Bab 6

2.6K 84 0
                                    

Happy reading...

Setelah mengusir Andra dan menyuruh pria itu untuk pergi lebih dulu ke ruangannya, kini Davin sudah berdiri berhadapan dengan Rania di koridor yang sepi. Suasana hening menyelimuti mereka, Davin hanya terdiam, begitu juga dengan Rania yang bingung harus berbicara apa.

Cukup lama mereka berada di situasi seperti ini. Sampai akhirnya, Rania yang jengah pun memberanikan diri untuk membuka suara.

"Mohon maaf, Pak. Jika tidak ada yang mau dibicarakan, saya pamit pergi," ucapnya sopan. Namun Davin langsung menahan tangannya saat ia hendak pergi dari sana.

Rania sontak melihat ke sekelilingnya. Takut ada orang lain yang melihatnya.

"Saya tunggu di ruangan saya. Ada yang mau saya bicarakan," ucap Davin dengan nada dingin. Berbeda dengan kemarin saat pertama kali bertemu dengan Rania.

Rania ragu-ragu sejenak, merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Matanya beralih ke tangan Davin yang masih memegang pergelangan tangannya, dan kemudian kembali menatap wajah pria itu dengan penuh kebingungan.

"M-mau bicara apa, Pak?" tanyanya gugup. Namun Davin hanya terdiam sambil terus memandangi wajahnya.

Rania menunduk, merasa canggung dengan tatapan Davin yang sangat intens.

"Saya bukan istri anda, Pak. Saya Rania, wanita biasa yang hanya bekerja sebagai cleaning service di perusahaan anda." Rania kembali menegaskan lagi. Namun Davin tetap menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan yang sulit dipahami.

"Saya tunggu di ruangan saya," ujar Davin tetap pada pendiriannya. Setelah itu, ia langsung berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Rania yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Rania menghela napas panjang. Kemudian ia meraih kembali alat pelnya dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ia tak langsung pergi ke ruangan Davin, karena ada tugas dari Pak Fadil yang harus segera ia selesaikan.

Sampai di aula lantai dua, Rania mengeluarkan alat pelnya dari dalam ember dan hendak membersihkan aula tersebut. Namun tiba-tiba, si pembully kembali datang dan mengganggu pekerjaannya.

"Kok masih di sini? Bukannya udah dipecat sama Pak Davin?" tanya Sarti dengan nada ketus.

Rania hanya diam, fokus mengerjakan pekerjaannya.

"Dengan kesalahan yang terbilang sangat fatal, harusnya lo udah nggak di sini lagi ya," sahut Maya dengan suara cemprengnya.

"Iya. Pasti lo godain Pak Davin, 'kan? Makanya lo nggak dipecat?" tuduh Sarti.

"Aduh, Pak Davin mana mau sama buntelan kentut. Keteknya aja pasti bau, banyak bulunya, terus selangkangannya item. Ewwh ... lihat luarnya aja Pak Davin nggak bakal tergoda, apalagi lihat dalamnya."

Tak tahan dengan hinaan kedua wanita itu, Rania pun langsung menegakkan tubuhnya dan menatap kedua wanita itu dengan wajah geram.

"Semiskin-miskinnya saya, saya masih bisa menjaga tubuh saya. Lagipula, saya masih bertahan di sini bukan karena menggoda Pak Davin, tapi karena saya jujur kalau saya melakukan itu atas dasar suruhan kalian," ucapnya tegas. Setelah itu, ia langsung berjalan pergi dengan cepat. Meninggalkan kedua wanita itu yang wajahnya mulai menunjukkan kepanikan.

Memang kurang ajar sekali mulutnya. Padahal dilihat dari tampilannya saja, Rania lebih cantik dan menarik daripada mereka, tapi beraninya mereka menghina sebegitunya. Terlihat sekali jika iri dengan kecantikan Rania.

*****

Lupa dengan pekerjaannya, Rania sibuk merenung di tangga darurat yang sangat sepi. Ia bahkan melupakan perintah sang Presdir yang menyuruhnya untuk segera pergi ke ruangannya.

"Rania, kenapa kamu di sini sendirian?" Pertanyaan itu berhasil membuyarkan lamunan Rania. Ia mendongak dan melihat Pak Fadil yang berdiri di depannya dengan wajah heran.

Rania tersenyum. Lalu mengusap pipinya yang basah karena air mata. "Nggak papa, Pak. Tadi mau lanjut bersih-bersih, tapi perut saya tiba-tiba sakit," jawabnya berbohong.

"Oh, istirahat aja kalau sakit. Biar saya yang gantikan tugasnya," ujar Pak Fadil.

Rania menggeleng dengan bibir yang masih tersenyum. "Enggak, Pak. Saya udah nggak papa kok," ucapnya.

"Yang bener?" tanya Pak Fadil memastikan.

"Iya, Pak," jawabnya sambil berdiri dari duduknya.

Bertepatan dengan itu, terdengar suara seseorang yang memanggil Rania dengan lantang. "RANIA!"

Rania dan Pak Fadil refleks menoleh ke samping kanan, di mana terlihat Andra sedang berlari kecil menghampiri mereka.

"Kamu ini kenapa suka sekali memancing emosi Presdir? Presdir menunggumu di ruangannya sejak tadi," omel Andra dengan wajah kesal.

"Oh, astaga. Maaf, saya lupa," ucap Rania dengan wajah panik.

"Cepat ke sana! Baru dua hari kerja, tapi sudah banyak sekali masalahnya," bentak Andra. Sedangkan Pak Fadil hanya bisa menghela napas sambil geleng-geleng kepala.

Tanpa banyak bicara lagi, Rania langsung berlari menuju ruang Davin. Ia menaiki lift dan berhenti di lantai enam. Setibanya di depan ruangan, ia berhenti sejenak untuk merapikan penampilannya, lalu mengetuk pintu dan masuk setelah mendengar suara panggilan dari dalam.

"Permisi, Pak," ucapnya sopan sambil mendekati Davin yang duduk santai di atas sofa.

Davin menutup majalahnya, lalu memandangi Rania yang berdiri di depannya dengan kepala yang tertunduk.

"Duduk," suruhnya.

Rania menurut. Ia segera duduk di sofa kecil di depan Davin dengan kepala yang masih tertunduk.

"Biasanya saya marah kalau ada orang yang tidak tepat waktu. Tapi karena kamu berbeda, jadi saya maklumi," ucapnya lagi.

Tak tahu harus menjawab apa, Rania hanya terdiam sambil memainkan jari jemarinya sendiri untuk menghilangkan rasa gugupnya.

"Siapa nama lengkapmu?" tanya Davin.

Rania mengangkat kepalanya. Lalu menjawab pertanyaan Davin dengan suara sedikit bergetar, "Rania Maharani, Pak," jawabnya.

"Berapa umurmu?"

"24."

Davin terdiam sejenak, lalu kembali bertanya, "Dari mana asalmu?"

"Saya dari Jogja."

"Dari kecil sampai besar tinggal di Jogja?" tanyanya lagi. Sedangkan Rania hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Sudah berapa lama kamu tinggal di Jakarta?"

"Baru satu tahun ini."

"Tinggal sama siapa?"

"Nenek."

"Orang tua?"

"Orang tua saya sudah lama meninggal."

"Punya saudara?"

Rania menggeleng. "Saya anak tunggal," jawabnya.

Davin kembali terdiam. Matanya menatap Rania dengan tatapan yang begitu dalam.

"Saya masih belum bisa percaya. Di mata saya, kamu tetap istri saya yang sudah lama hilang. Entah benar atau tidak, tapi kalau kamu memang benar-benar Hana, saya cuma mau bilang, I miss you more than words can say," ucapnya dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar karena menahan tangis.

Rania terpaku, tak pernah ia bayangkan bahwa seorang pria setegar Davin bisa terlihat begitu rapuh. Ia mencoba menepis perasaan iba yang perlahan-lahan merayap di hatinya. Namun, melihat Davin yang menunduk dengan punggung yang bergetar, Rania tak tega melihatnya.

"Pak ..." Rania menjeda ucapannya. Ia menarik napas panjang sebelum kembali berbicara. "Jika Bapak mau, Bapak bisa memeluk saya untuk mengobati rasa rindu Bapak pada istri Bapak," ucapnya dengan satu tarikan napas.

Davin mendongak, menatap Rania dengan mata yang memerah dan penuh air mata.

My Crazy PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang