BAB XVIII

7.8K 363 4
                                    

Kafé Chocho, Jakarta

Kamis [20.18 WIB]

Kayana melangkah keluar meninggalkan kafé, tidak memperdulikan orang-orang yang menatapnya aneh karena telah membuat seorang wanita menangis. Acuh tak acuh dengan tanggapan orang lain akan dirinya yang terkesan egois.

Ya, dirinya akuinya saat ini dia egois. Dia hanya ingin mendengar apa yang dia inginkan. Tidak peduli akan kondisi Rena yang siap atau tidaknya bercerita.

Kayana adalah seseorang yang egois.

Setelah mendengar semua cerita itu, perasaan Kayana saat ini adalah hampa. Perasaan ini seperti kanvas yang kembali bersih. Kosong.

Ia bahkan tidak bisa menamakan perasaannya sendiri.

Kayana keluar, pandangannya turun menatap jalanan yang basah oleh rintik air hujan. Kebisingan suara manusia di dalam tergantikan oleh sunyinya air menetes.

"Kenapa hanya berdiri saja?"

Kayana mendongak, menatap sesosok laki-laki di depannya. Jaket kulit hitam dan sepatu boots yang dikenakannya membuatnya nampak sangar. Apalagi lagaknya yang bersandar pada pintu mobilnya mendukung penampilannya.

"Kenapa diam? Tidak mau pulang?" Ucapnya ngegas.

Seharusnya kata-kata itu terdengar manis bila diucapkan dengan baik. Tapi berhubung Radit selalu berintonasi ngegas, banyak orang mengira bahwa Radit sedang kesal.

Tidak mengapa bila orang lain salah paham akan cara bicara Radit, Kayana tidak akan ikut salah paham. Ayolah ia sudah mengenal Radit sejak kecil, ia tahu bahwa Radit sebenarnya hanya malu mengucapkan kata-kata manis.

Sikapnya yang malu-malu itu malah tampak manis dimata Kayana.

"Iya aku datang." Ucap Kayana seraya berjalan menghampiri Radit dan menyerahkan kunci mobilnya pada anak itu.

Radit membuka pintu untuk Kayana dan ia pun segera masuk, duduk di bangku kemudi.

"Tumben njemput? Motormu gimana?" tanya Kayana yang duduk di sebelah Radit.

"Dibawa temen." Jawabnya singkat.

Meski sudah legal membawa mobil sendiri, Radit adalah anak yang lebih suka memakai moge klasiknya. Dibanding terhindar dari panas dan debu dijalanan, Radit lebih suka merasakan angin yang menerpanya sambil mendengar deru mesin motornya.

Kecintaannya pada sepeda motor itulah yang membuatnya bergabung dengan komunitas moge.

"Kenapa sih masih berhubungan sama 'orang itu'?" celetuk Radit pelan.

Kayana menatap Radit yang tengah fokus pada jalanan di depannya. Ekspresi dan intonasinya membuat Kayana sadar bahwa anak itu sedang serius.

Tahu arah pembicaraan itu, Kayana pun menjawab. "Kakak ada urusan sama dia."

"Ya kenapa harus berurusan? Kalo dikhianati lagi gimana?" ucap Radit sedikit ngegas.

Kayana tertawa pelan, "Kau khawatir?"

"Nggak! Buat apa khawatir sama kakak yang bodoh." Ucap Radit ngegas. "Udah tau dikhianati malah ketemuan lagi, dasar bodoh." Gumam Radit.

Tentunya gumaman itu masih bisa Kayana dengar. Kayana tertawa lepas, sikap Radit yang khawatir itu sangat lucu. Alih-alih berbicara lembut, laki-laki itu malah menunjukan kekhawatiran dengan berkata kasar.

Kenapa adiknya itu sangat imut?

"Lalu menurutmu kakak harus gimana untuk menyelesaikan urusannya bila kami tidak boleh bertemu?"

RAMAYANA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang