34. Tidak semudah itu

291 27 3
                                    

"Ibu, Bulla belum pulang-pulang? Ini sudah seminggu, lho," ujar Fabiolla sambil menghentak-hentakkan kakinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ibu, Bulla belum pulang-pulang? Ini sudah seminggu, lho," ujar Fabiolla sambil menghentak-hentakkan kakinya. Matanya terlihat bengkak, sedari awal saat Fabulla berangkat bersama Nero untuk berlibur, dia sudah berharap jika semua itu gagal. Bahkan Fabiolla sampai rela melawan rasa bersalahnya, menggunting sebagian baju Fabulla hingga tak layak pakai lagi. Alasannya agar Fabulla kembali pulang, dia sangat mengenal Fabulla. Gadis itu seringkali kehilangan mood-nya, dan mungkin dengan cara ini Fabulla akan pulang tidak jadi melanjutkan perjalanannya.

Tapi Fabiolla cukup bodoh, dia melupakan jika Nero akan melakukan apa pun agar semua urusannya lancar. Dan Nero pun memiliki uang yang banyak, dia terlahir dari keluarga berada. Untuk membeli baju Fabulla, Nero tidak akan jatuh miskin.

Saat tersadar dengan semua itu, Fabiolla menangis histeris dari malam sampai pagi, hingga Ibu dan Ayah pun kewalahan, bahkan beberapa kali Ibu mengeluh sakit kepala. "Tidak masalah kalo Fabulla belum pulang, dia lagi nikmatin liburan nya bareng keluarga Nero. Biarin Fabulla bahagia, Nak."

"Sedangkan aku menderita! Gitu, Bu?!" Ibu menghela napas, dia meletakan piring yang sudah di lap di atas meja, kemudian menghampiri Fabiolla yang berdiri di dekat meja makan. "Nak, dengerin Ibu." Ibu membawa Fabiolla ke ruang keluarga, mereka berdua duduk bersebelahan di sofa.

"Apa lagi yang mau Ibu bicarain? Apa Ibu mau bela Fabulla lagi?!" tanya Fabiolla kembali meninggikan suaranya, sampai membuat Ibu mengelus dada. "Ibu ga bela siapapun, kamu sudah dewasa sudah seharusnya ngerti. Kamu yang membuat penderitaan itu, Nak. Dan sekarang waktu nya untuk keluar dari semua itu ayo bangkit."

"Kamu masih muda, masih banyak hal yang menanti kamu. Coba hal-hal baru yang bisa bikin kamu bahagia, Nak. Iklasin semua yang telah terjadi pada kamu. Jangan seperti ini terus, ini yang bikin hidup kamu semakin hancur. Jangan sampai kamu dan Bulla ngga akur, kalian ini saudara loh."

"Gimana nanti kalo Ibu dan Ayah udah ngga ada? Kalian harus rukun, harus saling mendukung. Jangan seperti ini. Ibu merasa gagal, sakit sekali rasanya pas inget semua perlakuan Ibu." Fabiolla meneteskan air matanya.

"Tapi aku benci, Bulla Bu. Maven laki-laki yang aku cintai diambil sama dia, Bu. Hati aku sakit, aku ngga bisa terima. Kenapa aku harus punya kembaran kaya Bulla, Bu?!"

"Andai aku lahir jadi anak satu-satunya, semua ngga akan kaya gini. Kenapa juga Maven pilih Bulla, Bu? Mungkin aku gapapa kalo Maven milih perempuan lain. Tapi kalo Fabulla aku ngga bisa." Ibu mengusap punggung Fabiolla, berharap Fabiolla bisa tenang.

"Jangan ngomong seperti itu, Nak. Ini takdir, semuanya sudah ditulis oleh Tuhan. Mungkin ini yang terbaik untuk kamu." Fabiolla tetap menggeleng, dia menangis histeris, membuat Ayah yang baru pulang dari pemancingan langsung panik dan khawatir.

***

Matahari pagi menyinari kamar tamu yang mewah, menyorot dinding-dinding berlapis panel kayu jati yang berkilauan dan tirai beludru yang tersibak. Fabulla terbangun dengan perasaan aneh, campuran antara rasa canggung dan kekaguman. Kamar ini terasa seperti istana dibandingkan dengan kamarnya yang sederhana di rumah.

Dia bangkit dari ranjang berkanopi, kakinya menginjak karpet tebal berbulu yang lembut.  Fabulla berjalan menuju jendela, menyingkirkan tirai tebal dan memandang taman yang luas di bawah. Taman itu dihiasi air mancur yang menjulang, dan pepohonan rindang yang meneduhkan.

"Apa aku mimpi nginep disini?" tanya Fabulla pada dirinya sendiri, dia pun tersenyum. Merasa senabg, setidak nya ia pernah sekali mengunjungi rumah besar dan mewah seperti ini, biasanya dia hanya melihat di film-film saja.

Tiba-tiba, perutnya berkeroncong. Fabulla kebingungan, apakah ia langsung saja turun ke bawah? Tapi Fabulla merasa malu jika turun sendirian. Akan tetapi karena perut nya sudah terasa perih, Fabulla pun terpaksa melawan rasa malu nya. Dia beranjak dari jendela, berjalan menuju pintu kamar dan menuruni tangga marmer yang megah.

Aroma sedap tercium dari ruang makan yang luas. Di meja makan, sudah tersedia hidangan sarapan: roti panggang dengan selai aneka rasa, jus buah segar, telur dadar yang lembut, dan buah-buahan segar yang tertata rapi.

Fabulla tertegun.  Dia belum pernah melihat meja sarapan semewah ini sebelumnya.Di meja makan, sudah duduk tiga orang. Yaitu Nenek Nero, Ayah Nero dan tentu nya Nero. Fabulla kembali meringis, apakah mereka tengah menunggunya?

"Selamat pagi, Fabulla!" sapa Nenek dengan antusias. "Silakan bergabung dengan kami."

Fabulla terdiam, merasa canggung. Dia hanya mengangguk kecil, lalu duduk di kursi kosong di samping Nero. Dia merasa canggung karena ada Ayah Nero di sana, padahal kemarin sore Fabulla bisa menahan rasa canggung nya karena Nenek Nero yang begitu ramah dan menyenangkan. Sedangkan yang Fabulla lihat dari Ayah Nero adalah: pendiam dan serius. Dia bercanda dan ramah hanya pada waktu tertentu.

"Bagaimana perjalananmu, Fabulla?" tanya Ayah Nero, menunjukan keramahan nya, membuat Fabulla bernapas lega. Ia pikir Ayah Nero akan tetap diam.

"Lumayan, Pak," balas Fabulla singkat.

"Syukurlah, nanti kapan-kapan kamu bisa berlibur lagi menggunakan mobil itu bareng Nero," sahut Ayah dengan senyuman menggoda nya. Dan Nero yang berada di samping Fabulla sudah tersenyum lebar, mendengar godaan yang keluar dari mulut Ayah nya.

Fabulla hanya bisa mengangguk, tidak yakin dengan semua yang diucapkan oleh Ayah Nero. Bukankah ini adalah yang terakhir untuk bersama dengan Nero?

"Kamu mau makan apa, Bulla?" tanya Nero, mulai bersuara.

Fabulla menunjuk roti panggang.  "Ini aja, makasih," jawabnya.

Nero tersenyum, lalu mengambil sepotong roti panggang dan mengoleskan selai strawberry di atasnya. "Ini, aku bantu," kata Nero, menyodorkan roti panggang itu pada Fabulla.

Fabulla menerima roti panggang itu dengan canggung. Dia merasa tak enak hati, tapi dia juga merasa senang karena Nero berusaha membuatnya merasa nyaman.

"Kamu jangan sungkan, ya.  Makanlah sepuasnya," kata Nenek, tersenyum lembut.

Fabulla mengangguk, mencoba menikmati sarapannya. Hingga beberapa saat kemudian, mereka telah menyelesaikan sarapan nya. Fabulla di bawa ke halaman belakang oleh Nero, sedangkan Ayah akan mengantar Nenek bertemu dengan teman nya, dan akan kembali sore nanti.

Kini Nero sudah membuka kaos yang melekat di tubuh nya, lalu memberikan nya pada Fabulla. Nero menceburkan diri nya ke kolam. Fabulla duduk di tepi kolam, kakinya terendam dalam air yang sejuk. Matanya mengikuti setiap gerakan Nero yang berenang dengan lincah di dalam kolam. Senyum tipis terukir di bibirnya, mengamati bagaimana Nero dengan mudahnya berputar dan menyelam, menikmati kesegaran air pagi.

Tiba-tiba, Nero muncul di antara dua pahanya. Fabulla terkejut, tubuhnya menegang sejenak. Namun, Nero dengan lembut memeluk pinggangnya, membuat Fabulla merasakan kehangatan tubuh Nero yang menempel di kulitnya.

Fabulla merasakan jantungnya berdebar kencang. Aroma sabun dan parfum Nero yang samar-samar tercium membuatnya merasa sedikit pusing.  Dia merasakan sentuhan lembut tangan Nero yang melingkar di pinggangnya, membuat tubuhnya sedikit gemetar.

Nero menenggelamkan wajahnya di perut Fabulla, menghirup aroma tubuh Fabulla yang harum. "Nero kamu ngapain sih." Fabulla mencoba menyingkirkan wajah Nero dari perut nya, namun Nero menggeleng pelan. "Waktu kita cuman sebentar, Bulla. Aku bakalan hancur setelah ini," lirih Nero.

Fabulla tertegun, dia menatap ke depan merasakan hatinya yang kembali sesak. Tiba-tiba air matanya mengalir begitu saja. Ia segera mengusap nya dengan kasar. "Ngga akan, kita bisa nemuin kebahagiaan kita masing-masing," tutur Fabulla.

"Ngga semudah itu, Bulla."

"Apa kita coba buat egois aja? Kita udah saling cinta, Bull. Kenapa sesusah itu buat bersama?" Fabulla tidak menjawab, dia pun bingung. Dia juga ingin egois, namun dia takut menghadapi semuanya setelah mereka memilih untuk memulai hubungan itu.

***

Terikat (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang