BAB XXXVIII

10.9K 622 24
                                    

Ramandhanu's Penthouse, Jakarta.

Senin [02.15 WIB]

Ramandhanu membawa Buggatinya kencang membelah jalanan Jakarta. Suasana lalu lintas kota Jakarta yang lumayan senggang membuat Ramandhanu melajukan kendaraannya melebihi batas aman.

Decihan beberapa kali keluar dari bibirnya saat beberapa kendaraan menghalanginya. Sungguh kota yang tidak pernah mati, urusan macam apa yang membuat orang-orang ini masih berada di jalanan?

Sedetik kemudian Ramandhanu terkekeh pelan. Bagaimana bisa dia menghakimi orang lain sedangkan ia juga melakukan hal yang sama. Saat ini ia juga masih berkutat di jalanan.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu Ramandhanu memarkirkan mobilnya di basement. Pandangannya jatuh pada kursi di samping kemudi. Terdapat buket bunga Peony berwarna merah muda dengan bingkisan berisi coklat kesukaan Kayana.

Masih segar diingatannya, ekspresi bahagia istrinya saat memakan coklat itu. Meskipun Kayana menutupinya Ramandhanu dapat dengan mudah mengetahuinya. Mata yang lebih berbinar dan kepala yang bergerak pelan dengan mulut yang mengembung yang mirip dengan tupai kecil itu selalu Kayana lakukan saat menemukan makanan kesukaannya.

Ramandhanu sangat mengetahui kebiasaan-kebiasaan kecil Kayana yang bahkan mungkin Kayana tidak menyadari hal tersebut.

Ramandhanu meninggalkan mobilnya membawa buket dan bingkisan itu di tangannya. Melangkahkan kakinya menuju tempat yang sangat diingatnya. Tempat yang membawanya bertemu dengan orang yang dirindukannya.

Kayana Sekar Widjaya.

Senyum Ramandhanu tersungging di bibirnya kala teringat nama itu. Bak jutaan kupu-kupu yang terbang di perutnya membuat efek euforia tersendiri. Menggelitik hatinya.

Ramandhanu merasa nama itu begitu indah. Terutama dengan nama terakhir Widjaya, nama yang sama dengannya, yang tertulis rapi di kartu keluarga mereka.

Ah, ia jadi semakin mendambakannya.

Ramandhanu membuka pintu dan betapa kagetnya dirinya saat melihat istrinya tertidur pulas di sofa. Dengan langkah pelan Ramandhanu mencoba tidak menimbulkan suara sekecil mungkin. Meletakan barang yang dibawanya dan mendekati sosok yang tertidur itu.

"Cantik sekali..." gumam Ramandhanu pelan.

Wajah tertidur pulas yang ada di hadapannya itu begitu menenangkan. Mata indah yang selalu menatapnya itu kini terpejam rapat. Bibir merah ranum yang menggodanya kini...

Ramandhanu mengeplak wajahnya. Bisa-bisanya ia terpikirkan hal yang tidak semestinya disaat istrinya tertidur. Ramandhanu tidak menyangka bahwa pikirannya dapat seliar ini. Kemana otak logis dan rasionalnya itu pergi?

Setelah berhasil menenangkan dirinya sendiri, Ramandhanu membopong Kayana hati-hati. Berusaha sepelan mungkin supaya tidak membuat Kayana terbangun.

Ramandhanu mengernyit, menyadari bahwa Kayana sangatlah ringan. Sepertinya Kayana banyak kehilangan berat badannya. Bodohnya Ramandhanu baru menyadari hal ini. Pasti kejadian ini memberikan banyak pengaruh negatif pada istrinya itu.

Ia bertekad akan lebih memperhatikan Kayana mulai sekarang.

Setelah tiba di kamar, Ramandhanu membaringkan Kayana dan berniat pergi dari kamar itu membiarkan Kayana beristirahat. Namun niatnya itu terpatahkan saat lengannya ditahan oleh sepasang jemari hangat.

"Eh, kamu bangun?" ucap Ramandhanu pelan menyadari bahwa Kayana menahannya. "Maaf ya, kamu terbangun karena tidak nyaman. Tidur lagi aja, aku akan pergi setelah ini."

RAMAYANA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang