twenty two

330 53 17
                                    

"Astaga, aku lupa menaruh ponselku!"

Seokjin bergumam sendiri usai dirinya telah selesai melakukan catokan pada rambutnya. Seokjin bangun kesiangan di mana ia sudah menjadwalkan dirinya untuk bangun pukul sembilan pagi karena ada jadwal konsultasi dengan profesor yang harus ia ikuti sebagai dokter residen di siang hari. Semalaman Seokjin menyelesaikan tulisan ilmiahnya hingga pagi dan baru tidur pukul lima pagi.

Seokjin yang sudah berpakaian rapi berupa kemeja lengan pendek berwarna putih dan mengenakan celana kain longgar hitam itu lalu menuju ke kasurnya kembali. Dokter yang tengah menempuh pendidikan spesialis itu mencoba untuk mencari ponsel miliknya. Seokjin mendengus pelan usai menemukan ponselnya ternyata ada di bawah bantalnya.

Seokjin menyalakan ponselnya dan tentu ia tak akan mendapati pesan manis dari sang letnan seperti hari-hari biasanya. Namun, kali ini Seokjin dibuat mengerutkan dahi heran saat melihat nama Jimin cukup banyak telah menelfonnya sejak pagi tadi. Seokjin tidur sangat nyenyak setelah kelelahan dan juga menangis semalaman. Ia mungkin tidak bisa mendengar ponselnya berdering karena tidur terlalu nyenyak pada pagi hari ini.

"Dua puluh tiga panggilan tidak terjawab?" gumam Seokjin keheranan.

Sama sepertinya, Jimin saat ini menjalani pendidikan spesialisnya juga. Dokter gigi itu berada di departemen bedah mulut di rumah sakit yang sama seperti Seokjin menjalani residen saat ini. Namun, Seokjin dan Jimin agak cukup jarang bertemu semenjak mereka telah pulang dari Pulau Yeonpyeong.

Seokjin lalu memilih untuk menelfon balik pacar dari Letnan Satu Min Yoongi itu.

"Hai, Jimin-ie!" panggil Seokjin begitu pada layar ponselnya menunjukkan jika telefonnya telah dijawab oleh Jimin.

Seokjin yang semula menyapa dengan ceria itu mendadak diam menyadari bahwa Jimin saat ini sedang menangis terisak.

"Apakah sesuatu terjadi padamu, Jimin-ie?!" pekik Seokjin panik saat menyadari bahwa di seberang sana tangisan Jimin malah semakin kencang terdengar.

Tangan Seokjin gemetar mendengar rintihan tanpa jeda yang keluar dari lisan Jimin. Lebih buruknya lagi, Seokjin masih tidak tahu apa alasan Jimin menangis hebat sembari terus menelfonnya hingga dua puluh kali pagi ini.

"Jimin-ie, apa ada hal buruk yang terjadi?" tanya Seokjin dengan berhati-hati.

"Hiks..." rintih Jimin dari panggilan itu. "Kau akhirnya menjawab telefonku, Seokjin-ah"

Seokjin mengulum bibir gugup mendengar apa yang barusan Jimin katakan.

"Sebenarnya ada apa?" tanya Seokjin panik. "Katakan padaku, Jimin-ie!"

Jimin menangis sekali lagi. Kali ini suara dari dokter gigi residen itu terdengar menyakitkan di telinga Seokjin.

"Apa kau sudah melihat berita, Seokjin-ah?"

"B-berita apa?"

"Aku sudah mencoba menelfon Letnan Satu Min puluhan kali tetapi tidak ada jawaban"

Seokjin merasa sekujur tubuhnya lemas saat mendengar ucapan Jimin barusan. Ia sontak berlari meraih remote untuk menyalakan televisi di apartemennya. Seokjin membuka siaran televisi yang menampilkan berita di Korea Selatan pagi hari itu.

"Korea Utara melakukan pengeboman artileri dari Kawasan Kaemori ke Pulau Yeonpyeong pada malam hari tadi pukul 22.50 KST. Dari Incheon tampak asap tebal di langit setelah puluhan artileri jatuh di Pulau Yeonpyeong dan menghancurkan bangunan"

Seokjin seketika itu juga tidak kuat berdiri menompang tubuhnya lagi. Ia jatuh ke lantai menatap kosong ke arah layar televisinya.

"Dilaporkan jika beberapa penduduk sipil mengalami cedera. Tiga prajurit angkatan laut dari marinir Korea Selatan tewas..."

Rewind [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang