Bab 12

1.8K 64 0
                                    

Davin menatap tajam ke arah ibunya, napasnya berat menahan amarah. "Jangan pernah berharap aku datang ke acara keluarga. Sejak aku mengangkat kaki dari rumah, sejak itu pula aku memutuskan untuk menjauh dari kalian semua."

Mila membalas tatapan tajam Davin. Ia juga meradang melihat sikap anaknya. "Kamu jangan semena-mena ya, mentang-mentang udah punya jabatan tinggi. Ingat, kamu bisa seperti ini juga karena orang tua. Tanpa Mama dan papamu, kamu nggak bakal bisa jadi Presiden Direktur di perusahaan sebesar itu!"

"SIAPA YANG MAU JADI DIREKTUR DI PERUSAHAAN ITU? DARI AWAL AKU UDAH BILANG, 'KAN? AKU NGGAK MAU NGURUS PERUSAHAAN! AKU MAU KEMBANGIN USAHAKU SENDIRI. KENAPA KALIAN MAKSA? DAN UJUNG-UJUNGNYA MALAH BILANG SEPERTI INI. ASAL MAMA TAHU YA, KALAU BUKAN KARENA PAPA YANG MEMOHON-MOHON SAMPAI MAU SUJUD, AKU NGGAK SUDI NGURUS PERUSAHAAN ITU! HARUSNYA MAMA BERTERIMA KASIH, BERKAT AKU, PERUSAHAAN NGGAK JADI BANGKRUT DAN KALIAN MASIH BISA HIDUP ENAK!" sergah Davin dengan suara tinggi dan penuh emosi. Axel yang mendengarkan dari balik pintu kamarnya sampai ketakutan.

"Enam tahun Mama mencoba mengalah dari kamu. Memahami sifat keras kamu. Tapi makin ke sini, kamu makin kurang ajar. Hanya gara-gara wanita miskin itu, kamu rela diamin Mama kamu sampai bertahun-tahun." Belum selesai dengan perdebatan tadi, Mila malah membawa permasalahan lain, dan itu berhasil membuat Davin semakin naik darah.

Rahang Davin mengeras. Matanya penuh dengan kilatan emosi. Ia bisa menerima jika ibunya mengolok-olok dirinya, tetapi ia akan marah jika ibunya mengolok-olok istri yang sangat dicintainya.

"Jaga mulut Mama. Aku seperti ini juga gara-gara Mama," desis Davin dengan tajam, tatapannya penuh dengan kemarahan yang tertahan.

Mila mendengus kesal. Kemudian ia berdiri dari kursinya, lalu berkata dengan nada dingin, "Ayo, Win, kita pulang aja."

Davin hanya terdiam. Membiarkan kedua wanita itu pergi dari rumahnya. Kemudian setelah mereka tak terlihat lagi, ia kembali duduk di kursinya sambil menghembuskan napasnya kasar.

Davin mungkin bisa memaafkan kesalahan ibunya enam tahun yang lalu, tapi untuk kembali menjalin hubungan harmonis seperti dulu, ia tidak bisa. Lukanya terlalu dalam untuk disembuhkan.

*****

Setelah perseteruan singkat dengan sang Ibu tadi, Davin berangkat ke kantor dengan suasana hati yang sangat buruk. Airin hari ini tidak bisa menjaga Axel, karena sedang tidak enak badan. Jadi, Davin terpaksa mengambil alih tugasnya dengan mengantar Axel ke sekolah hingga masuk ke dalam kelasnya dan bertemu dengan gurunya.

"Selamat pagi, Miss," sapa Davin sambil tersenyum tipis.

"Selamat pagi juga, Pak Davin," balas wanita itu sambil tersenyum manis.

"Titip Axel ya, Miss. Hari ini pengasuhnya tidak bisa mengantar ke sekolah," ujar Davin.

Wanita itu mengangguk. Senyuman manis masih terukir di wajahnya. "Axel sekarang sudah pintar kok, Pak. Sudah mulai aktif anaknya," ucapnya.

"Syukurlah kalau begitu," balas Davin.

"Oh, iya. Kemarin saya dengar Axel bicara ke temannya kalau mamanya sudah kembali. Apa itu benar?"

Davin terkejut. Mendadak bingung menjawab apa. Wanita itu tampak menunggu jawaban darinya dengan penuh perhatian. Setelah beberapa detik yang terasa canggung, Davin akhirnya berkata, "Ah, mungkin itu cara Axel biar tidak diganggu temannya lagi."

Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh... begitu. Saya kira memang sudah kembali," ucapnya.

Davin tersenyum tipis. "Baiklah, saya pergi dulu ya, Miss. Tolong jaga Axel," pamitnya sambil berbalik hendak pergi.

"Eh, sebentar, Pak." Wanita itu buru-buru menghentikan langkah Davin, membuatnya berbalik dengan alis terangkat.

"Emh... saya boleh minta nomor ponselnya?" lanjut wanita itu dengan sedikit gugup. "Nanti kalau ada apa-apa atau kalau Axel sudah selesai sekolah, saya bisa langsung menghubungi Pak Davin."

Davin sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Boleh," jawabnya dengan wajah datar sambil menyerahkan kartu namanya.

Wanita itu menerima kartu tersebut dengan senyuman lebar di wajahnya. "Terima kasih, Pak Davin. Jangan khawatir, Axel di sini aman sama saya."

Davin mengangguk singkat, lalu melangkah keluar dari sekolah dengan langkah cepat. Sebelum jam delapan, ia harus sudah sampai di kantor, karena akan ada kunjungan dari salah satu mitra kerjanya.

*****

Sementara itu di sisi lain, Rania sedang membantu neneknya berjualan di warung saat ini. ia sudah meminta izin kepada Pak Fadil untuk tidak masuk kerja dengan alasan sakit, padahal tubuhnya sebenarnya sehat-sehat saja.

"Mbok, cucunya kok cantik sekali. Boleh buat saya aja nggak?" Seorang pelanggan laki-laki yang berpenampilan seperti preman berkata sambil menatap Rania yang sedang sibuk melayani pelanggan lain.

Kinarsih tertawa kecil. Sedangkan Rania pura-pura tak mendengarnya.

"Nggak boleh. Cucu saya itu takut sama laki-laki yang dandanannya kayak preman," gurau Kinarsih.

"Oh, gitu. Yaudah, besok saya makan di sini pakai sarung sama Peci," ujar pria itu membalas gurauan Kinarsih. Membuat semua orang yang makan di warung itu langsung tertawa mendengarnya.

"Mau lo pakai jubah sama sorban pun, cucunya Mbok Asih tetap takut. Soalnya muka lo udah muka-muka preman," ledek temannya, membuat pria itu langsung mencibir kesal.

"Iya. Mbok Asih lihat tatomu aja takut," sahut Kinarsih.

"Saya ini muka doang yang kayak preman. Tapi aslinya lemah lembut kok, Mbok," kilahnya.

"Nek, aku pulang dulu, ya. Di rumah masih ada pakaian yang belum aku jemur." Rania yang mulai tidak nyaman lantas berpamitan pada sang Nenek. Meski sering kali digoda oleh para lelaki buaya, namun baru kali ini Rania menunjukkan rasa ketidaknyamanannya, biasanya ia selalu cuek dan pura-pura tidak peduli. Mungkin karena suasana hatinya juga sedang buruk saat ini.

"Iya. Sekalian masak nasi, ya. Ini kayaknya udah mau habis," balas Kinarsih.

Rania mengangguk. Setelah berpamitan, ia melangkah keluar dari warung lewat pintu belakang.

Niatnya untuk pulang ke rumah mendadak ia urungkan. Ia lebih tertarik untuk pergi ke taman yang lokasinya tak jauh dari sini.

Sesampainya di sana, Rania duduk di salah satu bangku panjang. Taman ini biasanya menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yang ingin menenangkan diri. Oleh karena itu, suasananya terasa sangat sepi, hanya ada Rania dan satu orang yang duduk di tepi danau.

Rania memandang ke arah danau yang airnya tenang. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap udara segar bisa sedikit meredakan kegelisahannya. Namun, pikirannya terus melayang pada kejadian saat di Mal kemarin.

Tiba-tiba, orang yang duduk di tepi danau itu bangkit dan mulai berjalan ke arah Rania dengan senyuman yang lebar di wajah tuanya.

Rania terkejut saat pria tua itu duduk di sebelahnya. Apalagi saat pria itu tiba-tiba berkata, "Terima kasih sudah kembali. Bunga yang sudah layu akan segera mekar kembali."

My Crazy PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang