Cp. 21

1.6K 180 21
                                        

Jum'at, 10 November 20xx
______

Delynn POV.

Di hari libur ini, aku datang untuk memenuhi permintaan Papi saat hasil putusan pada hari Senin lalu dinyatakan final. Bisa dikatakan ini kesempatan terakhirku untuk bertemu dengan Papi. Tapi aku tidak sendirian, Opa, Oma dan keluarga Aralie turut serta. Meski khawatir, mereka tetap mengizinkanku dengan syarat itu.

Kulihat Papi sudah menungguku di sebuah ruangan khusus, matanya terlihat sayu namun dengan semangat menyambutku.

"Semangat ya," bisik Aralie memelukku singkat.

Aku mengambil napas, mulai melangkahkan kakiku ke dalam ruangan.

"Kamu datang?"

Aku bisa mendengar jelas nada riang dari suaranya. Suara yang biasanya mengisi hari-hariku, mungkin tak lagi bisa kudengar.

"Ya... Sesuai keinginan Papi." Aku mendudukkan diri di sebrangnya.

Papi tersenyum lembut ke arahku. "Kamu sudah besar ya, Del?"

Aku mengangguk canggung, entah kenapa membuatku merasa aneh, asing sekali. Kuganti menatap Papi yang justru terlihat menyambut 'hadiah' di hari esok.

Tubuh tegap Papi terlihat membungkuk, aku dapat melihat jelas tulang yang terbalut kulitnya. Rambut yang dulu menjadi favoritku telah memutih dan rontok.

Aku mendadak gemetar. Tatapanku tanpa sadar melirik ke kaca di mana yang lainnya berada, mereka begitu khawatir melihatku. Aku mengangguk pelan, memberi kode kalau aku baik-baik saja. Aku yakin ruangan ini diawasi kamera dan suaranya dapat terdengar hingga luar.

"Kamu pasti kesel ya karena Papi duluan yang akan ketemu Mami?"

Darahku langsung berdesir hebat. "Maaf karena sudah buat anak kesayangan Papi ini terluka. Maaf karena Papi tidak menepati janji untuk bersama Adel terus."

"Papi tau pasti kata maaf aja tidak akan cukup untuk menyembuhkan semua luka kamu. Papi juga sadar Papi tidak pantas menerima menerima maaf yang kamu berikan. Jadi Papi hanya ingin Adeline-nya Papi bisa sembuh, bisa bebas, karena Papi tau kamu sudah sangat kuat."

Ada banyak pertanyaan yang sudah aku persiapkan sebelumnya, tapi lidahku terasa kelu. Bahkan mulutku tertutup kembali tanpa ada suara yang berhasil keluar.

"Saya juga tau kalau saya tidak pantas disebut sebagai Papi."

Saat mata kami bertemu, tatapan Papi persis seperti dulu, hangat dan penuh ketenangan.

"Adeline Wijaya selamanya menjadi anak seorang Papi Ajinan Wijaya dan Mami Cindy Hapsari.." ujarku dengan serak.

Papi tersenyum lembut. "Kamu pasti bertanya-tanya tentang semua ini, kan? Saya ingin kamu mengetahui semuanya."

Aku mengangguk, mempersilakan Papi untuk bercerita.

______

10 tahun yang lalu di kediaman Wijaya.

"Aku capek, lebih baik kita pisah aja!"

"Ngga, Ji! Bukan gitu caranya! Aku yang akan bicara ke Papa."

"Apa lagi, Cindy? Apa yang bisa kamu lakuin, hah?! Kamu selama ini bilang seperti itu, tapi apa hasilnya? Ga ada!"

"Kamu lebih dari cukup untuk aku dan Adel, Aji..."

Cindy mulai bertekuk lutut, memohon agar sang suami tetap mempertahankan keluarga kecil mereka. Ia tahu kalau sang ayah terus merendahkan Ajinan sejak keduanya memutuskan untuk berpacaran.

Take Me - AralynnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang