Bab 4

3K 103 1
                                    

Lift berhenti di lantai enam. Andra dan Rania berjalan segera menuju ruang Presdir. Pintu besar yang megah itu kini tampak seperti gerbang menuju hukuman yang mengerikan bagi Rania. Andra mengetuk pintu dengan pelan, lalu membukanya.

Di balik meja kerja besar itu, seorang pria berdiri dengan punggung menghadap ke arah mereka, dan wajah yang memandang keluar jendela. Siluetnya tampak tenang, tapi ada aura dingin dan misterius yang terpancar darinya.

"Permisi, Pak," kata Andra dengan sopan. "Saya sudah membawa orang yang lancang menyiram tanaman anda," lanjutnya memberi laporan.

Pria itu tidak segera merespons. Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu, membuat Rania semakin gelisah.

"Biarkan saya mengurusnya sendiri."

Andra mengangguk paham. Perintah dingin itu merupakan isyarat yang menyuruhnya untuk segera keluar dari ruangan.

Kini, hanya ada Rania dan sosok Presdir misterius itu di tengah ruangan megah yang terasa sangat mencekam.

Pria itu masih membelakangi Rania, menatap keluar jendela dengan sikap yang tak terbaca.

Setelah beberapa saat, pria itu akhirnya berbicara dengan suara rendah. "Berapa lama kamu bekerja di perusahaan ini?"

Rania menelan ludah, jantungnya semakin berdegup kencang. "B-baru hari ini, Pak," jawabnya gugup.

"Bagus sekali. Baru kerja hari ini, tapi sudah berani bersikap lancang."

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya menjalankan perintah dari senior saya."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Rania menunduk, memainkan jari-jemarinya sendiri untuk menghilangkan rasa gugupnya.

Hingga beberapa detik kemudian, pria itu berbalik dengan gerakan tenang namun penuh wibawa. Sejenak Rania terpukau melihat wajahnya. Meski ekspresinya datar dan tatapannya sangat dingin, namun pria itu tampak sangat indah di matanya. Wajahnya tampan, matanya indah, alisnya tebal, rahangnya tegas dan hidungnya mancung sempurna.

Saking fokusnya memandangi wajah pria itu, Rania sampai tidak sadar jika pria itu tengah berjalan menghampirinya dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan. Pria itu terlihat seperti terkejut sekaligus tidak menyangka, bahkan matanya berkaca-kaca saat bertatapan dengan mata Rania.

"Hana," gumamnya lirih saat berhenti di depan Rania.

Rania mengerutkan keningnya bingung. Ia tidak mengerti mengapa pria ini memanggilnya dengan nama yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.

"Hana," ulang pria itu, kali ini suaranya terasa sangat berat, seperti menahan tangis yang ingin keluar.

Dengan tangan yang bergetar, pria itu mencoba meraih wajah Rania. Namun Rania langsung mundur ke belakang karena kebingungan sekaligus ketakutan.

Satu tetes air mata jatuh dari mata pria itu, raut wajahnya terlihat sangat emosional, membuat Rania semakin bingung melihatnya.

"Hana ... kamu kembali lagi, Sayang?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

"S-saya bukan Hana. Saya Rania," jawab Rania sambil mundur selangkah lagi saat pria itu kembali mendekatinya.

Pria itu menggeleng pelan, lalu dengan gerakan cepat, ia menarik Rania ke dalam pelukannya dan memeluknya dengan erat seolah Rania adalah perempuan yang telah lama ia rindukan.

Rania terkejut dan berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat.

"A-apa yang anda lakukan?" tanya Rania dengan suara gemetar.

Pria itu tidak menjawab. Hanya terdengar suara isakan kecil yang berhasil membuat Rania semakin kebingungan.

"Pak ... saya bukan Hana. Saya Rania, petugas kebersihan di kantor anda." Rania mencoba untuk menyadarkan pria itu, namun yang ia dapat malah sebuah pelukan yang semakin kuat dan isakan tangis yang semakin terdengar.

"Terima kasih sudah kembali, Hana. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi. Aku sangat merindukanmu."

Rania menghela napas panjang. Situasi ini sangat membingungkan baginya. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Mau marah, tapi takut. Mau menolak, juga tidak tega. Akhirnya ia hanya bisa terdiam pasrah, membiarkan pria itu menangis di pelukannya.

Setelah beberapa saat, pria itu akhirnya mereda. Ia melepas pelukannya, lalu menatap Rania dengan mata sembabnya.

"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Nama saya Rania, bukan Hana. Saya juga mohon maaf atas sikap lancang saya yang sudah menyiram tanaman anda. Jika Anda memutuskan untuk memecat saya, saya akan menerimanya dengan lapang dada," ucap Rania.

"Kamu bicara apa? Kamu itu istriku, Hana. Tidak ada kata pecat dalam hidup kamu. Jabatanmu sekarang adalah istri Presdir, bukan petugas kebersihan lagi," tegas pria itu.

Rania menghela napas panjang. Kepalanya semakin pusing mendengar ucapan pria itu yang semakin lama semakin ngelantur.

"Pak, saya tegaskan sekali lagi, ya. Nama saya Rania, saya petugas kebersihan yang baru bekerja di kantor ini. Mungkin wajah saya mirip dengan orang yang anda kenal, tapi percayalah, saya tidak pernah mengenal anda sebelumnya, apalagi menikah dengan anda."

Pria itu menggeleng. "Tidak. Aku yakin, kamu itu Hana. Kamu hanya berpura-pura tidak mengenalku, 'kan?" tanyanya dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Rania menghembuskan napasnya kasar. Benar-benar lelah menghadapi kesalahpahaman ini. "Untuk apa saya berbohong, Pak? Saya tidak pernah mengenal anda sebelumnya," ucapnya tegas.

Pria itu menatap Rania tajam, mulai geram dengan sangkalan yang dilontarkannya.

"Berhenti berpura-pura, Hana. Aku yakin, kamu masih ingat semuanya."

"Demi Tuhan, saya tidak mengenal anda, Pak. Saya benar-benar tidak tahu siapa anda dan apa hubungan anda dengan saya. Tolong, jangan membuat saya bingung. Saya di sini hanya untuk bekerja, jadi jangan melibatkan saya dalam masalah pribadi anda," ujar Rania dengan wajah frustasi.

Pria itu terdiam sejenak. Menatap Rania dengan tatapan yang begitu dalam. Kemudian kembali berkata dengan tegas. "Aku suamimu, Hana. Davin Askara. Kita pernah menikah, tapi kamu menghilang setelah melahirkan anak kita."

Rania memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

"Nggak mungkin. Itu sangat mustahil," gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.

"Aku memberimu kesempatan untuk kembali lagi, Hana. Kamu harus menebus semua waktu yang sudah kamu sia-siakan selama ini. Kembalilah padaku, Putra kita sudah besar dan sangat butuh sosok Ibu di hidupnya."

Rania menghela napas lelah. Semakin lama, ia semakin muak. Masalahnya, tidak ada satupun ucapan pria itu yang bisa ia mengerti. Semuanya terdengar sangat tidak masuk akal.

"Hentikan drama ini, Pak. Saya benar-benar tidak mengerti," ucapnya frustasi. "Saya baru pindah ke ibu kota satu tahun yang lalu. Sebelumnya, saya hanya gadis desa yang sangat jauh dari kehidupan modern. Bagaimana mungkin saya mengenal orang sebesar anda, apalagi menikah dan melahirkan anak anda? Itu sangat tidak masuk akal, Pak. Anda salah orang. Saya hanya kebetulan mirip dengan istri Anda."

Pria itu menggeleng dengan tatapan nanar. "Jangan membuatku gila, Hana. Enam tahun aku mencarimu dan menunggumu kembali, tapi sekarang kamu malah bersikap seperti ini. Sudah cukup, Hana. Aku sudah cukup tersiksa selama enam tahun ini. Mana janji yang pernah kamu buat? Kamu bilang akan selalu bersamaku, apapun yang terjadi," ucapnya sambil menggenggam kedua tangan Rania.

Merasa perlu mengambil langkah tegas, Rania melepaskan genggaman tangan pria itu dengan pelan. "Maaf, Pak. Sepertinya anda sedang berhalusinasi. Tenangkan diri anda. Saya permisi." Setelah mengatakan itu, Rania langsung beranjak pergi dari ruangan. Membuat pria itu hanya bisa berdiri mematung, tatapannya kosong mengikuti kepergian Rania.

My Crazy PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang