BAB XXII

7.8K 397 0
                                    

Aroma harum masakan memenuhi indra penciuman Kayana. Membuat perutnya berbunyi, meminta untuk diisi.

Mengenakan kemeja putih oversize dan rambut yang dicepol sembarangan, Kayana bangun dari tidurnya. Berjalan sempoyongan mengikuti aroma harum yang membawanya ke dapur.

Sesosok pria yang memakai apron hitam dengan lengan kemeja yang digulung tampak berkosentrasi penuh pada makanan yang dibuatnya. Kemeja body fit yang dikenakannya menambah kesan sexy pria tersebut.

"Kau sudah bangun?" pikiran gila Kayana buyar mendengar perkataan Ramandhanu.

"Eh, em...iya." gugup Kayana.

Kegugupan Kayana membuat tawa Ramandhanu berderai, "Hahahahaha, selamat pagi!"

Ah, sialan!

Sosoknya yang tertawa itu membuat minggu pagi Kayana ini sempurna.

Jangankan pagi ini saja. Semenjak menyandang nama Widjaya, Kayana merasa setiap paginya selalu sempurna.

Tiga bulan sudah pernikahan mereka berjalan dan Kayana sama sekali tidak menyesal menikah. Bagaimana tidak, Ramandhanu adalah contoh dari sosok suami idaman. Alih-alih menuntut perannya sebagai istri, Ramandhanu justru mau melakukan pekerjaan rumah.

Seperti pagi ini, Ramandhanu yang memasak adalah pemandangan yang umum. Bukan sekali dua kali saja Ramandhanu menghandle urusan dapur.

Dan menurut Kayana tindakan Ramandhanu tersebut adalah hal yang luar biasa.

Sebagai anak yang dibesarkan dengan kultur jawa, Kayana tahu bahwa urusan dapur adalah tanggung jawab perempuan. Yah, itu kata neneknya.

Masih teringat jelas ajaran neneknya yang sangat kolot, berpihak pada budaya patriarki, dan perdebatannya yang menentang hal tersebut. Menurut Kayana yang namanya pekerjaan rumah itu harus dikerjakan oleh semua orang yang tinggal di rumah itu bukan dibebankan pada perempuan saja.

Neneknya yang murka pada saat itu mengatakan bahwa ia akan menjadi perawan tua dan tidak ada laki-laki yang mau menikahinya karena pemikirannya yang sesat itu.

Oke, Kayana akui ia beneran menjadi perawan tua dulu. Tapi, lihatlah Kayana sekarang! Kayana bisa menikah dan mendapatkan suami yang paham akan tanggung jawab bersama.

Kayana mendekati Ramandhanu dan memeluknya dari belakang. "Selamat pagi juga."

Gerakan Ramandhanu yang tengah mengaduk panci penggorengan berhenti. Dengan telinga yang memerah dan suara serak, Ramandhanu berkata lirih, "Haruskah kita melanjutkan yang semalam?"

"Tidak." Tegas Kayana melepaskan pelukannya dan berjalan pergi membawa makanan yang sudah dimasak ke meja makan.

"Oh, ayolah." Rayu Ramandhanu memohon bak anjing kecil yang kehujanan.

Kayana menggeleng kuat. "Apa kau lupa jika hari ini kita akan bertemu dengan ibumu?"

Ramandhanu menelan ucapannya yang hampir terlontar, kembali melanjutkan masakannya dengan bahu yang lunglai.

Kayana tersenyum kecil, suaminya itu memang tipe yang akan mengalah pada istri dan ibunya. Tapi tetap saja, tubuhnya bicara perasannya. Kayana jadi bertanya-tanya kemana perginya sosok dingin pria itu diawal pertemuan mereka.

"Kita bisa melakukannya sepulang dari rumah ibu." Bisik Kayana ditelinga Ramandhanu.

Ramandhanu menelan ludah sembari menatap lekat Kayana. "Hah.....pegang ucapanmu."

***

Kediaman Widjaya, Tangerang

Minggu [16.30 WIB]

RAMAYANA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang