BAB XXXII

6.8K 335 3
                                    

Perusahaan Widjaya, Jakarta.

Jumat [14.56 WIB]

Suara jam yang berdetak pelan ditambah suara goresan tinta pada kertas melatarbelakangi suasana siang itu.

Hening.

Nafas Reza tercekat melihat atasannya yang bekerja bak dikejar anjing. Wajah yang ada di depannya itu memang Ramandhanu namun perilaku dan sikapnya akhir-akhir ini jelas berbeda.

Sejak dulu Reza paham jika Ramandhanu adalah manusia yang tergila-gila akan pekerjaan. Perfeksionis itu telah menjadi bagian essensial dalam bekerja. Reza bahkan tidak heran jika Ramandhanu itu dapat mengerjakan pekerjaan yang banyak dalam sehari.

Namun belakangan ini Ramandhanu menjadi lebih gila kerja. Bayangkan, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dalam waktu 3 hari dapat terselesaikan hari itu juga.

Efisiensi yang tak terbatas ini adalah kali pertama dalam karirnya Reza menjumpai hal ini.

Keheningan itu terputus dengan suara pena yang jatuh diiringi oleh batuk. Dengan sigap Reza menyodorkan air mineral.

"Sepertinya anda harus beristirahat hari ini," saran Reza logis. Ramandhanu sudah sangat letih bekerja, tubuhnya tidak dapat menahan beban kerja itu.

Ramandhanu meletakkan gelas yang telah diminumnya di atas meja. "Masih ada pekerjaan..."

"Anda tidak harus menyelesaikan pekerjaan sekarang! Tolong rawat tubuh anda!" seru Reza yang geram dengan sikap Ramandhanu yang tidak memperdulikan kesehatannya sendiri.

Mata sayu dengan lingkaran hitam dibawahnya serta pipi yang tirus membuat Reza yakin bahwa Ramandhanu telah kehilangan banyak berat badannya. Penampilan yang sangat berbeda jauh dengan Ramandhanu yang dikenalnya dulu.

Sudah cukup! ini tidak bisa dibiarkan lagi, "Saya akan memanggil dokter Ryan-"

Ramandhanu menahan lengan Reza yang hendak beranjak, "Aku tidak butuh!" potong Ramandhanu.

"Anda butuh!" Reza bersikeras.

"Kau tuli?! Aku bilang aku tidak butuh! Aku sehat!"

Bukannya marah dan tersinggung Reza justru merasa iba pada atasannya itu. Sikap keras kepalanya sama sekali tidak berubah.

Tidak bisakah Ramandhanu jujur dengan keadaannya sendiri?

"Keadaan anda sekarang... sangat jauh dari kata sehat, tuan..." pelan Reza memejamkan mata, siap dengan amukan Ramandhanu selanjutnya.

Namun berbeda dari dugaannya, Ramandhanu hanya tertawa pelan. "Memang bagaimana rasanya sakit itu..."

Reza mengepalkan tangannya kuat, tuannya yang selalu kuat itu kini tumbang. Nampak lemah di depannya.

"Anda harus beristirahat, saya akan mengantar anda pulang."

Tawa Ramandhanu semakin kencang, "Pulang? Aku tidak punya rumah, Za!"

Reza mengernyit heran. Bingung dengan ucapan tuannya, bagaimana bisa Ramandhanu mengatakan tidak memiliki rumah sedangkan rumahnya saja ada belasan yang tersebar diberbagai tempat.

"Aku tidak punya... tempat untuk pulang..."

"Apa maksud-"

"Istriku pergi... meninggalkanku..."

Reza terdiam mematung, cukup terkejut mendengar kabar ini. Sejak kapan? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Reza. Melihat dari waktu Ramandhanu yang berperilaku aneh, mungkinkah sejak minggu lalu?

Entahlah sekarang Reza hanya hilang rasa hormat pada wanita yang membuat tuannya seperti itu. Pada wanita yang dengan gilanya menikah dengan syarat yang tidak manusiawi.

Kayana Sekar Widjaya.

***

Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Kota Tangerang.

Minggu [21.28 WIB]

Kayana menarik kopernya diantara banyaknya orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Masih dengan ponsel digenggamannya Kayana mencoba menghubungi driver ojek pesanannya melalui aplikasi hijau. Naas Kayana harus terjatuh karena menabrak orang di depannya.

"Oh, maaf..."

Gerakkan tangan Kayana yang membereskan barang di lantai berhenti saat mendengar suara yang tidak asing ditelinganya.

Di sinilah Kayana sekarang, di kafe bandara dengan seorang yang ambigu hubungan mereka.

"Mah, esnya leleh!" kata anak perempuan yang manis dengan es krim vanilla digenggamannya.

"Iya sayang, esnya meleleh jadi harus cepat dimakan." sahut ibunya sembari mengusap lelehan es ditangan anaknya.

"Hm... enyak!"

Interaksi hangat di depannya membuat Kayana ikut tersenyum tipis. Tidak menyangka Rena seluwes itu menghadapi anak kecil.

"Berapa umurnya? Dia sangat lucu," tanya Kayana membuka obrolan.

Rena tersenyum tipis, "Maaf... bulan depan dia berumur 3 tahun."

Kayana tersenyum miris mendengar permintaan maaf yang Rena lontarkan. Wajar dengan apa yang telah dilakukan Rena di masa lalu. Hampir 3 tahun yang lalu.

"Boleh aku tahu namanya?" tanya Kayana berhati-hati.

"Rania, Rania Kana Gumilang namanya."

Kayana tertegun. Sudah lama ia mendengar nama 'Kana'. Ya, semenjak beberapa tahun yang lalu dari mulut seorang lelaki yang berniat menikahinya.

"Lucu sekali..." gumam Kayana lirih.

"Ya?"

Kayana menggeleng pelan. Beruntung pelayan datang membawakan pesanan, menyelematkan Kayana dari situasi yang aneh itu.

Baik Kayana maupun Rena diam, fokus pada makanan masing-masing. Hingga Rena membuka keheningan itu dengan pertanyaan, "Apa kamu punya masalah Kay?"

Kayana mendongak, menatap lurus pada Rena yang duduk di depannya.

Rena menggaruk tengkuknya dan dengan gugup menjelaskan, "Ah, bukan bermaksud ikut campur aku hanya..."

"Apakah nampak sekali?" tanya Kayana balik.

Rena terdiam dengan respon Kayana yang normal kemudian mengangguk mengiyakan.

"Haha... namanya juga pernikahan, pasti ada aja masalahnya, bukankah begitu?"

Lagi-lagi Rena mengangguk.

"Lalu bagaimana dengan pernikahanmu?" pertanyaan spontan itu membuat air muka Rena berubah, menundukkan pandangannya ke bawah. Dengan cepat Kayana merubah pertanyaannya, "Ah, maaf... maksudku bukan be-"

"Tidak apa-apa." kata Rena sambil tersenyum. "Aku paham maksudmu, tapi sayang sekali pernikahanku tidak sebaik itu. Kami sedang ditahap bercerai."

Deg!

Cerai.

Kata tersebut membuat bulu kuduk Kayana berdiri. Tidak pernah sekali pun kata itu terbersit dipikiran Kayana. Dan sekarang Rena mengucapkan kata terlarang itu dengan santainya.

"Kenapa?" tanya Kayana lirih.

"Aku menyerah Kayana, Mas Gavin tidak akan pernah mencintaiku. Ia mencintaimu,"

Kayana menggeleng kuat, "Tidak, aku tidak akan pernah masuk kehubungan kalian,"

"Iya, aku tahu. Tapi aku ingin bahagia, Kay." Rena melanjutkan, "Dan dengan melepasnya... aku dapat mencari kebahagiaan itu."

Seusai mengucapkan hal itu, suara pengumuman dari penyiaran bandara terdengar.

"Sepertinya aku harus pergi, Kay. Terima kasih untuk hari ini dan maaf untuk dimasa lalu. Semoga kamu juga menemukan kebahagiaanmu Kay,"

Kepergian Rena meninggalkan rasa kehilangan yang mendalam bagi Kayana. Kayana menatap siluet tubuh belakang Rena dan putri kecilnya yang perlahan menghilang dikerumunan.

Kayana tertawa kecil, apakah ia dapat menemukan kebahagiannya sendiri?

***

RAMAYANA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang