bisa menahan dirinya. Diraihnya cangkir dari meja.

Dia siram baju Edo dengan kopi. "Kamu nih memang brengs*k ya!" Dia taruh cangkir itu dengan sengit di atas meja. "Sudah tidak setia. Nuduh, lagi! Memang nggak salah aku putus dari kamu!"

"Adara, Adara..."

"Sudah jangan ngomong lagi sama aku!" Adara tidak mau ditawar. Dia keluar dari ruangan Edo.

Terdengar teriakan Edo di belakangnya, "Honey! Don't go!"

** I hope you like the story **

Your Wish, Honey | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang