Liburan akhir semester telah tiba, bertepatan dengan liburan Natal dan Tahun Baru. Fabulla awalnya berencana berlibur di rumah saja, namun tak disangka Ayah Nero menjemputnya. Bahkan Ayah dan Ibu
Fabulla tidak menghalangi, mereka setuju jika Fabulla ikut berlibur bersama Nero dan Ayah Nero. Sementara itu, Fabiolla, mengamuk tak terima. Ini adalah kali pertama Fabulla merasa dibela oleh Ibu.
"Kamu jangan seperti ini, Olla. Bagaimana pun hubungan kalian sudah berakhir, dan biarkan Nero memilih siapa yang terbaik untuknya. Kita cukup diam, tak perlu menganggu. Mereka sudah baik sama kita, jangan buat Ibu sama Ayah merasa tidak enak sama mereka." Fabulla mendengar percakapan itu saat mengambil koper di kamar belakang. Fabiolla terisak hebat.
"Tapi aku ngga terima, Ibu! Masa Fabulla yang jadi pengganti aku?"
"Mungkin itu sudah jalannya, jangan seperti ini terus. Sekarang fokus saja ke hidup kamu, perbaiki diri kamu jadi lebih baik lagi. Ibu sama Ayah, begitu pun Bulla, akan terus mendukung kamu."
"Ibu, kenapa Ibu ngga membela aku lagi? Seharusnya Ibu bilang lagi sama Bulla. Jangan terima ajakan Ayah Maven."
"Ibu tidak mau, Ibu sadar sama kesalahan Ibu sekarang. Ibu sering mengabaikan Fabulla, dan terus fokus ke kamu. Sudah cukup Ibu bikin dia sakit hati, biarkan Fabulla memilih apa yang dia inginkan. Lagipula Fabulla bukan perebut, Bulla sama Nero kenal pas kalian sudah putus satu tahun yang lalu.
Fabulla menyunggingkan senyumannya. Beginikah rasanya dibela? Sungguh dia sangat bahagia. Namun dia juga tak tega mendengar isakan Fabiolla.
"Ibu jahat, aku sudah cerita semua nya ke Ibu!"
"Ibu tahu, tapi kamu juga salah Nak, andai kamu tidak dekat sama anak itu, pasti semua tidak akan terjadi." Fabulla penasaran dengan apa yang Ibu ucapkan, dia belum tahu apa-apa tentang Fabiolla yang melakukan itu. Tidak ada suara lagi dari Ibu dan juga Fabiolla. Fabulla pun segera keluar dari kamar belakang sambil menyeret koper.
Dia berjalan ke arah kamarnya, kemudian mulai mengemasi barang-barang yang akan dia bawa. Sembari memikirkan, bagaimana di perjalanan nanti? Apakah dia dan Nero akan merasakan kecanggungan, apalagi ada Ayah Nero. Pasti rasa canggung itu semakin terasa.
Ini adalah kedua kalinya, Fabulla dijemput oleh Ayah Nero. Tadinya, Nero akan pergi ke kota Harvey bersama Fabulla. Namun karena Fabulla tidak ingin ikut, maka Ayah Nero turun tangan. Beliaulah yang menjemput mereka ke sini.
Fabulla sampai meringis. Pasti Nero yang menyuruh Ayah nya melakukan itu. Pasti lelaki itu akan selalu mendapatkan apa yang dia mau, membuat Fabulla merasa kesal pada Nero. Namun saat melihat wajah penuh permohonan Nero, membuat dia tak tega. Dan akhirnya, Fabulla kembali luluh.
Sekarang dia akan ikut berlibur ke kota Harvey, entah tempat apa yang akan mereka kunjungi. Namun Fabulla berharap, tempat itu sangat indah dan sesuai dengan ekspektasinya.
"Mau Ibu bantuin sayang?" tanya Ibu menghampiri Fabulla, lalu duduk di samping gadis itu. "Aku bingung mau pilih baju yang mana," balas Fabulla menatap Ibu nya. Ibu pun tersenyum, akhirnya Fabulla menjawab pertanyaan nya tanpa paksaan.
"Baju yang simple aja, cuaca kota Harvey, masih sama dengan cuaca di kota kita," usul Ibu.
Fabulla pun langsung mengeluarkan pakaian simple yang ada di lemari nya, dibantu oleh Ibu. "Nikmati liburan nya ya sayang, jangan mikirin Fabiolla. Maaf Ibu yang selama ini tidak pernah dengar kamu, tidak pernah liat kamu. Sekarang Ibu sadar, Ibu malu. Disaat Ibu sama Ayah terpuruk, cuma kamu yang bisa nguatin kita. Tapi balasan Ibu sama Ayah malah membuat kamu sakit."
Fabulla mengangguk, dia mengusap air mata yang menetes di pipi Ibu, kemudian Ibu dan anak itu saling berpelukan.
***Hamlet berdecak kesal. Sejak tadi Marisa terus mengikutinya kemana pun dia pergi, bahkan sampai ke teras rumah. Marisa sudah seperti ulat bulu bagi Hamlet. "Pulang sana," titah Hamlet saat salah satu pelayan membukakan pintu.
Marisa menggeleng pelan, dia bergelayut manja di lengan Hamlet. "Aku mau sama kamu terus," balas Marisa memanyunkan bibir. Hamlet tak tahan ingin menyentil bibir itu. Dan terjadilah kekacauan, Marisa menangis kencang, sampai Bunda turun dari anak tangga dengan tergesa-gesa.
"Kenapa ini, Nak? Kok Marisa nya nangis?" tanya Bunda, terlihat khawatir. Hamlet pun kembali berdecak, dia menatap tajam Marisa. "Marisa, lo terlalu lebay," desis Hamlet.
"Hus, ngomong nya," tegur Bunda, dia menuntun Marisa agar duduk di sofa. Kemudian gadis itu menunjukan bibir nya yang berdarah, karena sentilan Hamlet sangat kuat. "Mau kemana, Nak? Ini ada Marisa loh, kok kamu nya malah pergi," tanya Bunda terheran-heran. Ia pikir anak nya Hamlet, mempunyai hubungan dengan Marisa. Kemudian beliau mengusap bibir Marisa yang sudah tidak mengeluarkan darah itu.
Hamlet berdecak sebal. "Mau mandi," jawab Hamlet, lalu pandangan nya tertuju pada Marisa. "Marisa, ngga usah bawel lo," ketus Hamlet, lelaki itu pun langsung menaiki satu persatu anak tangga. Marisa mengerucutkan bibir nya sebal, sedangkan Bunda hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak nya itu.
"Marisa, kamu bisa pulang dulu," kata Bunda lembut kepada Marisa. "Hamlet lagi mau mandi, dia pasti bakalan keluar nanti."
Marisa masih mengerucutkan bibirnya, namun dia akhirnya mengangguk pelan. Dia berbisik kepada Bunda, "Aku mau nunggu Hamlet di sini."
Bunda menghela napas. "Ya sudah, tapi jangan ganggu Hamlet ya, jangan dulu ke kamarnya," kata Bunda, lalu dia kembali ke dapur untuk menyiapkan minuman. Marisa seolah tidak mendengarkan apa kata Bunda, gadis itu berlari terbirit-birit masuk ke dalam kamar Hamlet. Aroma khas dari lelaki itu langsung menyeruak, membuat Marisa merasa nyaman berada di sana. Dia pun merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk milik Hamlet, aroma lelaki itu semakin tercium pekat.
Rasanya, Marisa ingin memejamkan mata. Andai Hamlet mau menjalin hubungan dengannya, mungkin sekarang dia akan menjadi gadis paling bahagia. Suara gemercik air dari dalam kamar mandi terdengar, hingga tak lama kemudian Hamlet keluar dengan handuk yang hanya melilit pinggangnya. Tubuhnya tersentak saat melihat Marisa tersenyum ke arahnya. "Ngapain lo disini? Ga sopan," ketus Hamlet, dia pun mendekat pada Marisa berniat untuk menyinkirkan gadis itu dari kasur nya. Namun sialnya, lilitan handuknya terlepas tepat di depan Marisa. Sampai gadis itu menjerit kencang sambil menutup wajahnya.
Dengan wajah panik, Hamlet berlari ke arah walk-in closet, dia sudah memaki-maki Marisa karena tiba-tiba ada di kamarnya, serta dia merasa malu. Semuanya sudah terlihat oleh Marisa, bahkan gadis yang sering menggodanya itu tetap terkejut dengan apa yang ia lihat.
Sedangkan di sisi lain, Marisa memegang jantungnya yang berdetak kencang. Wajahnya memerah, dia pun langsung keluar kamar Hamlet, sebelum Bunda Hamlet datang menghampiri mereka. Sungguh Marisa tak pernah semalu ini, padahal bukan dialah yang membuat malu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat (End)
Short StorySejak pertemuannya dengan Nero Mavendra di danau itu, hidup Fabulla bisa dikatakan tidak tenang lagi. Lelaki itu seringkali menampakan diri di hadapannya, bersikap seakan-akan Fabulla adalah miliknya. Bukan dalam artian kekasih, melainkan Nero menja...