BAB XXXVII

8.7K 567 28
                                    

Kediaman Widjaya, Tangerang.

Minggu [08.09 WIB]

Berbeda dari hari-hari lainnya saat ini di kediaman Widjaya diliputi ketegangan yang mendalam. Aktivitas santai yang biasanya dijalani keluarga itu berubah hanya dalam hitungan jam sejak kedatangan putra mereka di pagi buta.

Para pelayan yang biasanya berlalu lalang mengerjakan pekerjaannya kini tidak ada jejaknya. Bermula dari perintah dari tuan Widjaya untuk melarang sebagian besar pelayan mengerjakan pekerjaannya.

Setelah teh disajikan para pelayan kembali menutup ruang keluarga. Satu diantara mereka menyeletuk, "Sepertinya tuan muda marah besar..."

"Sttt, jangan mengomentari urusan atasan!" sentak pelayan yang lebih senior.

"Tapi apa posisi kita akan baik-baik saja kedepannya?"

"Itu... bukan kuasa kita..."

Sebagai orang yang tidak memiliki kekuatan, mereka hanya dapat berpasrah akan semua keputusan yang ada. Apalagi baru kali ini mereka dilarang untuk bekerja.

Tidak ada yang salah jika mereka berputus asa, ekspresi Ramandhanu membuat mereka mau tidak mau memiliki pemikiran itu.

Kabut tebal di wajah Ramandhanu membuat pelayan tidak berani menatapnya. Wajah itu melukiskan rasa marah, kecewa dan sedih yang mendalam.

Keheningan antara Ramandhanu dan orang tuanya terasa mencengkram. Belasan menit telah berlalu tanpa adanya percakapan.

Panji mengambil cangkir teh dan meminumnya, "Ada gerangan apa kau kemari dengan muka seperti itu?"

Ramandhanu menghembuskan nafas panjang berusaha untuk menetralkan suasana hatinya. "Apa selama ini sebagai anak aku kurang berbakti?"

Mendengar perkataan Ramandhanu membuat Panji hampir menyemburkan tehnya. "Apa maksudmu?"

"Jika bukan seperti itu apa aku kurang dalam pekerjaan?" tanya Ramandhanu tajam.

Rona mengelus punggung Panji menenangkannya. "Danu, apa yang membuatmu tiba-tiba begini?"

"Ibu... apa kalian masih tidak bisa menyerah akan perjodohanku?" suara Ramandhanu dalam, sarat akan kekecewaannya. "Bukankah kalian sendiri yang berjanji akan membiarkanku menikah dengan orang yang kupilih."

Mendengar ucapan Danu membuat Rona maupun Panji kini memahami arah pembicaraannya. Mereka memang memiliki janji dengan putra semata wayangnya itu untuk membiarkannya menikah dengan orang yang diinginkannya setelah mengurus perusahaan cabang Widjaya yang tersebar di berbagai tempat.

Syarat yang sulit itu dibuat supaya Ramandhanu menyerah dan memilih menikah dengan pilihan orang tuanya. Pernikahan aliansi dapat membantu pertumbuhan perusahaan, dengan banyaknya kubu yang sama membuat perusahaan semakin kuat.

Alih-alih menerima pernikahan itu, Ramandhanu justru memilih jalur berduri. Ia memilih mengembangkan perusahaan bertahun-tahun, meningkatkan anak perusahaan di berbagai tempat dengan tidak ada jaminan keberhasilan.

"Tentu saja, bukankah kau sudah menikah dengan wanita pilihanmu?" kata Rona tenang sambil tersenyum lembut.

"Berhentilah ibu! Jika kalian masih menganggapku putra kalian, tolong berhenti mencampuri kehidupanku." Ramandhanu tersenyum kecut menatap orang tua yang sangat disayanginya kini menitikan air matanya. Ia telah menjadi anak durhaka sekarang.

Ketukan pada pintu membuat Ramandhanu berdiri dari duduknya. Seorang bodyguard bersetelan hitam dengan amplop coklat berdiri di ujung pintu mengangguk pada Ramandhanu.

Sebelum melangkah pergi Ramandhanu tersenyum lembut, "Ayah, ibu, aku bahagia sekarang. Aku ingin melindungi kebahagian ini dalam waktu lama..."

Rona tidak kuasa menahan tangisnya. Panji mencoba menenangkan tangisan istrinya dan memeluknya erat.

RAMAYANA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang