Bab 7

2.5K 78 0
                                    

Davin mendongak, menatap Rania dengan mata yang memerah dan penuh air mata. Kemudian ia kembali menunduk sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, pergilah. Saya butuh waktu untuk sendiri," ucapnya.

Rania menghela napas panjang. Kemudian ia lantas berpamitan pergi untuk memberi Davin ruang agar bisa menenangkan diri.

Akan tetapi, saat Rania berbalik dan hendak berjalan meninggalkan Davin, tiba-tiba ia merasakan sepasang tangan melingkari tubuhnya, memeluknya erat dari belakang.

Jantung Rania berdegup kencang. Meskipun ia sudah tahu siapa yang memeluknya, ia tetap menoleh ke belakang untuk melihat wajahnya.

"Sebentar saja," ujar Davin dengan suara lirihnya.

Rania menggigit bibirnya. Berusaha menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya. Ia merasa canggung berada dalam posisi seperti ini, apalagi dengan presdirnya sendiri.

"Maaf kalau saya bau. Saya habis bersih-bersih tadi," ucap Rania.

Davin menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Rania, meresapi aroma harum yang samar-samar tercium dari leher wanita itu.

"Setelah ini, jangan libatkan saya lagi dengan masalah pribadi anda ya, Pak. Saya ingin bekerja dengan tenang, tanpa berurusan dengan atasan saya lagi, karena itu sangat berisiko bagi saya."

"Saya nggak janji. Kemungkinan saya akan terus mengganggu kamu sampai terbukti kalau kamu bukan istri saya," balas Davin, membuat Rania langsung menghela napasnya lelah.

"Saya dan istri Anda itu orang yang berbeda, Pak. Tolong jangan membuat saya terus berada dalam situasi yang membingungkan. Saya tidak pantas bersanding dengan Anda."

"Terserah apa katamu. Yang jelas, saya masih yakin kalau kamu itu istri saya, meski sampai saat ini belum ada buktinya."

Rania menghela napas panjang. Bingung harus berkata apalagi. Davin tetap teguh pada pendiriannya dan itu membuatnya semakin frustasi.

Setelah cukup lama berada di posisi itu, Davin akhirnya melepas pelukannya.

Rania berbalik, menatap Davin yang sedang menunduk sambil mengusap air matanya yang masih tersisa.

"Seumur hidup, saya belum pernah melihat laki-laki menangis hanya karena seorang wanita. Apa Bapak sangat mencintai istri Bapak?" tanya Rania.

Davin tersenyum tipis, lalu mendongak untuk menahan air matanya yang kembali turun.

"Kalau kamu memang Hana, kamu pasti tahu alasan saya bisa seperti ini," ucapnya.

Rania menghembuskan napasnya kasar. Benar-benar lelah. Entah harus menjelaskan dengan cara apalagi jika ia dan Hana itu orang yang berbeda.

"Pergilah. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri," usirnya kemudian.

Rania mengangguk pelan. Kemudian ia berbalik dan meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk.

Di luar ruangan, Rania berhenti sejenak, menyandarkan punggungnya pada dinding dan menghela napas dalam-dalam.

"Kenapa jadi begini?" gumamnya frustrasi sambil mengusap rambutnya dengan kasar.

*****

Hingga jam 12 siang, Davin masih merenung di ruangannya. Semua pekerjaan ia tinggalkan, bahkan meeting yang sudah direncanakan terpaksa ia batalkan karena pikirannya sedang kacau saat ini.

"Selamat siang, Papa ..."

Lamunan Davin seketika terbuyar begitu mendengar suara malaikat kecilnya yang baru saja memasuki ruangan bersama pengasuhnya.

My Crazy PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang