Di sudut gelap istana, seorang pemuda dengan santai bersandar di dinding, matanya terpejam sementara tangannya di silangkan di depan dada, begitu tenang sangat tidak cocok dengan suasana duka yang menyelimuti istana itu.
"Anda mau kemana yang mulia?" Suara tenang mengalir, matanya yang terpejam perlahan terbuka menatap sosok yang lebih tinggi darinya. Sementara sosok yang di tatap sama sekali tak terusik dan terus melanjutkan langkahnya.
"Mau membunuh semuanya? Anda akan menyesal." Bibir pemuda itu terbuka lagi, kali ini nada dalam kalimatnya terasa dingin, "Yang mulia dengarkan perkataan saya."
"...Lalu aku harus bagaimana Deon?" Edoardo menatap sosok yang lebih pendek darinya, menunduk sedikit ketika sosok itu mengulurkan tangan pucatnya untuk mengelus pipinya, "Apa kamu menyuruhku untuk hanya menonton dan melihat?"
Deon terkekeh melihat perasaan duka di mata Edoardo, ah sudah lama sekali Deon menantikan momen ini. Bukankah Edoardo sangat lucu ketika terlihat begitu putus asa? Deon ingin lebih banyak melihat keputusasaan di mata Edoardo.
"Tentunya saya tidak akan menyuruh Anda melakukan itu." Tangan pucat Deon terus mengusap pipi Edoardo, "saya juga sedih atas kematian pangeran pertama."
Edoardo menikmati sensasi hangat kulit tangan Deon yang membelai pipinya, matanya sesekali terpejam mencoba menekan rasa sedihnya. Saat ini kalau bukan karena Deon yang mencoba menghentikannya, Edoardo pasti sudah menggila dan membunuh seluruh keluarganya, tidak, apakah mereka pantas di sebut keluarga?
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Edoardo tahu, tahu sekali bahwa dekat dengan Deon bukanlah hal baik. Dia sudah merasakannya, sebuah firasat aneh yang terus merayap di dadanya kala Deon berada di dekatnya. Perasaan di mana Deon akan membunuhnya kapan saja. Namun untuk apa Edoardo peduli? Sekarang hidupnya sudah tak berarti, pamannya, satu-satunya keluarga yang ia punya telah tewas, lantas untuk apa lagi dia hidup?
"Anda hanya perlu melakukan apa yang saya katakan." Benar, jika ada alasan lain bagi Edoardo untuk hidup, alasan itu pastilah Deon.
'Malaikat-ku Deon Hart, bahkan jika kamu akan mengambil nyawaku suatu saat, aku akan dengan senang hati memberikannya.'
Deon mencoba menekan rasa senang di hatinya, rasanya dia ingin tertawa sekarang! Mengutuk kuburan pangeran pertama dan menginjak Edoardo bagai anjing, 'tahan lah Deon, tahan.'
"Nah yang mulia, saya pikir kematian pangeran pertama bukanlah tanpa sebab." Deon dengan lembut berkata, merapikan rambut Edoardo yang berantakan. "Namun bukan berarti kematian itu di sebabkan oleh pangeran lainnya, coba anda pikirkan siapa yang paling di untung kan oleh kematian pangeran pertama?"
Edoardo mengernyit, Deon ini suka sekali berputar-putar. "Tentu saja saudara ku, memangnya siapa lagi?"
"Yang mulia anda ini sebenarnya polos atau bodoh?" Deon mengetuk-ngetuk dahi Edoardo dengan jari telunjuknya. "Yah anggap saja itu benar, tapi apa anda pikir saudara-saudara anda yang bodoh itu dapat memimpin kerajaan ini? Jika pun memang iya meraka hanya akan menjadi raja boneka."
Jadi intinya adalah Deon mengatai seluruh keluarganya bodoh, "kalau begitu apa itu berarti ulah para bangsawan?" Edoardo kembali bertanya sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan Deon.
"Tepat sekali! Hehehe.." Deon tertawa kecil seperti anak kecil yang di beri permen, "kira-kira siapa orang yang memegang kekuasaan tertinggi setelah raja?"
"Duke." Edoardo menjawab, jujur mungkin kalau bukan karena dia sudah berteman lama dengan Deon, saat ini pasti ia sudah menganggap bahwa Deon itu gila. Siapa yang tidak akan berpikir demikian ketika Deon punya suasana hati yang ekstrim? Bahkan sekarang Edoardo sama sekali tidak mengerti mengapa Deon tertawa.
'Tapi Deon sangat lucu ketika tersenyum.'
"Astaga akhirnya anda jadi sedikit lebih pintar yang mulia!" Deon dengan gemas mengacak surai Edoardo, membuatnya kembali berantakan. "Dan siapa Duke yang lebih buruk dari babi?"
"Illuster?" Edoardo menjawab dengan sedikit keraguan, lagipula seingatnya pamannya dan sang Duke mempunyai hubungan yang cukup baik.
"Kenapa anda terlihat ragu begitu? Anda harus mengatakannya dengan tegas."
"Duke illuster adalah dalang di balik kematian pangeran pertama." Edoardo kembali berucap, nada nya tegas seolah-olah dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Tepat sekali, dan anda tahu apa yang harus anda lakukan kan?" Netra merah Deon berkilat dengan cara yang aneh.
"Membunuhnya, aku akan membunuhnya." Nada dingin keluar dari bibir Edoardo, sementara tatapan matanya setajam pedang.
"Bagus sekali! Tapi bukankah tidak akan seru kalau dia mati begitu cepat?" Edoardo dapat melihat bunga-bunga di sekeliling Deon.
"Itu benar... " Edoardo agak ragu ketika menatap mata berbinar Deon, "apa yang kamu ingin aku lakukan?"
"Saya ingin anda menjadi seorang raja." Tangan Deon kembali mengelus sebelah pipi Edoardo, "tidak, saya bahkan berharap anda menjadi kaisar."
"... Apa hubungannya antara balas dendam dan aku yang menjadi raja?"
"Karena saat ini anda lemah." Deon yang sama sekali tidak merasa terusik dengan banyaknya pertanyaan Edoardo, dengan tenang menjelaskan. "Sekarang anda begitu lemah bahkan hanya untuk melindungi diri anda sendiri."
"Yang mulia, kalau anda ingin menjatuhkan seseorang, setidaknya anda harus punya kekuasaan. Sambil anda terus meraup kekuasaan itu, mari kita diam-diam terus menggagalkan rencana Duke, ya?"
Edoardo mengangguk, merasa bahwa apa yang di katakan Deon itu masuk akal. Memang saat ini ia masih begitu lemah, dia yang lemah tidak akan mampu untuk melindungi apapun.
"Baiklah, aku akan mengikuti semua perkataan mu.""Anak baik.." Deon dengan senang hati membiarkan Edoardo memeluknya, sementara tangannya dengan lembut mengelus surai pirang itu. Edoardo mengeratkan pelukannya pada deon, menikmati setiap sentuhan Deon, kali ini saja izinkan Edoardo untuk berduka.
Suasana hujan diluar menjadi latar belakang hari itu, rintik hujan yang kian lebat seakan menjadi saksi kala dua insan itu terus berbagi kehangatan. Meskipun dalam suasana hangat itu mereka mencoba menata perasaannya masing-masing. Edoardo yang seolah ragu akan apa yang di rencanakan Deon, namun diam-diam menyakinkan hatinya bahwa apapun yang di rencanakan Deon adalah hal mutlak yang tidak boleh di ganggu gugat, sementara Deon yang dengan senang hati terus melilitkan rantai di leher Edoardo.
Sambil dengan hati-hati menekan rasa senangnya akan kematian pangeran pertama agar Edoardo tak menaruh rasa curiga padanya, tapi apa memang benar begitu? Apakah Edoardo benar-benar tidak tahu rasa senang Deon kala pangeran pertama mati? Atau Edoardo hanya berpura-pura buta sambil dengan patuh mengikuti Deon? Apapun itu yang jelas saat ini bagi Edoardo yang telah kehilangan arah Deon lah satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
"Tak apa yang mulia... Saya disini..." Deon berbisik di telinga Edoardo kala merasakan bahunya basah saat Edoardo mulai terisak di pelukannya.
"Hanya saya satu-satunya yang akan bersama anda." Seringai mengerikan terpatri di bibir Deon kala itu. Sebuah seringai yang akan membuat orang lain bergetar ketakutan.
Di bawah lampu istana yang remang-remang, dua sosok telah bersembunyi sembari menahan nafas kala melihat seringai di bibir Deon.
'iblis..!'
***
Run run ada Deon versi ibliss~Up sebelum ujian TwT
Jangan lupa tinggalkan jejak
See ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
disaster returns
Fantasía[i'm not that kind of Talent] Perang, Kata yang menggambarkan kekejaman, kesengsaraan, penderitaan, dan kesedihan yang mendalam. Deon tak pernah sekalipun ingin terlibat perang, tapi sekarang dia harus memilih antara ras manusia atau iblis, namun se...