14. Khawatir?

354 30 0
                                    

Sepekan sudah berlalu sejak Fabulla terakhir kali bertemu Nero di Danau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepekan sudah berlalu sejak Fabulla terakhir kali bertemu Nero di Danau. Ke mana lelaki itu menghilang? Seharusnya Fabulla merasa lega, tapi entah kenapa, rasa gelisah tak kunjung padam. Ingin sekali ia mencari tahu, tapi untuk apa? Apakah itu benar-benar penting? Siapa dirinya? Fabulla berusaha berpikir waras. Ia harus segera menghilangkan rasa aneh yang menggerogoti hatinya sebelum terlambat. Ia mencoba fokus, melupakan segala hal tentang kebersamaan mereka.

Dua hari yang lalu, sebuah berita di base sekolah membuat Fabulla mendengus kesal. Namanya kembali terseret, dan Fabulla muak dengan hal ini. Dari mana admin itu mendapatkan informasi? Sekarang ia selalu menjadi pusat perhatian, dan Fabulla merasa terancam. Ia malas untuk sekolah. Apalagi sekarang ia diganggu oleh Marisa dan teman-temannya. Dihina, ditertawakan, dan dipermalukan di depan teman-teman sekolahnya. Marisa ini sama seperti Hamlet, jika Hamlet pangeran bully, maka Marisa adalah ratu bully nya.

"Fabulla, kamu tuh udah kaya perempuan gampangan tau, ga!" Marisa mendorong Fabulla ke tembok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Fabulla, kamu tuh udah kaya perempuan gampangan tau, ga!" Marisa mendorong Fabulla ke tembok. Fabulla tak takut, ia membalas tatapan tajam Marisa dengan tatapan menantang. Marisa, gadis itu terlihat sangat angkuh, senyumannya menyebalkan, tatapan matanya merendahkan. "Kemarin Hamlet, sekarang Nero, ugh ... apa yang mereka liat dari kamu sih? Apa karena badan kamu yang gendut sama pendek itu?! Ihh—enggak mungkin gasi?" Marisa melirik ke arah Tarina, temannya yang hanya diam sembari menikmati tontonan di depan mereka.

"Enggak mungkin lah, badan kamu jauh lebih bagus daripada dia. Mungkin dia jual tubuh nya kali," balas Tarina, tersenyum sinis ke arah Fabulla yang sudah terpancing.

Marisa tertawa mengejek. "Aku mikir nya juga gitu, emang ga beda jauh sama kembaran nya." Tangan Fabulla terkepal kuat. Ia melihat sekeliling, mereka hanya menonton, tak ada satupun yang mau menengahi. Fabulla berdecih sinis. "Kalian pikir apa yang kalian lakukan benar? Kalian hanya memanfaatkan kekuasaan kalian untuk merendahkan orang lain. Kalian hanya pengecut!"

"Apa kamu bilang?!" Marisa mendekat, wajahnya memerah menahan amarah.

"Aku bilang, kalian pengecut!" Fabulla menatap Marisa dengan tajam. "Kalian hanya berani karena bersembunyi di balik popularitas kalian. Kalian ngga lebih dari sampah!"

"Berani kamu ngomong gitu sama aku?!" Marisa berteriak, tangannya mengepal erat.

"Emang kamu pikir aku ga berani lawan kalian?" Fabulla membalas dengan tenang. "Kalian salah, aku nggak akan ngebiarin diri aku ditindas gitu aja."

"Terus kenapa kamu deket sama Hamlet dan Nero? Apa kamu jual tubuh kamu ke mereka?" Marisa mengejek, dia ingin segera mendapatkan jawaban dari Fabulla, dari pada harus mendengar kata-kata basi yang keluar dari bibir Fabulla.

"Aku nngak pernah ngenjual tubuh aku ke siapapun! Kalian yang selalu berpikiran kotor. Mereka yang deketin aku lebih dulu, bukan aku. Dan aku sudah menghindar dari mereka. Kalian ga berhak menghakimi aku!" Fabulla menatap Marisa dengan tajam. Ia mendorong kedua bahu Marisa agar gadis itu menyingkir dari hadapan nya, kemudian berjalan cepat meninggalkan Marisa yang berteriak melampiaskan amarah nya.

"Berani-berani nya dia lawan aku! Aku nggak terima! Ugh ... kesel banget!" Marisa mengentak-hentakan kaki nya, sedangkan Tarina sudah siap siaga menghadapi Marisa yang mulai tantrum. "Seharus nya kamu tadi tolongin aku, bales ucapan dia!" seru Marisa  pada Tarina, gadis itu sampai memejamkan mata dan menutup telinga nya. Karena teriakan Marisa begitu kencang, meskipun mereka ada di belakang sekolah, tetap saja kini mereka menjadi pusat perhatian, beberapa siswa dan siswi melihat ke arah Marisa yang masih berteriak membuat Tarina merasa malu sendiri.

***

"Bulla, lo mau jenguk Nero ga?" tanya Jarrel, membalikan tubuh nya pada meja Fabulla dan Hiraya yang ada di belakangnya. Mendengar nama Nero, jantung Fabulla berdebar kencang. Ia berusaha untuk tenang, tapi sulit. "Jenguk? Kenapa emang nya dia? Ngga perlu ya, mulai hari ini aku mau jaga Fabulla dari Nero, kaya nya dia ngerencanain sesuatu deh buat Fabulla," tutur Hiraya dengan wajah galak nya.

"Ya sakit lah, dia masuk rumah sakit. Jangan berpikiran buruk dulu, gue kemarin udah jenguk Nero. Terus dia bilang ke gue, kalo dia nggak ada niatan buat nyakitin Bulla ko. Emang sih, katanya pas awal-awal ketemu iya, tapi sekarang nggak ko. Nero memilih berdamai sama masa lalu nya." Jarrel berusaha meyakinkan Hiraya dan Fabulla, tapi matanya menangkap raut wajah Fabulla yang masih dipenuhi kekhawatiran dan juga keterkejutan. Apakah benar Nero mengatakan itu pada Jarrel? Apakah laki-laki itu tengah mengelabui Jarrel?

"Dan kamu percaya?" Hiraya menyela, dengan mata menajam. Jarrel dan Hiraya terus berdebat, sedangkan Fabulla terdiam, pikirannya melayang. Jadi ini alasan mengapa dia tidak melihat Nero? lelaki itu masuk rumah sakit. "Emang sakit apa?" Akhirnya Fabulla bertanya, rasa penasarannya semakin meninggi. Hingga perdebatan antara Nero dan hiraya terhenti, membuat Hiraya berdecak kesal.

"Hipotermia. Kaya nya mabok air dia, untung Ayah nya ada di rumah waktu itu, belum balik. Kalo nggak tuh anak udah mati kali," jelas Jarrel, suaranya terdengar khawatir. Fabulla pun tidak bisa menyembunyikan raut khawatir nya. "Heh—ngomong nya," tegur Hiraya yang sedari tadi masih menunjukan raut kesal nya.

"Ya, emang bener. Kata Ayah nya tubuh Nero menggigil parah, sampe tuh anak ga bisa ngomong. Waktu lo ga sekolah, kan bagian jadwal ekskul renang, terus Nero udah keliatan pucet, sampe di suruh istirahat ke ruang kesehatan. Ehh ... besok nya gue dapet kabar dari Momy yang mau nganterin makanan ke rumah Nero, katanya Nero masuk rumah sakit."

Fabulla semakin khawatir, dan semakin tidak mengerti dengan dirinya. Mengapa ia harus khawatir berlebihan pada Nero? Apakah benar jika dia sudah memiliki rasa pada lelaki itu. Fabulla menggelengkan kepala, hingga membuat Jarrel dan Hiraya kebingungan. "Kenapa, Bul?" tanya Jarrel dengan ekspresi kebingungan nya.

"Eh—enggak apa-apa ko," balas Fabulla kikuk.

"Nero mau ketemu sama lo, kalo lo mau. Nanti gue anter," ucap Jarrel, senyumnya mengembang.

Fabulla terdiam, matanya menatap kosong ke arah meja. Ia masih berusaha memahami perasaannya sendiri. "Ngapain Nero mau ketemu sama Bulla? Heran, kenapa kamu malah dukung Nero sih?" kesal Hiraya.

"Dukung apa sih, Ra? Gue cuman mau nyampein pesan Nero. Dia mau ketemu Fabulla," balas Jarrel tak mau kalah. Fabulla pun menghela napas kasar, lebih baik ia segera menjawab daripada harus menyaksikan perdebatan antara Jarrel dan Fabulla. Semakin membuat kepalanya pusing. "Aku pikiri  dulu, nanti aku kabarin kamu."

"Ihh—Bulla." Hiraya sudah memasang wajah merajuk nya, membuat Fabulla tak bisa lagi untuk tidak mengacak rambut Hiraya. Dia terlihat sangat menggemaskan, sedangkan Jarrel sudah menjulurkan lidah nya pada Hiraya, seakan-akan menyampakan bahwa ia yang menang dari perdebatan diantara mereka.

***

Terikat (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang