Hamlet tampak malas untuk pulang ke rumahnya. Ia sangat ingin pindah rumah, jauh dari kedua orang tuanya, tapi semua itu tampak mustahil. Jika ia bersikeras, semua fasilitas yang diberikan ayahnya akan dicabut. Dia meninju tembok belakang sekolah dengan kuat hingga buku tangannya mengeluarkan darah. Hanya di tempat ini, di balik tembok sekolah yang dingin dan berlumuran cat kusam, Hamlet merasa tenang.
Meskipun masih ada beberapa orang yang berlalulalang di sana, karena tempat ini seringkali dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas, mereka tidak berisik. Apalagi ketika ada Hamlet. Mereka harus berpikir dua kali sebelum mendekat, tidak ingin menjadi korban berikutnya. Siapapun yang mengganggu ketenangan Hamlet, lelaki itu akan terus mengusiknya, menindasnya hingga orang itu trauma. Dia memang benar-benar brengsek, seperti tak punya hati. Bahkan guru pun menyerah. Sudah dihukum bahkan diskors berkali-kali, tetap saja tidak membuat Hamlet mempan. Mengeluarkan lelaki itu dari sekolah tidak akan bisa, karena ayah Nero adalah orang yang paling berpengaruh di yayasan sekolah ini.
Hamlet menghembuskan napas kasar, meninggalkan halaman belakang sekolah dengan wajah dipenuhi amarah. Entah kenapa, akhir-akhir ini Hamlet seringkali tidak bisa menahan emosinya. Dia merasa seperti sudah gila, kesakitan ketika amarahnya tidak bisa dilampiaskan. Sekarang sudah pukul tiga sore, dan beberapa menit yang lalu bel sudah berbunyi menandakan pembelajaran hari ini sudah berakhir. Hamlet tidak mengikuti kelas terakhir, karena tadi dia mengikuti latihan basket sebab minggu depan dia akan ikut lomba.
Dia tidak memilih bergabung dengan teman-temannya yang beristirahat di kantin. Hamlet malah pergi ke belakang sekolah untuk menikmati hawa sejuk di sana. Hanya di tempat ini, Hamlet merasa tenang. Namun tiba-tiba, ayahnya menelpon untuk mengajaknya makan malam bersama ibunya. Jika tidak ditelepon, Hamlet seringkali pulang terlambat. Lelaki itu lebih suka menghabiskan waktu di rumah paman dan bibinya karena di sana Hamlet tidak merasa ada tekanan.
Setelah mengambil tas di kelas, Hamlet berjalan keluar dari gedung sekolah menuju parkiran mobilnya. Di tengah jalan, tepat di koridor sekolah, ia melihat Fabulla yang tengah kesusahan membawa setumpuk buku paket. Lelaki itu langsung menghampiri Fabulla, mengambil setengah buku itu agar Fabulla tidak kesusahan lagi. Amarahnya langsung meredup begitu saja ketika melihat Fabulla.
Fabulla sampai terkejut dengan kedatangan Hamlet yang tiba-tiba. Lelaki itu tersenyum manis ke arahnya. "Makasih," ucap Fabulla lalu melangkahkan kakinya menuju perpustakaan yang berada di ujung dekat ruang musik. "Temen lo ngga ada yang bantu?" tanya Hamlet memecah keheningan.
"Pada pulang duluan," balas Fabulla singkat. "Dua sahabat lo?"
"Mereka dispen, kamu banyak tanya," ketus Fabulla membuat Hamlet terkekeh pelan. Keadaan kembali hening. Hamlet tidak lagi berbicara karena tak ingin membuat Fabulla kesal dan berujung menyuruhnya pergi. Sampai di perpustakaan, Fabulla dan Hamlet segera menata buku paket itu di rak paling pojok. "Gue anter pulang," ajak Hamlet setelah mereka keluar dari perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat (End)
Short StorySejak pertemuannya dengan Nero Mavendra di danau itu, hidup Fabulla bisa dikatakan tidak tenang lagi. Lelaki itu seringkali menampakan diri di hadapannya, bersikap seakan-akan Fabulla adalah miliknya. Bukan dalam artian kekasih, melainkan Nero menja...