Akhirnya direstui

407 38 39
                                    

Baik orangtua Adara maupun ibu Edo sama-sama setuju atas pernikahan Adara dan Edo.


**


Orangtua Adara tidak lepas tangan. Setelah anak-anak mereka menunggu sampai tengah malam, mereka keluar dari kamar dan menemui mereka.

Dikatakannya pada anak-anak. Bahwa Adara dan Edo harus segera menikah. Ibu Adara, Bu Inggrid, menyarankan tidak usah diadakan di Gereja, mengingat Adara dan pacarnya sudah berdosa, dan ibu Adara punya pendapat bahwa rasanya aneh dan malu jika mereka mau diberkati di Gereja.

Adara tidak keberatan. Selain di Gereja dia bisa menikah di tempat lain. Di hotel. Di taman. Di mana pun! Edo lebih cuek lagi. Dia menyerahkan semuanya pada Adara dan keluarganya.

Sementara terhadap Arjuna, orangtua mereka meminta sebaliknya. Pesta yang meriah harus dibuat. Tapi sebelumnya mereka bertanya, Arjuna MBA (married by accident) juga atau tidak.

Adar menyergah. "Ma! Pa! Adara nikah sama Edo juga bukan karena kecelakaan!"

"Memangnya kalau kamu tidak hamil, kamu tidak menikah?" tanya ibunya.

"Ya.. tapi jangan sebut MBA dong!" protes Adara, cemberut.

"Iya iya, Mama minta maaf." Dia dan suaminya menoleh lagi pada Arjuna. "Jadi.. bagaimana?"

"Tidak, Ma, Asti hamil beberapa bulan setelah kami menikah," sahut Arjuna enggan.

"Ya sudah! Kita berkati lagi di Gereja ya. Lalu kita pesta yang mewah," kata Pak Dante, ayah mereka.

Muka Adara makin kusut saja. Edo yang peka terhadap itu, mengeratkan genggamannya pada tangan Adara.

Arjuna menarik napas panjang. Dia menggeleng. "Saya dan keluarga ke sini untuk support Adara. Bukan mau merencenakan pesta. Lagipula saya tidak suka selebrasi-selebrasi semacam itu."

"Kalau begitu, Adara, kamu mau pesta yang bagaimana?" tanya ayah mereka, mencoba untuk menghargai Adara.

"Adara nggak muluk-muluk. Maunya juga di hotel dekat pantai."

"Kalau begitu mulailah cari-cari vendor," saran ibunya.

"Jadi kalian tidak masalah kalau pestanya meriah?"

Ibu Inggrid dan Pak Dante saling bertatapan. Mereka kurang memperhatikan Adara. Sejak anak-anak mereka kecil, Arjuna-lah yang digadang-gadang untuk jadi anak kebanggaan, dan setelah Arjuna keluar rumah, mereka tak punya perhatian untuk disalurkan walaupun mereka punya Adara anak mereka yang lain.

Melihat Adara memohon seperti ini buat hati orangtuanya trenyuh sekaligus bersalah. Adara yang paling mereka acuh tak acuh-kan justru yang menghargai pendapat mereka.

Ibu Inggris memandang Edo. "Bagaimana keluargamu, Edo? Apa kalian setuju dengan ide Adara?"

"Ngg...."

Jangankan pesta yang meriah, gagasan pernikahannya dengan Adara saja belum tentu ibu Edo setuju! Edo tidak bisa memberikan jawaban apa-apa itu. Dan orangtua Adara berasumsi sendiri bahwa Edo dan Adara belum terbuka tentang pernikahan mereka pada keluarga Edo.

Malam itu Edo meminta Adara untuk tinggal saja di rumah orangtua perempuan itu. Edo mengingatkan. Bukan cuma Edo yang perlu menaklukkan hati orangtua. Adara pun demikian.

Adara mengangguk. Dimintanya Edo untuk semangat meyakinkan orangtua Edo, terutama ibu pria itu, untuk setuju dengan pernikahan mereka.

Edo tiba di rumah dengan degupan jantung yang kencang. Dia gugup. Bagaimana pun tidak setiap hari dia menyampaikan keinginannya untuk menikah. Kegelisahan itu tak bisa dihindari.

Dia mengetuk pintu kamar orangtuanya. Tak ada sahutan. Ketika dia membuka pintu dan masuk ke sana, dilihatnya ibunya yang sedang duduk di tepi tempat tidur.

Ibunya sedang menangis tanpa suara. Edo ikut terluka memandang ibunya.

"Ma, Edo boleh bicara?" tanya Edo pelan.

Bu Rosalia mengangguk. Anaknya duduk di lantai. Kedua tangan Edo terulur ke tangan kanan ibunya. Dia pegangi tangan ibunya itu dengan sorotan permohonan di matanya.

"Ma, orangtua Adara sudah memberikan persetujuan mereka untuk Adara dan Edo menikah. Edo berharap, Mama juga bisa, merestui Edo dengan pacar Edo. Hanya dia yang bisa buat Edo bahagia, Mama. Dulu saat Edo tak punya siapa-siapa, dengan kondisi rumah kita yang carut-marut, Edo pergi ke Adara. Bukan Adara, Ma, yang buat Edo tidak betah ke sini, tapi suasana di rumah inilah yang buat Edo tak punya pilihan selain mencari ketenangan dan kesenangan tentu saja, bersama Adara."

"Edo, tapi dia..."

"Kalau ini soal Mama yang menganggap Adara tidak suci, bagaimana dengan Edo, Mama? Lihatlah wajah Edo. Inilah Edo, Ma. Anak Mama ini tidak ada bedanya dengan Adara, malah lebih buruk, sebab Edo juga suka maksa Adara untuk melakukan itu..." Air mata Edo turun. "Ma, Adara hamil anak Edo. Kalau Edo tidak menikahinya, apa menurut Mama hanya Edo yang akan menyesal?"

Ibunya tak memberi respons apa-apa. Perlahan Bu Rosalia mengangguk. Dia akhirnya mengatakan, "Baiklah. Tapi ingat..."

"Apa, Ma?"

Bu Rosalia meraih bantal di dekatnya. Dipukul-pukulinya lengan anaknya. "Kamu nih pendosa! Mama telah salah didik! Bagaimana sih, Edo, kamu tumbuh menjadi pria seperti ini?! Hah? Kenapa kamu jadi persis ayahmu?! Dasar kamu, Edo! Turunan!"

"Aduh, Ma, sakit...," ringis Edo sambil memegangi lengannya.

"Sana! Keluar! Mama kan sudah kasih restu, jangan biarkan Mama lihat muka kamu yang pura-pura menyesal itu!"

Ibunya tidak salah sih. Edo tidak bersalah atas apa yang diperbuatnya dengan Adara. Kalau pun ada air mata yang menggenangi wajahnya, itu lebih karena dia frustrasi keinginannya sulit untuk terwujud.

Setelah ibunya memberi restu, air matanya tak mengalir lagi. Sisanya hanya senyum yang tampak di mukanya.

Your Wish, Honey | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang