Bab 21 (21+)

2.8K 74 3
                                    

Yang masih di bawah umur bisa di skip ⚠️

Pukul sebelas malam, Rania tiba di rumah Davin. Ia yang khawatir dengan keadaan Axel lantas berjalan cepat menuju pintu setelah gerbangnya dibukakan oleh satpam yang berjaga.

Tok tok tok....

Rania mengetuk pintunya. Ia menunggu dengan gelisah. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Davin dan Rania dipersilahkan untuk segera masuk.

"Di mana Axel?" tanya Rania.

Sebelum menjawab pertanyaan Rania, Davin mengunci pintunya lebih dulu. Setelah itu, ia mengarahkan Rania untuk duduk di sofa.

"Axel di mana, Pak?" Rania kembali bertanya, namun Davin tetap terdiam dan malah berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman dari dalam kulkas.

Setelah beberapa detik, Davin kembali ke ruang tamu sambil membawa dua gelas minuman, lalu menyerahkan satu gelasnya kepada Rania.

Wajah Rania mulai berubah menjadi cemberut. Ia kesal, karena sedari tadi pertanyaannya diabaikan oleh Davin. Padahal, pria itu sendiri yang menyuruhnya datang ke sini.

"Anda bohong, ya? Axel baik-baik saja, kan?" tanyanya.

Davin masih mengabaikan Rania. Ia memutar televisinya sambil meneguk minumannya dengan santai.

Rania yang kesal lantas berdiri dari duduknya dan hendak berjalan pergi. Namun, Davin langsung menarik tangannya dengan kencang, hingga membuatnya langsung terjatuh di pangkuan pria itu.

Rania terkejut. Jantungnya berdebar-debar. Sejenak ia membeku saat matanya bertatapan dengan mata Davin dalam jarak yang sangat dekat.

"Aku merindukanmu, Hana," ujar Davin dengan suara berbisik. Tatapannya begitu dalam, seolah ingin menyampaikan semua perasaannya yang terpendam.

Rania terdiam. Ia yang tadinya ingin marah, seketika langsung ia urungkan karena tidak tega melihat wajah pilu Davin.

Rania mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata Davin yang jatuh ke pipinya. Melihatnya dalam keadaan seperti ini, ia merasa kasihan sekaligus sedih.

"Menangislah jika itu membuat anda lega," ujar Rania.

Detik itu juga, Davin langsung menjatuhkan kepalanya di pundak Rania dan menumpahkan tangisannya di sana.

Rania menghela napas, tangannya terulur untuk mengusap kepala Davin dengan lembut.

Sedikit demi sedikit, ia sudah mulai terbiasa dengan sikap Davin yang kadang di luar batas.

"Please... comeback, Hana. Comeback..." bisiknya dengan suara bergetar.

Rania membiarkannya. Ia tak akan menjelaskan lagi, karena percuma. Di mata Davin, dirinya ini tetaplah Hana, meskipun terkadang juga sadar dan menganggapnya sebagai Rania.

Setelah puas menangis dipelukan Rania, Davin perlahan mengangkat wajahnya.

Tatapan mereka bertemu, dan Davin bisa merasakan detak jantung Rania yang begitu cepat.

Tanpa berpikir panjang, Davin meraih wajah Rania dan menariknya mendekat. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman lembut yang penuh rasa rindu.

Rania tak menolak. Ia merespons dengan penuh gairah. Tangannya melingkari pinggang Davin, dan menariknya lebih dekat. Mereka berpelukan mesra, seolah dunia ini hanya milik berdua.

"Emh, Pak..." desah Rania saat bibir Davin mulai menjelajahi lehernya.

Kedua tangan Davin juga tak tinggal diam. Tangan kanannya mulai meraba buah dada Rania, sementara tangan kirinya mengelus lembut punggung Rania.

"Aahh... jangan digigit," desah Rania lagi.

Mereka terlalu larut dalam momen panas itu, sampai tidak menyadari jika ada Axel yang sedang melihatnya dari kejauhan sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan mungilnya.

*****

Kegiatan panas itu berlanjut hingga ke kamar Davin. Rania yang sudah terbuai oleh sentuhan Davin, membiarkan pria itu menjelajahi tubuhnya lebih jauh. Hingga kini, badannya sudah tidak tertutupi oleh satupun kain.

"Aku sudah tidak tahan lagi, Hana. Biarkan aku melakukannya," ucap Davin dengan suara serak, napasnya terdengar berat.

Rania menatap mata Davin yang sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Dengan lembut, ia mengusap pipi Davin, lalu mengangguk pelan sebagai jawaban atas permintaannya.

Akal sehat Rania sudah lenyap, tersapu oleh hasrat yang tak terbendung. Ia pasrah di bawah kungkungan Davin. Malam ini, seluruh tubuhnya ia serahkan sepenuhnya pada Davin, karena sudah terlanjur tenggelam dalam permainan berbahaya ini.

"Lakukan pelan-pelan," bisik Rania.

Rania kasihan pada Davin. Dan ia berpikir, mungkin salah satu cara untuk membantu pria itu melampiaskan rasa rindunya pada sang istri.

"Ahh, Pak... geli." Rania cukup terkejut saat tangan Davin membelai paha dalamnya dengan lembut. Ia merasa seperti tersetrum, apalagi saat pria itu menyusupkan jari tengahnya ke dalam liang kewanitaannya.

"Emh... ahh... pelan-pelan, Pak."

"Panggil aku Davin, Sayang," bisik Davin dengan suara seductive.

"Ahh... Davin."

"Iya, Sayang?"

Rania benar-benar menggila. Ia mendesah tidak karuan di bawah permainan Davin. Gerakan jarinya yang semakin cepat membuat Rania merasakan gelombang gairah yang tak tertahankan mengalir dalam dirinya.

"Ahh, Davin... berhenti. A-aku tidak kuat," ucap Rania dengan napas tersengal-sengal.

Davin menatapnya dengan penuh perhatian. Ia tahu apa yang sedang dirasakan oleh Rania saat ini.

"Keluarkan, Sayang," ucapnya lembut namun tegas, membangkitkan semangat liar di dalam diri Rania.

"Aaahhh..." Desahan Rania begitu panjang mengiringi gelombang kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar, seolah tak mampu menahan aliran sensasi yang membanjiri setiap sarafnya.

Ia memberi waktu pada wanita itu untuk merasakan kenikmatan yang sedang mengalir sebelum melanjutkan ke babak berikutnya.

Beberapa detik kemudian, Rania membuka matanya dan menatap Davin dengan napas yang masih terengah-engah.

"Apa kamu sudah siap, Sayang?" tanya Davin dengan lembut, suara baritonnya menggoda di telinga Rania.

Rania mengangguk. Apapun keputusannya sekarang, semoga suatu saat ia tidak menyesalinya.

Davin mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. Ia mengangkat dagu Rania dengan lembut, mempertemukan mata mereka dalam momen yang penuh ketegangan ini.

"Aku sudah lama tidak melakukan ini. Jadi maaf kalau terlalu kasar," ujar Davin, sebelum akhirnya menyambar bibir Rania dan menciumnya dengan penuh hasrat.

Karena sudah tak tahan lagi, Davin akhirnya menuntun kejantanannya untuk masuk ke dalam kewanitaan Rania dengan lembut. Meski sudah lama tak melakukannya, Davin sebisa mungkin mengontrol gairahnya agar permainan mereka tetap lembut dan tidak terlalu kasar.

"Aahh..." Rania mendesah nikmat. Matanya terpejam, menikmati hujaman Davin yang semakin lama terasa semakin kasar. Kakinya melingkar di pinggang Davin, sementara tangannya mencengkeram rambut pria itu dengan kuat.

"Aahh, Hana Sayang..." Davin mendesah berat sambil meremas kedua payudara Rania secara bergantian. Sementara itu, Rania yang sudah kehilangan akal sehatnya lantas menarik wajah Davin dan memintanya untuk mengulum payudaranya.

"Ahh, Davin... ini sangat nikmat."

Davin semakin mempercepat gerakannya. Setiap hujaman kasar darinya membuat Rania mengeluarkan desahan panjang yang semakin keras, menandakan betapa hebatnya kenikmatan yang ia rasakan.

Malam itu, kedua insan itu terjebak dalam gelombang hasrat yang membara. Dalam keheningan yang hanya dipenuhi oleh desahan dan suara napas yang memburu, mereka menyatu dalam kehangatan yang tak terlukiskan. Setelah bertahun-tahun berpuasa, akhirnya burung milik Davin kembali masuk ke dalam sangkarnya.

My Crazy PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang