15 - Banyak Alasan

3.9K 369 12
                                    

"Ambil saja kesempatan itu." Saran Mathèo. "Setelah mengobrol sama mama, memang benar, seorang chef bisa juga menjadi penasihat. Temen papa dulu wartawan, setelah pensiun jadi tim pers Kominfo."

Semalam Sophie pulang ke rumah orang tuanya karena sudah dua hari berturut-turut harus pergi ke Elite Hotel atas permintaan Tsumardji. "Iya, maunya begitu. Cuma, Sophie dilema, Pa. Ternyata jadi private chef sibuk banget, semalam masak hampir enam menu selama dua jam, sendirian pula."

Mathèo tertawa. "Nggak ada jalan pintas, Soph. Semua pekerjaan ada tantangannya. Terus apalagi masalah jadi private chef?"

"Cocok-cocokan sama bosnya. Yang sekarang, Sophie kurang suka." Keluh Sophie lagi.

"Kamu itu, dikit-dikit nggak suka, terus pergi." Mathèo sangat hapal kelakuan anak bungsunya. "Kalau yang dulu, papa maklum. Tapi yang sekarang ini, papa harap kamu lebih bijak untuk mengambil keputusan. Nggak baik juga buat CV kamu. Nanti HRD kira kamu sering ribut sama atasan atau rekan kerja karena selalu pindah-pindah."

Sophie mengangguk setuju. Dirinya memang kurang perhitungan dalam mengambil keputusan. Semuanya selalu berdasarkan hawa nafsu sesaat, lalu menyesal kemudian.

"Mungkin trauma itu masih ada di diri kamu." Ucap sang ayah hati-hati.

Sophie mengendurkan bahu. Ia tertunduk lalu, menyeruput teh bercita rasa strawberry kesukaannya.

Ucapan Mathèo benar. Salah satu trigger yang membuat Sophie berhenti bekerja di restoran hotel adalah masa lalunya; bercerai, kehilangan bayi saat sudah due date, juga mantan mertua yang sering melakukan verbal abuse.

Memori masa lalu kembali menghantam luka yang sudah perlahan mengering. Suara-suara yang tidak ingin didengarnya muncul tanpa diminta; bersaut-sautan seolah Sophie adalah sebuah masalah dan pantas untuk selalu dimaki.

Ia menggelengkan kepala pelan, berusaha mengatur napas dan melenyapkan muka-muka yang kerap menyudutkannya tersebut.

"Kalau kamu capek, pulang aja ke sini. Ada yang urusin laundry sama makan kamu." Saran Mathèo memecahkan keheningan. "Kamu masih belum ada ART kan?"

"Belum." Balasnya pendek.

"Pah!" Teriakan Tenard, kakak Sophie terdengar. "Loh, ada Sophie?"

Sophie sendiri terkejut. Biasanya Tenard akan datang di akhir pekan, itu pun dua minggu sekali karena hubungannya dengan Mathèo yang berjarak sejak kakaknya remaja.

Papa memang menginginkan kedua anak lelakinya menjadi seorang Chef. Tekanan di ruang sempit itu sangat tinggi. Oleh karenanya, restoran dan hotel memiliki preferensi gender untuk pekerjaan tersebut. Harapan beliau begitu tinggi, namun tidak ada yang mau mengikuti jejaknya, kecuali Sophie.

Sejak kecil ia sudah akrab dengan urusan dapur; memotong, memasak, memanggang sampai meracik matcha latte, Sophie jagonya. Tapi Mathèo tidak tega jika putri bungsunya harus beradu dengan pria-pria tinggi besar di dapur. Beliau pernah melalui itu dan tidak ingin perempuan yang dikasihinya melakukan pekerjaan yang sama.

"Pokoknya Tenard, kalau kamu nggak berubah, Vio sama anak-anak bisa pergi begitu saja." Ucap Mathèo.

Sophie yang tidak tahu apa-apa lantas menaikan sebelah alisnya. "Lo kenapa sama kak Vio?"

Pierre tidak menjawab, malah Mathèo yang membalas. "Biasa, masalah rumah tangga. Tapi kakak kamu itu yang malah pergi dari rumah."

"Hah?" Sophie tidak menyangka. Pasalnya, Vio sering membagikan momen kemesraan mereka di sosial media.

"Waktu Sophie cerai, papa nggak masalah, karena rumah tangga Sophie sama Pandu sudah ada campur tangan mamanya Pandu. Tapi kalau kamu, Pierre? Dewasa lah sedikit. Sudah tua, anak sudah dua, masih saja main billiard, nongkrong, gimana Vio nggak overthinking?"

Hanya SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang