30. plans in madness [2]

322 41 6
                                    

"Ada sesuatu yang salah, sesuatu sedang berjalan dengan cara yang salah."

Duke bergumam, jari lentiknya mengetuk-ngetuk tepi meja, sementara papan catur dengan rapi tersodor di depannya.

Padahal sampai saat ini rencananya berjalan dengan lancar, tapi kenapa? Kenapa dia merasa ada yang salah? Seperti sesuatu tak kasat mata sedang mempermainkannya?

"Anak itu." Duke ingat, beberapa tahun yang lalu saat dia sedang berkunjung ke istana, dia tak sengaja berkunjung ke istana pangeran ke-9.

Waktu itu Duke hanya melihat-lihat sekaligus mengamati apakah pangeran ke-9 akan menjadi ancaman atau tidak, dan ternyata dari pengamatan singkat itu Duke sama sekali tak menemukan kelebihan dalam diri pangeran ke-9.

'Pangeran pecundang yang bahkan di lupakan oleh raja.' Itulah yang dipikirkan Duke kala menatap wajah pangeran ke-9, namun ada keanehan yang tiba-tiba muncul di dekat pangeran ke-9 awalnya Duke sama sekali tak merasa aneh saat pangeran ke-9 bermain dengan anak berambut putih yang dia yakini adalah anak ke-2 count.

'pecundang akan bersama pecundang.' begitu pikirnya, sampai akhirnya dia menemukan kejanggalan dalam gelagat pangeran ke-9.

Aneh rasanya tiap kali Duke 'tanpa sengaja' melihat Pangeran ke-9 selalu saja ada anak berambut putih itu di dekatnya.

Aneh rasanya bahwa pangeran ke-9 yang awalnya ingin mengamuk di pemakaman pangeran pertama tiba-tiba menjadi tenang seakan itu bukan pemakaman orang yang ia sayangi.

Dan bukti lain yang membuat Duke yakin ialah, raja iblis. Saat Duke membuat perjanjian dengan raja iblis, dan menawarkan anak itu sebagai 'bidak catur kesenangan', raja iblis menambahkan satu syarat dalam perjanjian itu.

'Kamu boleh menggunakan segala cara untuk membuat anak itu masuk ke dalam demon realm, tapi ingatlah jangan sampai kamu menyakiti anak itu!'

"Hah.. Deon." Duke meremas foto anak kecil dengan rambut putih itu, lalu melemparnya sembarangan. "Padahal aku berniat membunuh anak itu, tapi raja iblis malah menginginkannya, apa ada hal istimewa dari anak itu?"

Duke membuka lacinya, mengeluarkan foto keluarga milik pangeran pertama. "Sudah mati pun kamu masih merepotkan, bahkan saudaramu sama merepotkan-"

"Kalau sampai dia membahayakan ku, aku tak akan segan untuk mengirimnya bersamamu, meskipun itu berarti aku harus melanggar sumpahku." Duke berdiri dari duduknya, berjalan ke arah perapian dan membuang foto itu ke perapian tersebut kemudian ia berjalan keluar.

'Deon hart mari kita lihat seberharga apa dirimu.'

***

"Hach-chi!"

"Kamu tidak apa-apa Deon?" Cruel bertanya, manatap wajah adiknya dengan khawatir.

"Yah aku baik, mungkin ini karena ada yang membicarakan ku." Deon dengan tenang menjawab, padahal tadi pagi ia dan Cruel sedang bertengkar tapi lihatlah sekarang Cruel dengan lengketnya menempel pada Deon.

"Jadi apa yang mau kakak bicarakan?"

"Apa kamu masih marah padaku Deon?" Cruel bertanya, "aku benar-benar minta maaf karena telah membentakmu tadi." Ujarnya dengan nada penuh penyesalan.

Deon memutar bola matanya malas, "sudahlah aku sudah lupa."

"Walaupun kamu bilang begitu, aku tetap merasa bersalah, apa ada sesuatu yang bisa aku lakukan agar kamu tak marah lagi padaku?" Cruel menatap Deon dengan pandangan memohon.

"Berhentilah memperlakukan ku seperti anak kecil, aku ini sudah dewasa kak." Deon menghela nafas lelah, "aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Lagipula bukannya kakak juga punya pekerjaan yang harus dilakukan? Dari pada mengurusi ku lebih baik urusi pekerjaan kakak saja." Sambungnya.

"Aku tidak memperlakukan mu seperti anak kecil Deon," suara lembut keluar dari bibir Cruel, "aku hanya memperlakukan mu seperti adikku, bukankah wajar bagi seorang kakak untuk menghwatirkan adiknya?"

"Tentu saja itu wajar, tapi kakak terlalu berlebihan." Ujar Deon dengan sedikit nada kesal. "Aku tau aku ini anak penyakitan, tapi kakak tidak perlu menghawatirkan ku seolah aku akan mati hanya dengan bernafas kan?"

"Deon!" Cruel memangil dengan nada tegas, dia tidak suka jika Deon merendahkan dirinya sendiri apalagi sampai membawa penyakitnya.

"Apa!?" Deon balas membentak, "kakak pikir jika aku mati itu akan merusak nama baik keluarga count kan?!"

"Kakak tidak perlu khawatir lagi karena sebentar lagipun aku akan keluar dari rumah ini." Sambungnya dengan nada sarkasme.

"Apa?" Bola mata Cruel membulat mendengar pernyataan Deon, "Deon kakak minta maaf, tolong jangan bicara hal seperti itu ya.."

"Kenapa kakak terus menerus minta maaf?" Deon menggertakkan giginya. "Memangnya kakak punya salah padaku hah?"

"Kakak salah karena membentakmu, kakak salah karena sering mengekangmu," Cruel mulai menjabarkan kesalahannya di depan Deon. "Kakak salah karena melarang mu bertemu Edoardo, kakak salah karena tidak menghargai pendapat mu.."

Deon kembali menghela nafas, mengacak Surai putihnya dengan frustasi. Bukan maksud Deon untuk membuat Cruel merasa bersalah seperti itu, niatnya menanyakan hal itu semata-mata hanya karena dia ingin memberitahu Cruel bahwa dia tidak memiliki kesalahan apapun padanya, tapi kenapa Cruel menganggapnya semakin marah?

'sebenarnya apa yang dilakukan dunia pada otak kakakku sih.' batinnya frustasi.

"Baiklah kak aku memaafkan mu, kakak sudah tak punya dosa apapun padaku, jadi berhentilah berlutut!" Ujar Deon dengan lelah, dia mengulurkan tangannya untuk membantu Cruel berdiri.

"Benarkah? Kamu bersungguh-sungguh?" Ucap Cruel dengan nada penuh harap.

"Iya, namun jika kakak tak kunjung bangun juga, aku akan semakin marah padamu!" Deon menarik kembali tangannya yang ia gunakan untuk menopang Cruel.

"Aku berdiri, aku berdiri." Cruel dengan cepat memperbaiki postur tubuhnya, "lihat, sudahkan?"

"Kalau sudah ya sudah, aku mau pergi istirahat." Deon hendak berbalik pergi sebelum akhirnya Cruel menahannya.

"Ayo tidur bersama kakak malam ini." Ujarnya sambil menarik tangan Deon, "kakak punya buku dongeng baru yang akan kakak bacakan untukmu."

"Kakak!" Meskipun Deon mengeluh, dia tetap menuruti permintaan kakaknya. Akhirnya malam itu Deon dan Cruel tidur bersama, dengan Cruel membacakan dongeng sebelum tidur untuk Deon.

'kenapa kamu tersenyum seperti itu kak? Bikin kesal saja.'

Di tengah keheningan malam dan di temani dengan suara ceria Cruel yang membacakan dongeng, Deon akhirnya memejamkan matanya, membiarkan alam mimpi membawanya entah kemana.

Dengan nuansa kamar yang remang-remang, Cruel mengelus lembut Surai putih adiknya, menatap wajah tertidur adiknya lamat-lamat, sebelum akhirnya bergumam.

"Maaf Deon.. tapi itu semua untukmu."

***

Mau juga dong di sayang Cruel🥺

Tapi engga deh Edoardo lebih mengoda etzz 😏

Apakah akan ada plot twist di bab selanjutnya???

Nantikan!

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen🔥

disaster returnsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang