Bab 16

1.7K 48 0
                                    

Setelah menghabiskan kopinya, Rania mendengarkan cerita Airin dengan penuh perhatian.

"Kisah cinta Davin dan Hana itu menurut saya lebih rumit dari kisah Romeo dan Juliet," ujar Airin, sambil membayangkan kembali setiap momen yang pernah dilihatnya antara mereka.

"Hubungan mereka tidak pernah direstui orang tua Davin, karena Hana berasal dari keluarga menengah ke bawah, sedangkan Davin berasal dari keluarga berada. Perbedaan status sosial itu yang menjadi tembok besar di antara mereka." Airin menjeda ucapannya, ia meminum kopinya terlebih dahulu sebelum kembali bercerita.

"Mereka sempat putus, karena ada perselisihan antara Hana dengan Winda. Winda ini teman SMA Hana, dia juga sudah menyukai Davin sejak sekolah. Bedanya, dia ini punya Privilege karena papanya berteman dengan Papa Davin. Jadi, orang tua Davin lebih menyukai Winda daripada Hana. Nah, selain itu, Hana juga sudah muak karena setiap hari dihina dan diancam oleh Mama Davin. Bahkan beberapa kali dia pernah celaka karena ulah Mama Davin dan juga Winda. Setelah putus, Hana sempat pindah ke Bali untuk menghindari Davin. Tapi karena Davinnya yang terlalu cinta, jadi dia ikut nyusul ke sana. Bisa dibilang, Davin memang mabuk cinta waktu itu. Dia sampai rela bertengkar dengan orang tuanya demi bisa kembali pada Hana. Tetapi karena waktu itu Hana memang benar-benar berniat melupakan Davin, jadi dia tidak memberi sedikitpun akses pada Davin untuk menemuinya. Sampai akhirnya, suatu malam, Davin mengalami kecelakaan di Bali setelah mengejar Rania yang baru saja pulang dari kerja. Keadaannya cukup parah waktu itu dan butuh biaya banyak untuk operasi, tapi karena posisinya dia sedang bertengkar dengan orang tuanya, jadi orang tuanya tidak mau bertanggung jawab. Apesnya, uang di rekening Davin juga tidak cukup untuk biaya pengobatannya. Akhirnya, Hana rela menjual semua perhiasannya, handphonenya dan barang-barang berharganya untuk biaya pengobatan Davin. Karena Hana juga masih cinta, jadi dialah yang merawat dan membiayai Davin sampai sembuh. Setelah sembuh, mereka kabur ke luar negeri bersama. Tapi suatu ketika, perusahaan Kakek Davin ini mengalami masalah, dan tidak ada satupun orang yang bisa menangani masalah itu selain Davin. Akhirnya dia dipaksa untuk pulang, dan Davin mau, tapi dengan syarat, orang tuanya harus merestui hubungannya dengan Hana. Setelah melewati drama yang cukup panjang, akhirnya mereka berdua ini menikah. Karena orang tua Davin memang belum ikhlas, jadi masalah terus datang bergantian. Konflik antara Hana dan Mama Davin semakin besar. Bahkan sampai Davin dan Hana punya anak pun, Mama Davin tidak berhenti mengganggu Hana. Sampai akhirnya, Ibu Hana yang tidak terima anaknya terus-terusan diinjak, mencoba untuk membela Hana, tetapi malah terjadi pertengkaran besar. Posisi Davin sedang tidak di rumah, karena saat itu ada pekerjaan di luar kota, jadi dia tidak tahu ada pertengkaran besar di rumahnya. Begitu dia kembali, dia sudah kehilangan istrinya."

Rania begitu serius mendengar cerita panjang Airin. Entah kenapa, ia merasa tersentuh sekaligus emosional mendengarnya.

"Jadi, Hana pergi dari rumah lagi?" tanya Rania.

Airin meneguk kopinya terlebih dahulu, lalu baru menjawab pertanyaan Rania, "Bukan pergi, lebih tepatnya diusir Mama Davin sekaligus diambil paksa keluarganya."

"Lalu, Pak Davin tidak mencari Hana?" tanyanya lagi.

"Sampai detik ini pun, Davin masih mencari Hana. Setiap hari dia selalu menyempatkan diri berkeliling di jalan, berharap bisa menemukan jejak atau tanda-tanda keberadaan Hana. Dia bahkan sudah mengirim beberapa orang untuk mencarinya di luar kota, tapi hasilnya selalu nihil."

Rania terdiam, merasa takjub sekaligus terharu dengan perjuangan Davin yang begitu besar.

"Berarti, Hana meninggalkan anaknya waktu masih kecil?" tanyanya lagi.

"Bukan masih kecil, tapi masih bayi, Ran. Umurnya baru dua minggu waktu itu, tapi sudah ditinggal pergi mamanya."

"Astaga... kenapa ditinggal? Kenapa tidak dibawa saja?" tanya Rania.

"Karena tidak diperbolehkan sama Mama Davin. Setelah didorong keluar dari rumah, pintu langsung dikunci. Hana sudah berteriak-teriak dan menggedor pintu, tapi dia ditarik paksa oleh keluarganya dan dimasukkan ke dalam mobil."

"Ya Tuhan..." lirih Rania, merasa sedih mendengarnya. "Tapi waktu itu Axel bilang ke saya kalau mamanya sudah meninggal," ucapnya kemudian.

"Info terakhir yang kita dapat memang sudah meninggal, tapi kita tidak percaya karena belum ada bukti jasad dan makamnya," jelas Airin.

"Oh, begitu. Kakak ini saksi hidup mereka?" tanyanya lagi.

Airin mengangguk sambil tersenyum tipis. "Saya kenal Davin sejak kecil. Ibu saya bekerja sebagai pembantu di rumah neneknya, dan Davin mempercayai saya untuk membantu Hana merawat anak mereka," jelasnya.

Rania mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Oh...."

"Begitu ceritanya. Makanya setelah ini, kamu jangan kaget kalau Davin semakin menggila. Dia itu tidak bisa hidup tanpa Hana. Jadi begitu menemukan wanita yang mirip dengan Hana, dia tidak bisa mengontrol sikap dan emosinya," ujar Airin.

Rania menghela napas. "Saya tidak nyaman, Kak, jujur. Karena saya merasa, saya ini bukan Hana. Semakin lama, tindakan Pak Davin semakin di luar batas. Saya sampai risih dan pengen marah," ucapnya.

Airin terkekeh. Kemudian Rania meneruskan ucapannya, "Saya sampai menganggap dia itu orang gila. Kadang waras, kadang kumat. Kalau waras, saya ini dianggap Rania. Tapi kalau kumat, saya ini dianggap istrinya. Saya pusing, Kak. Saya sampai tidak bisa tidur semalaman."

Airin tertawa kecil. Sama sekali tidak marah, meskipun bosnya dibilang gila. Coba saja kalau yang bicara orang lain, mungkin sudah ia patahkan tulang selangkanya.

"Saya awalnya juga tidak percaya waktu pertama kali Davin bercerita. Tapi setelah melihat sendiri, saya langsung yakin kalau kamu memang benar-benar Hana. Kenapa saya bilang begitu? Karena dari fisik kamu, tingkah laku kamu, suara kamu, semuanya persis seperti Hana."

Rania menghela napas kasar. "Logika saja, Kak. Kalau saya memang Hana, mana mungkin saya pura-pura lupa dengan kalian, terutama dengan anak saya sendiri. Bukankah itu sangat tidak masuk akal? Kalau Kakak masih tidak percaya, Kakak bisa cek sendiri kartu keluarga yang saya serahkan ke HRD perusahaan. Di sana tertulis jelas kalau nama saya Rania, saya lahir dan besar di Jogja. Ijazah juga sudah membuktikan kalau saya hanya lulusan SMP. Saya tidak pernah bersekolah sampai jenjang SMA," cerocosnya menggebu-gebu. Ekspresinya menjelaskan jika ia sudah benar-benar muak dengan drama ini.

Airin tersenyum lembut, ia menegakkan tubuhnya dan memandang Rania dengan tatapan yang begitu dalam. "Kalau begitu, bolehkah saya menemui keluargamu?" tanyanya.

Rania terdiam sesaat. Kemudian ia mengangguk dengan mantap, "Tentu saja. Kenapa tidak?" balasnya menantang. Membuat Airin langsung tersenyum puas mendengarnya.

"Baiklah. Nanti malam, bawa saya bertemu dengan keluargamu, Rania," ujar Airin dengan tenang.

My Crazy PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang