Hari-hari telah berlalu begitu cepat, dan Fabulla tampaknya telah melupakan segala masalah yang pernah menghampirinya. Semuanya seakan tenggelam dalam kesibukannya. Pada akhir bulan September yang lalu, Fabulla memutuskan untuk bekerja di sebuah toko bunga dekat perumahan. Ia mengisi waktu luangnya setelah pulang sekolah dengan bekerja di sana. Tanpa terburu-buru pulang ke rumah, Fabulla baru kembali pulang sekitar pukul sembilan malam. Setibanya di rumah, ia langsung menyelesaikan tugas-tugasnya, makan, mandi dan kemudian tidur.
Kini, Fabulla sudah tidak memiliki waktu lagi untuk bersama keluarganya, bahkan sampai tidak sempat bertemu dengan Ayahnya yang sedang cuti dari pekerjaan nya menjadi supir Ayah Nero. Meskipun demikian, Fabulla merasa senang dengan rutinitas harian barunya saat ini, meski terasa melelahkan. Dengan segala kesibukan itu, Fabulla tidak memiliki waktu untuk terlalu memikirkan hal-hal yang bisa membuatnya gelisah. Dan tak merasakan iri lagi, ketika melihat Fabiolla diperlakukan penuh perhatian oleh kedua orang tuanya, dan kembali melupakan keberadaan nya.
Beberapa kali Fabiola datang ke toko bunga tempat Fabulla bekerja, mengajaknya berbincang-bincang ringan, namun pada akhirnya selalu menanyakan tentang hubungan Fabulla dengan Nero. Apakah mereka sudah berpacaran? Padahal, sejak malam di Nevana Fun Park, Fabulla sudah memutuskan hubungan dengan Nero dan bahkan memblokir semua kontak yang terkait dengannya. Di sekolah pun, Fabulla berusaha untuk menghindar dari pertemuan dengan Nero. Fabulla tak ingin lagi percaya dengan kata-kata Nero, baginya Nero hanya sedang mempermainkan nya.
Fabulla tidak ingin kembali merasakan sakit hati. Bagi Fabulla, jatuh cinta ternyata bisa menjadi sebuah penyakit. Ia tidak ingin mengalami hal itu lagi. Lebih baik dia sendirian tanpa pasangan, menikmati masa muda bersama dengan kedua sahabat nya tanpa melibatkan percintaan.
"Nak, tolong antarkan bunga ini," ucap Nenek Noah, pemilik toko bunga tua tempat Fabulla bekerja.
Toko bunga ini memang tidak terlalu besar, namun di dalamnya terdapat beberapa barang antik yang menambah kesan klasik. Sebelum Nenek Noah bicara, Fabulla sedang sibuk merangkai buket bunga dengan penuh konsentrasi, sekarang Fabulla sudah terbiasa dan tidak kaku lagi seperti pertama kali.
Nenek Noah memegang seikat bunga lily putih yang harum, dengan lembut ia menyerahkannya kepada Fabulla. "Ini untuk pelanggan di Jalan Mawar nomor 12, orangnya sudah menunggu di sana, hati-hati ya, Nak."
Fabulla mengangguk, matanya menatap sejenak bunga lily putih yang terbungkus rapi dengan kertas cokelat. Jalan Mawar nomor 12 adalah jalan di dekat perumahannya.
"Baik, Nek." Fabulla pun beranjak keluar toko, membawa seikat bunga lily putih untuk sang pelanggan. Untungnya, dia sudah selesai dengan pekerjaannya. Di luar, langit senja mulai menggelap, dan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Fabulla menghirup udara segar, lalu melangkahkan kakinya kembali. Kini, dia sudah berada di tempat tujuan. Tapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.
Nenek tidak memberitahu siapa nama pelanggan itu, hanya menyebutkan jalan saja karena si pelanggan sudah menunggu di sana. Fabulla sampai berpikir jika dia adalah orang iseng, hingga membuat dirinya kesal. "Sudah datang duluan ternyata, maaf terlambat." Fabulla segera membalikan tubuhnya, matanya langsung membesar dengan jantung yang berdegup kencang.
Nero sudah berada di hadapannya. Fabulla sampai melupakan jika lelaki itu sangatlah licik, dia akan melakukan apa pun agar bisa kembali berdekatan dengannya. Fabulla segera menyerahkan bunga itu pada Nero, lalu berjalan cepat meninggalkan Nero.
"Bunga itu buat kamu, Bulla," kata Nero sembari mengejar Fabulla. Dia berhasil mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. "Lepas, aku ngga butuh bunga dari kamu," sentak Fabulla, ia mencoba melepaskan pegangan tangan Nero.
Nero menatap dalam mata Fabulla. "Tolong terima ya, aku ngga pernah ngasih kamu barang manis, selama kita dekat." Tentu saja Fabulla dibuat kaget dengan ucapan Nero, lelaki itu mengubah panggilan nya menjadi "aku, kamu"
"Lupain semua itu, semuanya udah selesai. Tolong jangan ganggu ketenangan aku!"
"Maaf, boleh kalau aku memperbaiki semuanya? Tolong jangan menghindar kaya gini terus, aku takut kehilangan orang yang aku sayang, Bulla. Tolong kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Fabulla terdiam, matanya masih menatap tajam ke arah Nero. Ia tidak ingin luluh dengan rayuan Nero, tapi hati nya masih terasa sedikit goyah. "Aku ngga mau berhubungan lagi sama kamu. Tolong hormati keputusan aku."
Nero menunduk, seolah menyerah. "Yaudah, aku ngerti. Tapi kamu harus tau, Bulla. bahwa aku benar-benar sayang sama kamu. Aku seolah-olah kejebak sama permainan yang aku buat sendiri. Aku bakalan nunggu kamu, Bulla sampe kamu mau temuin aku."
Nero kemudian menyerahkan bunga liluly putih itu pada Fabulla dan berbalik pergi. Fabulla menatap bunga itu dengan rasa bingung. Apakah Nero benar-benar menyayanginya? Atau hanya berpura-pura agar Fabulla luluh?
Fabulla menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan lagi. Ia harus fokus pada hidupnya sendiri dan mencari kebahagiaan yang sesungguhnya.
***
Nero membaringkan tubuhnya di kasur, matanya tertuju pada foto sang ibu, jemarinya dengan lembut mengusap bingkai foto itu. Matanya menatap foto itu dengan raut sedih yang mendalam. Dulu, ia tak pernah percaya bahwa orang-orang yang sangat dicintai dan mencintainya akan pergi begitu saja. Namun, Tuhan telah membuktikannya. Ia telah merasakan sendiri bagaimana pedihnya kehilangan orang yang dicintai, bagaimana luka itu menganga di dalam dirinya.Kata "kehilangan" kini menjadi momok menakutkan bagi Nero. Pikirannya selalu dihantui bayangan kehilangan orang-orang terkasih. Ia takut, sangat takut, jika Tuhan akan kembali mengambil orang yang sangat ia sayangi. Ketakutan itu membuatnya tak tenang, tak bisa bernapas lega. Ia mencoba berpikir positif, mencoba meyakinkan dirinya bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Namun, kenyataan pahit telah menghancurkan semua harapannya.
Sekarang, hanya tersisa satu orang yang selalu ada untuknya, Ayahnya. Nero berdoa agar Ayahnya panjang umur, agar bisa terus menemaninya, agar ia tidak sendirian di dunia ini. Membayangkan hidup tanpa Ayahnya membuat jantungnya berdebar tak menentu. Bayangan kesepian itu begitu nyata, begitu menakutkan.
Fabulla, gadis yang sempat membuat hatinya berbunga-bunga, kini telah pergi. Kepergian Fabulla meninggalkan luka yang lebih dalam. Nero kecewa pada dirinya sendiri, ia merasa telah gagal untuk mempertahankan cinta mereka. Ia telah jatuh cinta pada Fabulla, bukan karena kecantikannya, melainkan karena energi positif yang selalu terpancar darinya. Bersama Fabulla, ia merasa nyaman, merasa tenang, merasa yakin bahwa Fabulla adalah orang yang tepat untuknya.
Namun, semua itu hanya fatamorgana. Mimpi indah yang hancur berkeping-keping. Apakah ia harus menyerah? Apakah ia harus menutup hati untuk selamanya? Apakah ia harus melupakan cinta dan memilih untuk hidup dalam kesepian?
Nero menatap foto Ayahnya, Ibu, dan dirinya yang tersenyum bahagia di dalam bingkai. Senyum itu terasa begitu jauh, begitu tak nyata. Ia teringat bagaimana Ayahnya selalu menasihatinya untuk menemukan pasangan hidup yang tepat, untuk menemani masa tuanya agar tidak kesepian.
"Apa Ayah juga kesepian tanpa Ibu?" batin Nero, suaranya tercekat.
Air mata mengalir deras di pipinya. Nero memeluk erat foto itu, berharap bisa kembali merasakan kehangatan kasih sayang yang dulu pernah ia rasakan. Nero sebenarnya adalah laki-laki yang lemah, penurut karena dia diberi kasih sayang yang cukup oleh kedua orang tuanya. Dia selalu berusaha untuk menyenangkan orang-orang di sekitarnya, menghindari konflik, dan bersikap baik kepada semua orang.
Namun, semua itu berubah saat Fabiolla pergi meninggalkan rasa sakit yang mendalam. Dan rasa sakit yang mendalam itu membuatnya berubah. Ia menjadi keras, bahkan licik, demi melindungi dirinya dari rasa sakit yang lebih besar, serta berkeinginan untuk membalaskan dendam nya.
***
Segini dulu ya, soalnya bingung, mau nulis apa😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat (End)
Short StorySejak pertemuannya dengan Nero Mavendra di danau itu, hidup Fabulla bisa dikatakan tidak tenang lagi. Lelaki itu seringkali menampakan diri di hadapannya, bersikap seakan-akan Fabulla adalah miliknya. Bukan dalam artian kekasih, melainkan Nero menja...