Kaivan pulang ke rumah dengan tubuh yang terasa seperti habis ditumbuk. Hukuman berlari di bawah terik matahari benar-benar menguras tenaganya. Dengan langkah malas, ia membuka pintu kamarnya yang bernuansa gelap, khas anak laki-laki. Warna dinding abu-abu dan poster band rock favoritnya menghiasi beberapa sudut. Kamar itu terasa sejuk, pendingin ruangan berembus lembut, menyapu rasa gerah yang masih menempel di kulitnya.
Di pojok ruangan, terdapat meja belajar yang berantakan dengan buku-buku yang menumpuk dan laptop yang tidak pernah dipadamkan. Kaivan tidak mempedulikan itu. Dia melepas seragam sekolahnya asal-asalan, menumpuknya di kursi, lalu langsung terjun ke tempat tidur. Kasurnya empuk, seolah memanggil untuk ditiduri lebih lama. Kaivan menarik selimut tebalnya hingga menutupi tubuh, membenamkan wajah di bantal dengan nyaman.
Dia menutup mata, berusaha mengusir rasa lelah yang menyerang sekujur tubuh. Deru lembut pendingin ruangan membuatnya semakin hanyut dalam kantuk yang tak tertahankan. Tidurnya cepat sekali, seolah dunia di luar sana tak ada artinya. Tak ada suara hiruk pikuk kota, tak ada sinar matahari yang menyilaukan. Tidak ada pikiran tentang tugas yang belum selesai, hukuman yang diterima, atau pertengkaran dengan Bella. Dalam tidurnya, Kaivan menemukan kedamaian yang sejenak menghapus semua masalahnya.
Kaivan terlelap hingga matahari perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat. Tidak menyadari waktu yang berlalu.
Catalina membuka pintu kamar Kaivan perlahan, tak ingin membuat suara yang terlalu keras. Ia melihat putranya yang masih terlelap, bergelung di bawah selimut tebal. Bagi Catalina, Kaivan tak pernah benar-benar tumbuh dewasa; dalam hatinya, ia masih melihat putranya sebagai bayi kecil yang dulu sering merengek minta digendong. Dengan langkah hati-hati, Catalina mendekat dan duduk di pinggir ranjang, memandangi wajah Kaivan yang tampak damai dalam tidurnya.
Dia mengulurkan tangan, mengusap lembut kepala Kaivan. Rambutnya yang hitam berantakan terasa lembut di jari-jarinya. Sentuhan itu membuat Kaivan menggeliat, tapi tidak sepenuhnya bangun. Ia hanya bergeser sedikit, berusaha menyesuaikan diri di bawah selimut yang terasa nyaman.
"Kai, bangun sayang," Catalina berkata lembut, suaranya penuh kasih sayang. Kaivan membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk. Ia melihat ibunya duduk di tepi ranjang dan mengerjap, berusaha kembali sadar sepenuhnya dari tidurnya yang panjang.
Catalina tersenyum, meskipun di matanya ada kilatan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. "Kamu pulang langsung tidur, ya?" tanyanya sambil terus mengusap kepala Kaivan. "Tadi di sekolah ngapain aja? Kamu habis main basket?"
Kaivan hanya mengangguk malas, belum sepenuhnya terjaga. Ia membenamkan wajahnya lebih dalam ke bantal, seakan ingin kembali tidur. Tapi Catalina tak membiarkannya begitu saja.
"Kamu ini, sudah kelas berapa, tapi setiap hari pulang sekolah bukannya belajar malah tidur. Malamnya kelayapan entah ke mana," kata Catalina, nada suaranya kini lebih serius. Ia tahu betul kebiasaan Kaivan yang sering keluar malam, kadang pulang larut dengan bau rokok dan alkohol. Kekhawatiran terus menggerogoti hati Catalina, karena ia tahu dunia di luar sana bisa begitu keras, dan ia tidak ingin putranya terjerumus lebih dalam.
Kaivan mendesah pelan, masih dengan mata setengah tertutup. "Aku capek, Ma. Udahlah, aku mau tidur lagi."
"Kai, begadang itu nggak baik. Kurang-kurangilah kelayapannya, malam waktunya istirahat. Mama melihat kamu nggak pernah belajar." Catalina mendesah, jari-jarinya tetap mengusap kepala Kaivan dengan lembut. Meski suaranya terdengar sedikit mengomel, ada kelembutan yang tidak bisa disembunyikan. "Kamu nggak bisa terus begini, sayang. Mama nggak mau lihat kamu cuma buang-buang waktu."
Kaivan berguling ke samping, punggungnya menghadap Catalina. Ia tahu ibunya benar, tapi rasa lelah dan keengganan untuk mendengar nasihat yang sama membuatnya memilih diam. "Iya, iya. Nanti juga belajar," gumamnya dengan nada malas, mencoba mengakhiri pembicaraan itu secepat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMINOUS [18+]
Genç KurguBagi Kaivan, menindas Bella adalah hal yang wajar karena gadis itu pantas mendapatkannya. Sehingga, tiada hari tanpa caci maki, cemooh, dan wajah sinis yang didapatkan Bella dari Kaivan dan orang-orang di sekitarnya. Warning!! 18+ 🐎🐎🐎 Jakarta, 2...