Siang ini Jennie sengaja menunggu kepulangan Yura di depan sekolahan. Ia ingin bertemu dan membujuk anak itu untuk kembali tinggal bersamanya. Ia sungguh tidak bisa, hidup tanpa Yura bagaikan meminum racun yang akan membunuhnya secara perlahan. Hanya Yura alasan ia kuat dan bertahan hingga sekarang. Lantas jika kini Yura tidak mau kepadanya, atau bahkan membencinya, apa yang akan ia perbuat selanjutnya? Tidak ada lagi alasan dirinya hidup di dunia. Semua orang yang ia sayang, satu persatu memilih pergi meninggalkannya.
"Yura..." Jennie bergumam lirih saat melihat Yura baru saja keluar dari kelasnya. Tanpa menunggu lama, ia buru-buru berlari dan memeluk anak itu dengan erat.
"Mama sangat rindu kepadamu, Yura. Tolong maafkan mama. Kita tinggal bersama lagi, ya?"
Jennie melepas pelukannya, menangkup wajah Yura dan memberikan kecupan sayang di keningnya.
"Yura mau pulang sama mama, kan?"
Tak ada jawaban darinya. Anak itu hanya diam memandang tanpa sedikit pun memberikan respon kepadanya. Bahkan saat Jennie memeluknya tadi, anak itu hanya diam tanpa niat menyambut pelukan hangat dari dirinya.
"Kenapa hanya diam? Apa kamu tidak enak badan? Iya?" Jennie menyentuh dahi Yura dengan punggung tangannya untuk mengecek suhu tubuhnya. Ia sangat khawatir jika kediaman Yura merupakan efek dari kondisi tubuhnya yang kurang sehat. Tapi ternyata bukan, suhu tubuhnya normal.
"Mama pulang saja." Ucapnya seraya membetulkan posisi tasnya.
"Itu, om tampan sudah datang." Yura melangkah begitu saja meninggalkan Jennie yang masih diam menatapnya.
"Ayo kita pulang." Ji Yong menyambut tangan Yura dan membawanya masuk ke dalam mobilnya.
"Yura!"
Ji Yong hanya melirik tanpa memperdulikan teriakan Jennie yang masih memanggil-manggil nama anaknya. Dalam hati ia merasa bangga karena Yura lebih memilih dirinya dibanding mamanya.
"Bagaimana sekolahmu hari ini, Sayang? Hal baru apa yang guru ajarkan? Apakah kamu merasa senang?" Ji Yong mencoba memulai obrolan, namun Yura masih saja diam. Ji Yong yang penasaran pun menoleh ke arahnya untuk melihat apa yang anak itu sedang lakukan.
"Hiks..." Sebuah isakan terdengar, membuat Ji Yong dengan cepat menepikan mobilnya dan berhenti sejenak.
"Hei, ada apa?" Ji Yong melepas seatbeltnya dan mendekat pada Yura. Ia merangkulnya dan memberikan kata penenang padanya.
"Ada apa? Kenapa kamu menangis?"
Tangisan Yura semakin keras membuat Ji Yong semakin panik karenanya.
"Aku sangat sayang sama mama. Tapi aku juga kesal. Selama ini mama sudah membohongi aku dan juga papa. Mama harus tetap mendapat hukuman, tapi aku malah merindukannya."
Ji Yong mengelus punggung anaknya seraya memberikan kecupan-kecupan ringan di pucuk kepalanya.
"Cup cup, Sayang. Jangan menangis."
"Mama... Kenapa mama tega melakukan ini semua?"
Ji Yong tidak dapat berkata-kata. Ia juga tidak tahu kenapa Jennie harus melakukan ini semua. Ia juga merasa kecewa karena Jennie menutupi kebenaran ini dari dirinya.
"Sudah, jangan menangis lagi. Aku jadi sedih."
Ji Yong melepas rangkulannya dan menatap wajah sang anak yang berlinang air mata.
"Anak papa tidak boleh cengeng. Hm?"
Yura menghapus air matanya dan menatap Ji Yong lamat-lamat.
"Aku sangat menyayangi om tampan. Tapi kenapa terdengar aneh saat mendengar panggilan papa darinya?"